Soal Kajian Tembakau, Akademisi pun Harus Objektif

Senin, 08 Juni 2015 – 07:00 WIB
Soal Kajian Tembakau, Akademis pun Harus Objektif. Foto JPNN.com

jpnn.com - JPNN.com TANGSEL – Perguruan Tinggi dianggap tak bersikap objektif atas perdebatan beleid antitembakau yang merupakan produk dari World Health Organization (WHO), Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).

Sikap tidak objektif itu terlihat pada diskusi panel “Jalan Menuju Aksesi FCTC” yang diselenggarakan oleh Universitas Islam Negeri Sjarief Hidayatullah, Ciputat, Tangerang Selatan, Minggu (7/6).

BACA JUGA: Anak Perusahaan Wika Incar Kontrak Pengadaan Beton Pracetak

Dalam undangan awal diskusi tersebut, panitia mengundang sejumlah tokoh baik dari kalangan pemerintah maupun nonpemerintah.  Sedianya nama-nama pembicara dalam diskusi yang diselenggarakan di Auditorium Harun Nasution itu adalah Hakim Sarimuda Pohan (Komisi Nasional Pengendalian Tembakau), Jalal (aktivis pengendalian tembakau), Mantan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, perwakilan Kemenperin, Sekretaris Jenderal Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) dan perwakilan mahasiswa. Diskusi tersebut dimoderatori oleh Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi. Pihak yang sejatinya antitembakau.

Namun, menjelang kegiatan berlangsung, komposisi pembicara berubah setelah Marty dan perwakilan Kemenperin tidak hadir. Di sisi lain, panitia juga membatalkan wakil Gappri, yakni Sekretaris Jenderal Gappri Hasan Aoni Aziz US sebagai pembicara. Padahal, Hasan sudah datang ke lokasi.

BACA JUGA: Ekspansi Bisnis, Telkom Akuisisi Perusahaan Asing

Kabarnya, Hasan pun sempat kaget dan kecewa kepada panitia. Namun panitia kukuh membatalkan Hasan sebagai pembicara.

Penanggung jawab acara,  Iftina Amalia membantah jika panitia tidak melakukan konfirmasi pembatalan tersebut. “Tidak benar, semua sudah kita hubungi terkait pembatalan, termasuk Pak Hasan dari Gappri,” ujarnya.

BACA JUGA: Garuda Tingkatkan Frekuensi Penerbangan Jakarta-Amsterdam

Iftina mengaku tidak berani menyisipkan Sekjen Gappri sebagai pembicara meski telah hadir di lokasi.
“Semuanya sudah fixed. Kami tidak berani mengubah susunan acara karena khawatir semuanya akan berantakan,” dalih Iftiana.

Hasan yang semula menolak dikonfirmasi, setelah didesak akhirnya mau buka suara. Menurutnya, panitia membatalkan secara sepihak. “Saya dihubungi untuk menjadi pembicara oleh Saudari Iftina atas nama Panitia. Ini komunikasi sms saya dengan dia, ada semua,” ujar Hasan.

Sebagai bentuk kesiapan tampil di diskusi, Hasan pun telah menyiapkan materi diskusi dan harus terbang dari Semarang, Jawa Tengah.

Dia mengaku telah menyiapkan materi secara komprehensif terkait FCTC begitu dihubungi panitia satu minggu sebelum acara berlangsung. Bagi Hasan, sebuah forum ilmiah seharusnya objektif dengan mengundang seluruh pemangku kepentingan, bukan hanya pihak yang antitembakau. “Agar objektivitas dari sebuah kegiatan ilmiah terpenuhi,” ujarnya.  

Hasan pun membeberkan isi makalahnya yang tegas menolak aksesi FCTC. Pasalnya, FCTC hanya mengatur tata niaga tembakau yang akan merugikan kedaulatan ekonomi Indonesia, khususnya para petani dan industri hasil tembakau.

Ada sekitar 18 juta orang mulai dari hulu hingga hilir yang hidup dari industri rokok kretek di Indonesia. Itu bukan angka yang sedikit jika dikaitkan dengan sisi perekonomian.

Gappri mendukung sikap pemerintah Indonesia yang tidak menandatangani FCTC. Sejak Presiden Habibie, Gus Dur, Megawati  hingga Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia tidak pernah meratifikasi FCTC. Menurut Hasan,Amerika Serikat yang mensponsori FCTC saja tidak mengaksesi.

“Perlu diketahui, meskipun Indonesia belum mengaksesi FCTC, tapi 95% regulasi sudah melaksanakannya. Ibaratnya, kalau kita ini sudah menjadi muslim yang baik, apa ya harus tetap bergaya Islam Arab?” kata Hasan.

Dalam Guideline FCTC, yang tidak bisa dipisahkan dari aturan FCTC dan mengikat anggotanya, rokok beraroma seperti rokok kretek tidak dibolehkan bahkan harus dibasmi, karena diyakini oleh mereka memicu orang untuk merokok. Padahal sejak berabad lalu perokok Indonesia sudah terbiasa dengan rokok kretek yang mengandung cengkeh. Karena itu kalau kita meneken FCTC pasti akan memukul kretek.

Hasan menambahkan bahwa FCTC dan aturan-aturan anti rokok lainnya mempersepsikan bahwa perokok adalah orang yang mesti diatur, bahkan mesti disingkirkan dalam ruangan merokok yang sempit. Aturan tersebut juga menjadikan seorang perokok seperti orang pesakitan yang mesti diterapi oleh klinik dan terapi penyembuhan merokok.

Di sisi ini, kata Hasan, suasana bisnis farmasi sangat kental dalam isu FCTC. Dengan membuat klaim bahwa rokok merusak kesehatan, mereka menjual produk penyembuhan dari rokok. Dan tak lupa, untuk mendukung kampanye tersebut, jaringan perusahaan farmasi telah menggelontorkan dana triliunan rupiah di berbagai Negara.

“Di satu sisi, ada kampanye antirokok. Di sisi lain, ada bisnis jualan obat berhenti merokok. Itu keterkaitan yang tak bisa dipisahkan karena FCTC lahir diinisiasi oleh perusahaan farmasi global," ujarnya. (jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kalau Cuma Menaikkan Harga, Anak Kecil Juga Bisa Jadi Menteri


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler