Soal Revisi UU Migas, DPP GMNI: Investasi Jangan Sampai Korbankan Kedaulatan Bangsa

Minggu, 19 Desember 2021 – 03:03 WIB
Ketua Bidang Medpro DPP GMNI Ariyansah NK. Foto: dokumentasi pribadi

jpnn.com, JAKARTA - Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP GMNI) angkat bicara terkait rencana revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas.

Ketua Bidang Medpro DPP GMNI Ariyansah NK mengatakan revisi UU Migas harus segera dilakukan guna menyesuaikan dengan putusan MK dan kondisi investasi di sektor migas.

BACA JUGA: Lewat UU Cipta Kerja, Sektor Industri Non-Migas Diprediksi Bangkit Tahun Depan

Menurut Ariyansah, RUU Migas memang tidak masuk dalam RUU prioritas tetapi masuk dalam daftar RUU Kumulatif Terbuka dan akan dibahas pada 2022.

“Ini rencana yang baik dalam rangka memperkuat kepastian hukum pascaputusan Mahkamah Konstitusi tahun 2012 tentang UU Migas itu,” kata Ariyansah dalam siaran pers pada Sabtu (18/12/2021).

BACA JUGA: Siapa yang Hambat Revisi UU Migas?

Menurut Ariyansah, salah satu tujuan mendukung revisi UU Migas adalah memberikan kepastian hukum di sektor hulu migas.

Dia berharap revisi UU tersebut dapat meningkatkan investasi di sektor Migas setelah beberapa tahun terakhir mengalami penurunan.

BACA JUGA: Targetkan RUU Migas Selesai Sebelum Habis Masa Jabatan DPR 2014-2019

Ariyansah mengatakan peningkatan investasi erat berkaitan dengan pemberian kemudahan dalam hal perizinan dan pembagian hasil migas yang fleksibel.

"DPP GMNI tekankan, jangan sampai tujuannya untuk menarik investasi, justru dilakukan dengan cara menggerus atau mendegradasikan kedaulatan negara,” ujar Ariyansah.

Oleh karena itu, Ariyansah mendorong pembagian hasil migas tetap berpihak pada kepentingan negara  dan investasi dapat tumbuh subur di dalamnya.

“Ini yang harus dipecahkan bersama," ujar mantan ketua DPC GMNI Balikpapan itu.

Ariyansah mengatakan sistem pembagian hasil migas saat ini cukup ideal sehingga masih relevan untuk dipertahankan.

Selain hubungan investasi dan sistem bagi hasil migas, kata dia, hubungan investasi dan tata kelola migas juga menjadi perhatian DPP GMNI.

Dia menilai sistem tata kelola yang dikenal dengan istilah tiga kaki masih ideal diterapkan di Indonesia.

Menurut Ariyansah, istilah tata kelola tiga kaki, yakni memisahkan tiga fungsi, yaitu fungsi kebijakan oleh pemerintah pusat, fungsi regulator oleh badan khusus, dan fungsi bisnis oleh BUMN, dalam hal ini Pertamina.

“Semuanya berdiri di atas penguasaan sumber daya alam oleh negara,” tegas Ariyansah.

Ariyansah menyampaikan hal itu dalam rangka menanggapi pendapat MK pada putusan nomor 36/PUU-X/2012 bahwa negara dapat membentuk badan usaha yang diberikan konsesi untuk mengelola migas sehingga penguasaan ada di pemerintah.

“Dalam hal pengusahaan, oleh badan usaha khusus yang dibentuk tersebut. Sekarang ini kan ada SKK Migas. Itu saja yang diubah menjadi badan usaha," kata Ariyansah.

DPP GMNI juga menyoroti soal pajak karbon untuk sektor migas. Hal ini, kata dia, perlu diatur dalam RUU Migas sebagai bentuk penegasan meski urusan pajak karbon telah diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.(fri/jpnn)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler