Baru enam orang yang berhasil melakoni cangkok ginjal dengan teknologi laparoskopi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Salah seorang di antara mereka adalah Soemardiyono.
M. HILMI SETIAWAN, Jakarta
SALAH satu keunggulan teknologi laparoskopi ialah membuat pasien cepat sembuh. Hal itu dirasakan Soemardiyono. Tidak hanya sang pasien yang cepat sembuh, donor pun demikian. Kebetulan, donor untuk cangkok ginjal Soemardiyono didapat dari putra sulung sendiri, Fran Eko Cahyono.
"Tidak sampai seminggu anak saya sudah boleh pulang," kata pria kelahiran Pacitan, Jawa Timur, yang melakoni operasi pada Oktober 2010 itu. Dengan metode laparoskopi, luka bedah yang dialami sang anak sangat kecil. Sekitar tiga sentimeter.
Yon -sapaan akrab Soemardiyono- sendiri mengaku tidak menyangka mengalami gagal ginjal dan harus operasi. Dia merasa telah menjalani pola hidup sehat. Pria kelahiran 28 Agustus 1951 itu rajin berolahraga. Favoritnya adalah golf. Dalam sepekan, dia sampai lima kali main golf. Yon mengaku bisa bermain golf sepanjang hari, mulai pukul 6 pagi hingga 6 sore!
"Saya main golf sejak berumur 35-an tahun. Badan saya benar-benar bugar dan fit," papar Yon yang kini menapak usia 61 tahun.
Masalah itu muncul pada Januari 2010. Yon merasa ada yang tidak beres dengan kondisinya. "Saya terserang flu. Anehnya, sebulan tidak sembuh-sembuh," katanya.
Dia pun dianjurkan checkup. Yon sempat gemas melihat hasil checkup yang dilansir pusat kesehatan di kawasan Cikini, Jakarta. Fungsi ginjal Yon hanya dikisaran 10 persen. Tapi, dia tidak percaya begitu saja. Yon kembali melakukan checkup. Kali ini di rumah sakit di kawasan Pondok Indah, Jakarta. Hasilnya sama saja. Fungsi ginjalnya tinggal 10 persen.
Masih tidak percaya, Yon terbang ke Singapura untuk tes kesehatan di Rumah Sakit Mount Elizabeth. "Saat itu dokter sama sekali tidak mau melihat hasil tes dari rumah sakit Indonesia. Tes dari awal lagi," katanya. Ternyata, setelah jauh-jauh tes kesehatan sampai Singapura, hasilnya tetap sama.
Yon menduga, kualitas kinerja ginjalnya menurun karena selama main golf tidak bisa dilepaskan dengan konsumsi air penambah stamina atau energi. "Sudah umum itu. Pemain golf minum air putih dan minuman energi," kata dia.
Dengan kondisi fungsi ginjal yang hampir habis itu, mau tidak mau, Yon harus rutin cuci darah. Dia sempat menjalani cuci darah selama tujuh bulan berturut-turut. Dalam sepekan, dia harus mengeluarkan uang sekitar Rp 2 juta untuk dua kali cuci darah. Setiap Senin dan Kamis.
Tidak mau terus bergantung kepada cuci darah, dia akhirnya memutuskan cangkok ginjal. Keputusan itu dilatarbelakangi kondisi teman Yon yang terus menurun meski sudah bertahun-tahun cuci darah. "Saya putuskan untuk cangkok ginjal saja," ucap Yon.
Awalnya, dia ingin melakukan cangkok ginjal di Tiongkok. Dia bahkan sudah mengontak sejumlah rumah sakit dan klinik di Negeri Tirai Bambu itu. Bapak tujuh anak tersebut juga sudah menyiapkan biaya sekitar Rp 600 juta. Uang itu, antara lain, akan digunakan untuk biaya dokter, perawatan, kompensasi donor, dan akomodasi selama di Tiongkok.
Hingga menjelang eksekusi, Yon akhirnya mengurungkan niatnya cangkok ginjal di Tiongkok. Alasannya, anak-anaknya keberatan. Mereka khawatir dengan sistem mendapatkan ginjal di Tiongkok. "Keluarga khawatir karena tidak ada kejelasan siapa donor yang ginjalnya akan dipasang ke tubuh saya," ucapnya.
Batal ke Tiongkok, Yon melirik Singapura. Ongkosnya memang lebih mahal. Sekitar Rp 1 miliar. "Ini sudah termasuk kompensasi donor ginjal," katanya. Tetapi, upaya itu batal dilakukan karena tidak ada kejelasan donor ginjal untuk Yon.
Di tengah kegalauan, Yon mencari rumah sakit dalam negeri yang bisa menangani cangkok ginjal. Pilihannya adalah RSCM dan sebuah rumah sakit swasta di Cikini. Pilihan akhirnya jatuh ke RSCM. "Sebagai rumah sakit negara, saya kira tempatnya kumuh. Ternyata bersih dan bagus," tutur Yon tentang RSCM.
Dia sejatinya ingin mendapat ginjal dari donor di luar keluarga. Tapi, tidak mudah mendapatkan itu. Yon pun menggelar sayembara pengecekan darah untuk anak dan menantunya.
Yon memiliki golongan darah AB. Karena itu, sang donor harus bergolongan darah AB. Di antara tujuh anak Yon, hanya si sulung dan si bungsu yang golongan darahnya AB. Si sulung Fran Eko Cahyono akhirnya bersedia melepaskan ginjal kanannya untuk menggantikan ginjal milik Yon.
Tidak mudah menguatkan mental Fran Eko Cahyono untuk melakoni operasi itu. Pada usia 37 tahun, dia ternyata sangat asing dengan jarum suntik. "Apalagi, operasi pengambilan organ," ujar Yon.
Untungnya, operasi cangkok ginjal itu menggunakan teknologi laparoskopi. Dalam praktiknya, teknologi tersebut hanya diterapkan untuk si donor. Para donor tidak lagi harus menjalani pembedahan besar.
Pinggang donor cukup dilubagi tiga titik dengan ukuran sekitar tiga sentimeter. Dua lubang digunakan untuk memasukkan alat batangan. Dengan dilengkapi alat pemotong dan kamera kecil, alat batangan itu memiliki fungsi menggantikan tangan dokter dalam memotong ginjal donor.
Untuk memotong ginjal donor, dokter yang menjalankan alat batangan itu cukup melihat dari monitor. Operasi pengambilan ginjal dengan menggunakan teknik laparoskopi itu memakan waktu hanya sekitar tujuh menit. Sementara itu, satu lubang lainnya berada di pinggang bagian bawah. Lubang satu itu berfungsi untuk mengeluarkan ginjal donor yang sudah dipotong.
Di sisi lain, penerima ginjal donor atau resipien ginjal masih menggunakan teknik pembedahan konvesional. Yaitu, pembedahan besar. Dokter RSCM beralasan, pembedahan besar tetap dilakukan kepada resipien supaya pemasangan ginjal baru bisa sempurna.
Yon merasakan hikmah besar di balik penyakit gagal ginjal yang dialaminya. Dia kini tidak lagi menyepelekan urusan kesehatan. Meski tidak ada gangguan, Yon rutin memeriksakan kesehatannya. "Alhamdulillah, sampai sekarang saya bebas kolestrol, darah tinggi, dan asam urat," katanya. (*/c4/ca)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tilu, Band yang Menjembatani Indonesia-Malaysia
Redaktur : Antoni