Solo: Sebuah Barometer

Jumat, 24 Mei 2013 – 17:01 WIB
LIMA belas tahun yang silam, pasti sulit untuk membayangkan apa yang telah saya saksikan di Solo pada minggu lalu. Saat itu – dalam dua hari antara 14-15 Mei 1998 – Solo tak ubahnya Jakarta yang membara dilalap api.

18-19 Mei kemarin saya menghabiskan akhir pekan di Solo, lima belas tahun kemudian beranjak dari tahun 1998 – kota di Jawa Tengah ini telah berubah. Alih-alih puing-puing bangunan yang tersisa (yang sebagian besar dimiliki etnis Cina), kota ini sekarang disesaki dengan pembeli dan wisatawan yang tertarik mengunjungi situs sejarah, studio pengerjaan batik, serta menjajal  panganan khasnya – yang jelas merupakan bagian dari sejarah.

Solo menjadi bagian dari cerita klasik pada masa transisi Indonesia. Saya berdiri tepat di Jalan Slamet Riyadi yang menjadi pintu utama ke Solo Paragon, salah satu pusat perbelanjaan terbesar dan terbaru di kota ini. Pengunjung ramai keluar masuk. Terdiri dari dua lantai yang dilengkapi dengan Carrefour dan Centro, Solo Paragon menarik pengunjung untuk berbelanja dan melakukan banyak hal, terlebih karena berbagai restoran dan kafe yang bertebaran juga dipenuhi oleh pengunjung.

Di luar pintu masuk, terdapat kebisingan yang ditimbulkan oleh promosi produk minyak goreng dengan hiburan penyanyi dan band. Saya tidak bisa melihat siapa penyanyinya, tapi jika menilai dari suaranya yang kuat, ia tentu orang yang enerjik dan lengkingan suaranya lama-kelamaan membuat kepala saya pening.

Saya berkeliling mall. Sebagian besar gerai-gerai sangat familiar, sebut saja Giordano, Ralph Polo Lauren, Charles & Keith – simbol kemakmuran yang sedang tumbuh di Indonesia.

Sebagai pecinta buku, saya mencari Gramedia di mall ini, namun saya tidak menemukan toko buku itu. Akhirnya saya menuju ke Black Canyon Cafe di mana saya akan bertemu dengan teman lama sekaligus subjek wawancara, seorang pengusaha etnis Cina dan aktivis sosial yang selalu bersemangat, Sumartono Hadinoto.

Saya berjumpa dengan Pak Sumartono pada beberapa kali kesempatan sejak pertama kali mewawancarainya di tahun 2009 silam. Sekarang di usianya yang mendekati umur 60 tahun, Sumartono terlihat lebih optimis – berhati lapang dan tetap antusias. Dia percaya arti memberi kepada masyarakat.

Seperti yang sudah saya sebut sebelumnya, Sumartono adalah salah satu korban kerusuhan Mei 1998. Ia kehilangan bisnis aluminiumnya di tangan penjarah dan ganasnya kobaran api. Ia sendiri berhasil lolos melalui lubang di dinding yang dibuatnya sendiri – sebuah lubang yang mengingatkannya pada dua hal: keberuntungan akan keselamatan nyawanya dan arti penting bagaimana mengatasi kejahatan yang dilakukan masyarakat di kota yang ia tinggali.

Pada kenyataannya, Pak Sumartono telah “membalas” atas apa yang telah menimpanya di lebih lima belas tahun silam. Saya datang dan berbincang-bincang dengannya tidak lain karena saya ingin merasakan dan mendengarkan langsung pendapatnya tentang pemilihan umum 2014 tahun depan: apakah transisi yang telah terjadi akan menyebabkan periode ketidakstabilan? Akankah Solo sekali lagi bisa menjadi flashpoint? Apakah itu mempertahankan reputasi Solo sebagai spot yang berpotensi rusuh?

Namun ia menjawabnya dengan menjlentrehkan perkembangan-perkembangan yang ia capai dalam berbagai kegiatan amal dan asosiasi masyarakat. Ia secara khusus memfokuskan pada organisasi Palang Merah dan menyatakan dengan bangga bahwa cabang di Solo tidak memerlukan dana dari pemerintah, “Di Solo kami mengumpulkan sendiri semua uang yang dibutuhkan”

Kegembiraannya terpancar ketika ia mengatakan: “Kebahagiaan bukan tentang uang”, saya mengangguk kagum. Pria ini tampaknya telah menemukan keseimbangan yang terkadang sulit didapat yaitu antara keluarga, bisnis dan obsesi pribadinya. Semakin saya mendengar tuturannya, semakin saya tidak bisa mengelak bahwa saya merasa iri akan ketenangan  batin dan kepuasan yang ia rasakan.

Saat saya mendesaknya tentang kemungkinan kerusuhan berulang, Sumartono berhenti sejenak sebelum menjawab: “zaman sudah berubah, tapi masih ada jejak-jejak trauma. Namun, kebanyakan orang apatis. Mereka tidak peduli lagi tentang politik.”

“Tentu saja siapapun bisa menghasut dan mendatangkan kekacauan seperti dulu, tapi yang kita butuhkan sekarang adalah pemain-pemain yang sangat kuat dan fokus. Orang-orang akan lebih puas dan bahagia.”

Lima belas tahun ke depan; akankah Solo – kota yang menjadi barometer perubahan sosial dan stabilitas Republik ini – akan tenang selamanya? Mengingat konsumerisme telah menyentuh akar masyarakat, apakah kemauan untuk bertindak rusuh di jalanan sepenuhnya telah hilang? Mari berharap demikian dan terlebih seorang seperti Sumartono akan terus bersama masyarakat dan menjaga suasana tetap stabil.[***]

BACA ARTIKEL LAINNYA... Catatan Perjalanan Kampanye

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler