jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah ikut mengomentari kerusuhan di Amerika Serikat (AS) yang berawal dari aksi pendukung Donald Trump menyerbu gedung Kongres AS, Capitol Hill, Rabu (6/1) waktu setempat.
Ratusan massa tersebut berupaya membatalkan kekalahan Trump pada Pilpres 2020 dengan memaksa Kongres menunda sidang yang akan mengesahkan kemenangan Presiden terpilih Joe Biden.
BACA JUGA: Simak, Saran Anis Matta dan Fahri Hamzah Untuk Atasi Krisis Akibat Pandemi Covid-19
Fahri mengatakan bahwa situasi di AS yang bisa disaksikan secara visual itu sama persis dengan yang terjadi di Indonesia pada Mei 1998, ketika terjadinya pergantian pemerintahan.
Namun, kata Fahri, bedanya adalah Donald Trump enggan mengakui kekalahannya di Pilpres 2020, sedangkan di Indonesia waktu itu rezim yang sudah berkuasa lama dan dianggap mahasiswa enggan mengundurkan diri.
BACA JUGA: Rusuh di Gedung Kongres AS, 2 Pejabat Gedung Putih Mengundurkan Diri
Mantan wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu mengatakan banyak pelajaran yang bisa dipetik dari peristiwa ini.
“Yang paling penting kita baca sebenarnya ini boleh dikatakan sama-sama merupakan proses politik yang menciptakan radikalisasi di tingkat rakyat," ujar Fahri dalam keterangannya, Kamis (7/1).
BACA JUGA: Filep Wamafma DPD RI Apresiasi Langkah Baru Penyaluran BST
Mantan aktivis mahasiswa itu menambahkan kalau pada 1998 di Indonesia, radikalisasi terjadi oleh kuatnya pemerintahan dan berkurangnya kebebasan.
Lantas, ujar dia, rakyat yang dipimpin kekuatan mahasiswa mengambil inisiatif melakukan kontrol terhadap gedung parlemen.
Sementara, Fahri melanjutkan, yang terjadi di AS adalah ketidakpuasan pendukung Donald Trump terhadap hasil Pilpres 2020 yang menyebabkan mereka menganggap Kongres itu adalah penghambat.
“Tidak saja bagi proses pemilu dianggap curang, Kongres juga dianggap menjadi oposisi terlalu kuat terhadap presiden Donald Trump,” kata Fahri.
Namun, Fahri mengatakan yang terpenting untuk dibaca adalah kalau peristiwa 1998 itu merupakan transisi dari otoritarianisme ke demokrasi. Kalau dalam Pemilu AS, kata dia, sebenarnya memang Donald Trump dianggap pemimpin otoriter, tetapi lanskap perubahannya itu demokrasi.
“Karena itu, saya lebih menyoroti kejadian meradikalisasi rakyat," tegasnya.
Nah, Fahri menegaskan bahwa ini pelajaran buat semua yang sama-sama berada dalam iklim demokrasi bahwa provokasi terhadap rakyat dapat menciptakan radikalisasi.
"Radikalisasi dapat menciptakan proses politik masif yang berakhir dengan dikuasainya gedung parlemen,” kata Fahri mengingatkan.
Nah, Fahri mengatakan bahwa mungkin saja terkait dengan radikalisasi ini, akhirnya Twitter menutup akun Donald Trump yang diduga dipakai untuk memprovokasi massa. “Jadi, sekali lagi ini adalah problem provokasi,” tegasnya.
Jadi, Fahri menegaskan, pelajaran penting dari peristiwa ini adalah elite jangan terjebak meneruskan pembelahan pada masyarakat yang dapat menyebabkan radikalisasi yang akan kian menguat.
“Sebaiknya pemimpin menciptakan suasana yang rekonsiliatif sehingga membuat masyarakat mengambil jalan-jalan yang damai,” pungkasnya.(boy/jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur & Reporter : Boy