Soroti Mutu Pendidikan Indonesia, Ketum PGRI Pakai Frasa 'Gawat Darurat'

Jumat, 19 November 2021 – 18:56 WIB
Ketum PB PGRI Unifah Rosyidi dalam TING XIII-FKIP 2021. Foto tangkapan layar

jpnn.com, JAKARTA - Dunia pendidikan di Indonesia menghadapi situasi gawat darurat bahkan sejak pandemi Covid-19 belum melanda tanah air. Hal ini terkait mutu pendidikan yang kualitasnya makin menurun. 

Ketum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Unifah Rosyidi mengatakan pandemi Covid-19 berdampak pada situasi gawat darurat di bidang kesehatan, sosial, ekonomi bahkan politik.

BACA JUGA: Tingkatkan Mutu Pendidikan, KNPI Gandeng Universitas Brawijaya

"Namun, hampir terlupakan bahwa ada gawat darurat mutu pendidikan yang sesungguhnya telah terjadi jauh lebih awal lagi bahkan jauh sebelum Covid-19," kata Unifah dalam Temu Ilmiah Guru Nasional (TING) XIII-FKIP 2021 di Universitas Terbuka (UT) secara daring, Jumat (19/11).

Indikasi gawat darurat pendidikan Indonesia, menurut Unifah, terlihat dari nilai PISA atau Programme for International Student Assesment yang menilai kemampuan para siswa dalam skala internasional. Selain tidak konsisten, naik turun, belakangan malah makin anjlok.

BACA JUGA: Ketua MPR Minta Dana Otsus Papua Mampu Tingkatkan Mutu Pendidikan

Hasil tes PISA 20 tahun terakhir dari skor literasi Matematika, IPA dan membaca yang dapat dicapai anak Indonesia selama 2012 sampai 2018 tersirat sebuah kondisi yang bukan hanya rendah, tetapi juga naik turun sejak 2001 sampai 2009. Kemudian konsisten menurun sejak 2021.

"Yang dikhawatirkan adalah terjadinya 'kontet' intelektual (intelektual stunting) yang terjadi pada anak-anak kita akibat pendidikan yang diikutinya," ujar Unifah.

BACA JUGA: Sebelas Perwira Tinggi TNI AL Naik Pangkat, Nih Daftar Namanya

Dia menyebut Vietnam bisa mengejar Singapura dan China (terkait PISA) dalam waktu singkat karena konsisten mengawal kurikulum sebagai bagian reformasi kepada para guru. Hal ini ditempuh secara konsisten dan berkelanjutan.

"Kita punya kurikulum 2013, diam-diam diimplementasikan di sekian puluh ribu sekolah penggerak. Dulu namanya sekolah pembelajar, guru pembelajar, tetapi sebenarnya sama saja, enggak ada bedanya," ucap Unifah.

Masalahnya, lanjutnya, konsistensi para pengambil kebijakan di pemerintah untuk melanjutkan hal itu dan bukan diganti dengan kebijakan baru. Lantas jika ada kesalahan yang dijadikan kambing hitam guru.

"Bisa tidak para petinggi kita konsisten melanjutkan yang sudah diperbaiki, bukan selalu diganti dan sebagainya. Kemudian dengan enaknya mengatakan ini karena gurunya. Biasanya gurunya yang selalu disalahkan," tegasnya.

Padahal banyak persoalan yang perlu dibenahi untuk menjadikan ekosistem pendidikan lebih baik. Saat ini kondisinya gawat darurat guru. Unifah menyodorkan data bahwa jumlah ASN guru 48 persen selebihnya adalah guru honorer.

Sementara itu, Rektor Universitas Terbuka Prof Ojat Darojat M.Bus., Ph.D berharap melalui TING XIII-FKIP 2021 akan muncul ide-ide dan gagasan baru terkait implementasi literasi digital dan merdeka belajar yang muncul dari penyelenggara pendidikan itu sendiri, seperti guru, dosen, mahasiswa dan tenaga pendidikan atau pemerhati dalam bidang pendidikan.

Literasi digital bukan hanya mengenalkan masyarakat pada media digital atau perangkat digital berbasis  internet semata, tetapi juga menganalisis, mengintegrasikan, mengelola, dan mengevaluasi informasi teknologi digital dalam proses pembelajaran. (esy/jpnn)


Redaktur : Friederich
Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler