jpnn.com, JAKARTA - Senator atau anggota DPD RI Dr. Filep Wamafma menyoroti program sosial CSR oleh Megaproyek Tangguh LNG atau BP Tangguh di Kabupaten Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat.
Menurut Filep, BP Tangguh telah melakukan pembohongan publik terkait program CSR.
BACA JUGA: Senator Filep Wamafma Soroti Klaim Kontribusi BP Tangguh untuk Tanah Papua
Dia menilai BP Tangguh tidak pernah memublikasi secara transparan sumber dana CSR BP Tangguh.
“BP Tangguh menutupi penjelasan mengenai sumber dana CSR dengan kalimat ‘BP dengan dukungan SKK Migas atau BP dengan Dukungan Pemerintah’,” kata Senator dari Provinsi Papua Barat Filep Wamafma saat menyampaikan laporan reses pada Sidang Paripurna DPD RI, Selasa (16/5).
Senator Filep mengatakan frase ini menutupi informasi tentang sumber dana CSR yang berasal dari cost recovery, yang mengurangi penerimaan negara dan Dana Bagi Hasil Migas Daerah.
“Ketidaktransparanan BP mengenai sumber dana CSR BP ini telah membohongi publik seolah-olah dana CSR BP bersumber dari keuntungan BP. Padahal dana CSR seharusnya dikeluarkan tersendiri dari total keuntungan BP Tangguh bukan menggunakan cost recovery,” ujar Senator Filep.
BACA JUGA: Senator Filep: Segera Mengaudit SKK Migas dan BP Tangguh di Bintuni Papua Barat
Filep menduga terjadi permainan regulasi yang merugikan daerah dan masyarakat daerah, tetapi menguntungkan BP Tangguh, SKK Migas, dan pihak terkait lainnya.
Hal ini sangat jelas pada PP 35 Tahun 2004 dan Permen ESDM Nomor 22 Tahun 2008 yang bertentangan dengan UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT).
Pasalnya, Undang-Undang ini memberikan kewajiban kepada setiap Perusahaan baik perusahaan asing maupun dalam negeri untuk melaksanakan program tanggung jawab sosial (CSR) yang anggarannya merupakan kewajiban Perseroan sesuai Pasal 74 UU PT Ayat 1 dan 2 sebagai berikut:
1). Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
2). Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
Sementara pemerintah pada zaman Menteri ESDM Jero Wacik memasukkan kegiatan CSR sebagai cost recovery dengan menarik kembali Permen ESDM Nomor 22 Tahun 2008 tentang Jenis-Jenis Biaya Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang tidak dapat dikembalikan kepada Kontraktor Kontrak Kerja Sama.
Sebagaimana diketahui, dalam Permen tersebut ditetapkan 17 kegiatan yang tidak boleh dibebankan, salah satunya adalah pembebanan dana pengembangan Iingkungan dan masyarakat setempat (Community Development, juga dipahami sebagai CSR) pada masa kegiatan eksploitasi.
Permen ini muncul karena masyarakat menuntut kontribusi dari perusahaan di wilayah penghasil migas. Minimnya kontribusi menyebabkan masyarakat tidak merelakan wilayahnya sebagai area pertambangan dan muncul konflik. Oleh pemerintah waktu itu, hal ini dipandang sebagai gangguan investasi.
“Gangguan semacam ini menyebabkan investasi migas menjadi terhambat dan penerimaan negera berpotensi berkurang. Itukah sebabnya Menteri ESDM Jero Wacik mendukung dana CSR masuk dalam recovery cost agar penerimaan negara meningkat lagi. Recovery cost yang dimaksud adalah biaya operasi yang dapat dikembalikan dalam penghitungan bagi hasil (DBH),” kata Senator Filep.
Selain itu, dalam komitmen AMDAL terdapat kesepakatan terkait pemberdayaan ekonomi masyarakat asli Bintuni lewat pendirian 4 Perusahaan berbendera Subitu yakni: Pertama, PT. Subitu Karya Busana.
Kedua, PT Subitu Inti Konsultan (SIK). Ketiga, PT. Subitu Karya Teknik (SKT). Keempat, PT. Subitu Trans Maritim (STM).
Menurut Filep, program yang dibesar-besarkan ke publik bahwa BP telah menjalankan komitmen pemberdayaan ekonomi masyarakat Papua nyatanya hanya sebagai pencitraan belaka.
Dia menyebut fakta saat ini ditemukan bahwa PT Subitu hanya sebagai jalan untuk memperoleh keuntungan bagi oknum Perusahaan.
Bahkan, Perusahaan-perusahaan tersebut tidak menguntungkan dan tidak bermanfaat bagi masyarakat Papua karena PT tersebut diduga hanya digunakan untuk tempat memperoleh keuntungan pribadi, sehingga tidak transparan terkait modal, pemegang saham, struktur managemen dan ketentuan lainnya sesuai Perundang-undangan.
Fakta lainnya bahwa salah satu reputasi BP adalah kepatuhannya kepada etik dan hukum yang berlaku (Ethics and Compliance).
Namun, sejak UU Otsus disahkan pada tahun 2001, BP menikmati keuntungan dari proyek Tangguh LNG tetapi BP tidak mematuhi amanat UU Otsus yang memproteksi hak-hak masyarakat adat dan Orang Asli Papua.
“Ketidakpatuhan BP di Proyek Tangguh LNG ini telah merugikan masyarakat sekitar proyek karena diberlakukan pula kepada ratusan kontraktor maupun sub-kontraktor yang menikmati keuntungan dari proyek Tangguh, tetapi tidak mengindahkan amanat UU Otsus.
“Hal ini terjadi sejak Pembangunan Train I dan II, produksi dan eksport hingga ekspansi BP, ratusan kontraktor, serta sub-kontraktor BP tidak melakukan Program CSR,” ujar Filep.
Pada kesempatan itu, Senator Filep dalam laporannya di hadapan semua anggota DPD RI dari seluruh perwakilan provinsi di Indonesia menyampaikan empat fakta temuan tentang BP Tangguh.
Keempat fakta itu meliputi pembohongan publik BP tentang Program Sosial (CSR) BP, Pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh BP dengan Dukungan SKK Migas, Kejahatan Kemanusiaan oleh BP Dengan Dukungan SKK Migas, dan Rasisme Implisit dalam Program Sosial Maupun Ketenagakerjaan.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari