jpnn.com, JAKARTA - Pengamat pendidikan Muhammad Nur Rizal menilai warisan nilai-nilai Ki Hajar Dewantara agaknya kurang dimaknai dengan sungguh-sungguh oleh pendidik masa kini.
Sejatinya warisan itu dinilai mampu mendorong generasi muda tumbuh menjadi dirinya sendiri, memiliki kemandirian berpikir, dan jiwa yang merdeka.
BACA JUGA: Peringati Hardiknas, Puan: Pesan Ki Hajar Dewantara Selalu Relevan
“Spirit Taman Siswa bisa berdiri kalau semua SD di Yogyakarta mau mengubah kultur pendidikan menjadi lebih menyenangkan dan memanusiakan,” kata pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) ini dalam pesan elektroniknya, Selasa (23/8).
Dia menyebutkan pendidikan di Yogyakarta memiliki indikator penilaian 3P yaitu Pelayanan, Penampilan, dan Prestasi.
BACA JUGA: Fahmi PKS Ungkit Janji Jokowi untuk Guru Honorer di Piagam Ki Hajar Dewantara
Namun, indikator tersebut tidak imbang dengan realitas yang terjadi. Problematika pendidikan di Kota Yogyakarta seperti demotivasi belajar siswa, kasus perundungan.
"Juga tidak adanya ruang untuk mengeksplor lebih jauh keunikan siswa memunculkan pertanyaan apakah spirit Taman Siswa bisa dihidupkan kembali?," ujarnya.
BACA JUGA: BNPT Ajak Ribuan Guru di DKI Jakarta Untuk Mencegah Penyebaran Radikalisme
Menurut alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM) itu, spirit tersebut bisa dibangun kembali dengan adanya Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) dengan ideologi kemanusiaannya.
“Birokrasi yang lebih terbuka dan adaptif juga dibutuhkan untuk konsep pendidikan masa depan GSM,” lanjut Rizal.
Dia memaparkan sekolah perlu mendapatkan kesempatan yang setara dan diperlakukan sama, baik sekolah besar, favorit atau bukan.
Jadi, tidak dibeda-bedakan oleh takaran sumber daya infrastruktur, guru, dan muridnya sehingga tidak adanya kastanisasi di komunitas GSM itu sendiri.
Dukungan nyata pada GSM tampak dari hadirnya undangan yang justru dikeluarkan langsung oleh Dinas Pendidikan kota Yogyakarta, serta perencanaan ke depan untuk membangun kegiatan di komunitas SD secara serius dan sistematis.
Ada tiga hal yang dibangun di dalam komunitas GSM. Pertama, adanya ruang kemandirian bagi setiap guru dan kepala sekolah untuk membentuk jiwa-jiwa yang merdeka dalam membuat kurikulum sekolahnya sendiri. Serta perencanaan pembelajaran sendiri yang disesuaikan kebutuhan serta keunikan muridnya.
Kedua, adanya peningkatan kapasitas diri setiap guru dalam hal profesionalisme, kompetensi, karakter, dan mindset. Ketiga, aktivitas bertukar praktik baik para guru dalam mengajar agar tercipta kualitas mengajar sebaik mungkin.
"GSM memiliki ideologi Sekolah 0.4 untuk membangunkan spirit sekolah dengan kembali mendidik manusia agar siswa menemukan versi terbaiknya," tuturnya.
Keberhasilan GSM dibuktikan dengan adanya pernyataan dari Sarmidi selaku koordinator Pengawas kota Yogyakarta, dan Kepala UPT (Unit Pelaksana Teknis) Yogyakarta. Menurutnya GSM menggunakan pendekatan sangat tepat dan bagus dengan pembelajaran untuk memanusiakan manusia,” kata Sarmidi.(esy/jpnn)
Redaktur : Djainab Natalia Saroh
Reporter : Mesyia Muhammad