WONOSOBO – Menko Perekonomian Hatta Rajasa dan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan bakal membuka camping pencinta, pemerhati, pengamat dan perawat lingkungan di Bukit Wartawan, Telaga Menjer, Wonosobo, Jawa Tengah. Bukit yang lima tahun lalu, menjadi penanda spirit para jurnalis di negeri ini saat merayakan Hari Pers Nasional (HPN) 2008 di Semarang. Di bukit itulah ribuan pohon konservasi ditanam oleh para kuli laptop dan kuli kamera.
“Saya bangga, pekerja jurnalistik ini tidak sekedar mengkritik kerusakan lingkungan dan punahnya aneka vegatasi akibat pembalakan liar. Tetapi, wartawan juga secara konkret dan nyata, melakukan aksi penanaman pohon, membuat monument bukit wartawan, dan sekaligus menancapkan spirit cinta lingkungan,” sambut Menko Hatta Rajasa, yang sangat antusias dengan kegiatan “Edukasi Lingkungan Djarum Trees For Life di Bukit Wartawan”, 24-26 Maret 2013.
Lima tahun silam, saat memulai penanaman Bukit Wartawan ini, Menkominfo M Nuh yang hadir bersama semua organisasi kewartawanan di tanah air. Setelah lima tahun ditanam, seperti apa pohon-pohon yang dirancang sebagai water catching system itu? Setinggi apa mereka? Sesubur apa mereka? Seberapa besar kontribusinya buat produksi oksigen di sana? Sambil menyelam minum air, sambil camping selama tiga hari, sekaligus melihat ke belakang, spirit menanam wartawan kala itu. “Spirit itulah yang reborn! Lahir kembali! Semampang masih musim hujan, masih banyak air, ayo kita galakkan menanam pohon lagi,” sebut Hatta.
Kemah yang diikuti sekitar 270 peserta yang berasal dari unsur pencinta alam, penggerak lingkungan, mahasiswa, wartawan, organisasi sosial kemasyarakatan ini menjadi sangat unik. Karena selain melakukan penanaman pohon, kerja bakti pembersihan Telaga Menjer, juga diisi dengan workshop bertema lingkungan.
“Workshop ini mencakup dua sasaran, pertama, menginspirasi peserta akan penting dan mendesaknya budaya menanam. Kedua, mengajari teknis, bagaimana memberdayakan setiap jengkal tanah untuk pohon. Bagi Djarum Foundation, edukasi lingkungan semacam ini sudah dilakukan sejak tahun 1989, dan secara konsisten dijalankan hingga saat ini,” tambah Primadi M Serad, Program Director Djarum Foundation.
Pertanyaannya, mengapa di Wonosobo yang jauh di Jawa Tengah sana? “Yang pasti, Bukit Wartawan itu di seluruh penjuru dunia tidak akan ditemukan, karena hanya ada di Wonosobo. Hanya wartawan Indonesia saja yang punya bukit konservasi, bukit untuk water catching area. Hanya wartawan Indonesia juga yang selain ahli reportase juga peduli lingkungan? Kebetulan, Bupati Wonosobo H Kholiq Arif juga mantan wartawan? Lengkap sudah, alasan mengapa kegiatan berskala nasional seperti ini dipusatkan di daerah,” jelas Primadi.
Bupati Kholiq Arif menambahkan, bahwa selama ini dirinya menggunakan istilah “pohon”, “menanam”, dan “lingkungan” sebagai sarana untuk menjangkau apa saja. Tembok-tembok perbedaan, sekat-sekat konflik, barikade aliran, semua bisa diterobos dengan tiga password di atas. “Menanam pohon, mencintai lingkungan, bersahabat dengan alam itu menjadi kata kunci bagi saya. Karena itu, di Wonosobo saya punya Bukit Pramuka, Bukit Wartawan, Bukit Volkwagen, dan lainnya, yang menjadi monumen yang lebih bermakna bagi anak cucu kita,” ujar Bupati Kholiq Arif.
Bukan hanya itu, Kholiq menyadari, Wonosobo itu pusatnya Jawa Tengah. Posisinya 100 kilometer dari Kota Semarang, juga 100 kilometer dari Jogjakarta. Jaraknya juga sama dengan ke Banyumas di pojok barat daya Jawa Tengah, maupun Tegal di sudut barat laut Jawa Tengah. Secara geografis betul-betul berada di tengah. “Secara topografi, Wonosobo itu berada di lereng gunung Sindoro dan Sumbing, yang posisinya paling tinggi. Posisi yang strategis, dan menjadi taruhan bagi wilayah-wilayah lain, seperti Kendal, Pekalongan, Banjarnegara sampai Cilacap, Temanggung sampai Magelang,” papar Kholiq.
Kalau Wonosobo rusak, hutannya gundul, saat musim hujan tiba, akan ada 13 daerah yang posisinya di aliri sungai Serayu yang bermata air di Dieng. Ke-13 daerah itulah yang mirip “Jakarta” sedangkan Wonosobo adalah “Bogor”-nya, saat terjadi banjir kiriman. Seperti yang terjadi saat ini, di Jakarta ada istilah “Banjir tak berarti hujan”, karena tidak hujan pun bisa terjadi banjir. Namanya banjir kiriman. “Saya tidak ingin situasi seperti itu menimpa Wonosobo dan sekitarnya,” jelas Kholiq.
Karena itu, Bupati Kholiq sangat respek dengan program Djarum Trees For Life yang mencubit kembali spirit menanam di Bukit Wartawan. Kegiatan yang merupakan kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Wonosobo, Kementerian Kehutanan RI, dan Djarum Foundation ini. Dia menyebut, Djarum sangat konsisten dengan program pro lingkungan. Workshop yang bermateri Tabulampot –tanaman buah dalam pot—yang diisi dari Mekarsari, Jonggol, Kab Bogor, lalu Tim Kerja Pemulihan Dieng (TKPD), soal budidaya dan manfaat Trembesi oleh Endes, dan lainnya, akan memberi pencerahan pada aktivis lingkungan yang ikut menjadi peserta. “Cita-cita besar, harus dimulai dari langkah kecil dan nyata!” ucap Bupati Kholiq. (*)
“Saya bangga, pekerja jurnalistik ini tidak sekedar mengkritik kerusakan lingkungan dan punahnya aneka vegatasi akibat pembalakan liar. Tetapi, wartawan juga secara konkret dan nyata, melakukan aksi penanaman pohon, membuat monument bukit wartawan, dan sekaligus menancapkan spirit cinta lingkungan,” sambut Menko Hatta Rajasa, yang sangat antusias dengan kegiatan “Edukasi Lingkungan Djarum Trees For Life di Bukit Wartawan”, 24-26 Maret 2013.
Lima tahun silam, saat memulai penanaman Bukit Wartawan ini, Menkominfo M Nuh yang hadir bersama semua organisasi kewartawanan di tanah air. Setelah lima tahun ditanam, seperti apa pohon-pohon yang dirancang sebagai water catching system itu? Setinggi apa mereka? Sesubur apa mereka? Seberapa besar kontribusinya buat produksi oksigen di sana? Sambil menyelam minum air, sambil camping selama tiga hari, sekaligus melihat ke belakang, spirit menanam wartawan kala itu. “Spirit itulah yang reborn! Lahir kembali! Semampang masih musim hujan, masih banyak air, ayo kita galakkan menanam pohon lagi,” sebut Hatta.
Kemah yang diikuti sekitar 270 peserta yang berasal dari unsur pencinta alam, penggerak lingkungan, mahasiswa, wartawan, organisasi sosial kemasyarakatan ini menjadi sangat unik. Karena selain melakukan penanaman pohon, kerja bakti pembersihan Telaga Menjer, juga diisi dengan workshop bertema lingkungan.
“Workshop ini mencakup dua sasaran, pertama, menginspirasi peserta akan penting dan mendesaknya budaya menanam. Kedua, mengajari teknis, bagaimana memberdayakan setiap jengkal tanah untuk pohon. Bagi Djarum Foundation, edukasi lingkungan semacam ini sudah dilakukan sejak tahun 1989, dan secara konsisten dijalankan hingga saat ini,” tambah Primadi M Serad, Program Director Djarum Foundation.
Pertanyaannya, mengapa di Wonosobo yang jauh di Jawa Tengah sana? “Yang pasti, Bukit Wartawan itu di seluruh penjuru dunia tidak akan ditemukan, karena hanya ada di Wonosobo. Hanya wartawan Indonesia saja yang punya bukit konservasi, bukit untuk water catching area. Hanya wartawan Indonesia juga yang selain ahli reportase juga peduli lingkungan? Kebetulan, Bupati Wonosobo H Kholiq Arif juga mantan wartawan? Lengkap sudah, alasan mengapa kegiatan berskala nasional seperti ini dipusatkan di daerah,” jelas Primadi.
Bupati Kholiq Arif menambahkan, bahwa selama ini dirinya menggunakan istilah “pohon”, “menanam”, dan “lingkungan” sebagai sarana untuk menjangkau apa saja. Tembok-tembok perbedaan, sekat-sekat konflik, barikade aliran, semua bisa diterobos dengan tiga password di atas. “Menanam pohon, mencintai lingkungan, bersahabat dengan alam itu menjadi kata kunci bagi saya. Karena itu, di Wonosobo saya punya Bukit Pramuka, Bukit Wartawan, Bukit Volkwagen, dan lainnya, yang menjadi monumen yang lebih bermakna bagi anak cucu kita,” ujar Bupati Kholiq Arif.
Bukan hanya itu, Kholiq menyadari, Wonosobo itu pusatnya Jawa Tengah. Posisinya 100 kilometer dari Kota Semarang, juga 100 kilometer dari Jogjakarta. Jaraknya juga sama dengan ke Banyumas di pojok barat daya Jawa Tengah, maupun Tegal di sudut barat laut Jawa Tengah. Secara geografis betul-betul berada di tengah. “Secara topografi, Wonosobo itu berada di lereng gunung Sindoro dan Sumbing, yang posisinya paling tinggi. Posisi yang strategis, dan menjadi taruhan bagi wilayah-wilayah lain, seperti Kendal, Pekalongan, Banjarnegara sampai Cilacap, Temanggung sampai Magelang,” papar Kholiq.
Kalau Wonosobo rusak, hutannya gundul, saat musim hujan tiba, akan ada 13 daerah yang posisinya di aliri sungai Serayu yang bermata air di Dieng. Ke-13 daerah itulah yang mirip “Jakarta” sedangkan Wonosobo adalah “Bogor”-nya, saat terjadi banjir kiriman. Seperti yang terjadi saat ini, di Jakarta ada istilah “Banjir tak berarti hujan”, karena tidak hujan pun bisa terjadi banjir. Namanya banjir kiriman. “Saya tidak ingin situasi seperti itu menimpa Wonosobo dan sekitarnya,” jelas Kholiq.
Karena itu, Bupati Kholiq sangat respek dengan program Djarum Trees For Life yang mencubit kembali spirit menanam di Bukit Wartawan. Kegiatan yang merupakan kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Wonosobo, Kementerian Kehutanan RI, dan Djarum Foundation ini. Dia menyebut, Djarum sangat konsisten dengan program pro lingkungan. Workshop yang bermateri Tabulampot –tanaman buah dalam pot—yang diisi dari Mekarsari, Jonggol, Kab Bogor, lalu Tim Kerja Pemulihan Dieng (TKPD), soal budidaya dan manfaat Trembesi oleh Endes, dan lainnya, akan memberi pencerahan pada aktivis lingkungan yang ikut menjadi peserta. “Cita-cita besar, harus dimulai dari langkah kecil dan nyata!” ucap Bupati Kholiq. (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pangdam Yakin Pelaku Bukan Kopassus
Redaktur : Tim Redaksi