jpnn.com, JAKARTA - Pesawat Sriwijaya Air SJ-182 yang jatuh ketika terbang dari Jakarta menuju Pontianak adalah jenis Boeing 737-500 yang berusia hampir 27 tahun. Sebagian besar armada Sriwijaya Air diketahui berusia di atas 20 tahun.
Dilansir dari Reuters, dua bersaudara Chandra dan Hendry Lie, berasal dari keluarga pengusaha tambang dan garmen, memulai maskapai Sriwijaya Air 17 tahun lalu.
Dimulai dari satu pesawat, rute yang dipilih adalah Pangkal Pinang di Kepulauan Bangka, menuju Jakarta. Rute yang menerbangi kediaman mereka menuju ibu kota Indonesia.
Sejak awal, Sriwijaya menggunakan srategi konservatif. Membeli pesawat lama dengan harga murah, dan menerbangi rute yang tak banyak disinggahi kompetitornya.
BACA JUGA: Dompet Seorang Penumpang Sriwijaya Air Ditemukan Penyelam TNI AL, Ada Foto 2 Anaknya
Kini, armada Sriwijaya Air dan anak grupnya NAM Air, rata-rata berusia di atas 20 tahun. Usia yang hampir tiga kali lipat lebih tua jika dibandingkan armada milik Lion Air, menurut planespotter.net.
Sriwijaya Membeli Pesawat Tua
BACA JUGA: Update: Ini Jumlah Kantong Jenazah Korban Sriwijaya Air yang sudah Diterima Tim DVI
Pesawat Boeing 737-500 yang terjatuh, adalah satu di antara 77 pesawat serupa yang masih beroperasi secara global, hingga saat ini, menurut Cirium.
Maskapai lain yang masih menggunakan pesawat serupa di antaranya adalah Air Peace dari Nigeria dan maskapai asal Kazakhstan SCAT Airlines.
Dua pekerja Sriwijaya Air mengatakan pada Reuters, jika strategi membeli pesawat tua bukan hanya didorong pertimbangan harga yang murah.
Kapasitas tempat duduk yang sedikit, mencapai 120 orang, lebih cocok melayani rute tertentu, seperti Jakarta-Pontianak.
Selain itu, pesawat ini juga bisa mendarat pada landasan pacu yang memiliki runway pendek, menurut sumber yang dikutip secara anonim.
Sriwijaya belum merespons permintaan konfirmasi dari Reuters.
Sriwijaya Air Terbelit Utang
Sementara menurut Kementerian Perhubungan, pesawat berusia tua bisa tetap beroperasi seaman pesawat baru.
Pesawat tua hanya lebih boros bahan bakar, dan membutuhkan perawatan ekstra. Tingginya biaya perawatan dan rendahnya harga tiket akibat persaingan, menyebabkan Sriwijaya Air berutang pada layanan servis milik Garuda, GMF AeroAsia.
Pada 30 September 2020, Sriwijaya Air dan NAM berhutang sekitar USD63 juta atau sekitar Rp891 miliar pada GMF AeroAsia.
Status keuangan Sriwijaya Air kini belum jelas, tetapi seorang pilot yang berbicara dalam kondisi anonim mengatakan jika telah terjadi pemotongan gaji pilot dan pengurangan jumlah pesawat yang beroperasi.
Pilot itu juga mengatakan jika Sriwijaya Air telah mematuhi kewajiban training dan perawatan selama pandemi.
Kini Sriwijaya Air dan NAM Air memiliki sedikitnya 34 pesawat dan separuhnya sedang dalam perawatan, menurut planespotters.net.
"Pertanyaan apakah keuangan Sriwijaya dalam kondisi buruk, mampu mengatasi kecelakaan di tengah pandemi yang sudah membuat industri penerbangan lumpuh," kata Shukor Yusof, Konsultan Penerbangan Malaysia dari Endau Analytics. (rtr/ngopibareng/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : Natalia