Suami Istri PNS Ditjen Pajak, Ternyata Masih Takut Kelabakan soal Uang

Minggu, 29 Maret 2015 – 17:02 WIB
Foto: dok.Jawa Pos

jpnn.com - ADA anggapan publik, PNS yang bekerja di Direktorat Jenderal Pajak hidupnya enak lantaran tunjangan kerjanya paling tinggi dibanding pegawai di instansi lain. Benarkah?

Norman dan sang istri sama-sama pegawai negeri sipil (PNS) golongan III-b di Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan. Mereka bertugas di Kantor Pajak Pratama Jakarta Selatan.

BACA JUGA: BBM Naik Lagi, JK: Itu Risiko...

Akhir tahun lalu keluarga kecil Norman menempati rumah baru seluas 114 meter persegi di kawasan Jakarta Timur. Rumah sederhana yang dibeli seharga Rp 580 juta itu menjadi kado bagi putra kecil mereka yang baru berusia 16 bulan sekaligus untuk menyambut buah hati kedua kelak.

”Istri lagi hamil. Alhamdulillah, sudah tiga bulan kandungannya,” ujar Norman kepada Jawa Pos kemarin (28/3).

BACA JUGA: Ini Hasil Mengecewakan Program Gelap-gelapan Satu Jam

Setengah dari harga rumah itu memang dibayar secara tunai hasil menabung Norman sejak memulai karir. Sisanya, Norman maupun istrinya sama-sama mengajukan kredit tanpa agunan (KTA) dengan tenor empat tahun. ”Jadi, ya sekarang lumayan mengencangkan ikat pinggang,” ungkap Norman yang resmi menjadi PNS di Ditjen Pajak sejak 2009.

Adanya guyuran insentif dari pemerintah untuk pegawai pajak seperti Norman bisa saja membuat dia segera membeli perabotan rumah atau bahkan mengisi garasi dengan mobil baru.

BACA JUGA: Bukti Komitmen Antam Terhadap Pengembangan SDM

Namun, pria berusia 30 tahun itu sampai sekarang masih memilih tetap setia dengan kendaraan Vespa Super lansiran 1978-nya.

”Sekarang kita (pegawai Ditjen Pajak, Red) memang istilahnya dikasih angin segar. Kalau target tercapai, artinya ada insentif. Tapi, kalau target tidak tercapai, yang ada malah pengurangan,” terangnya. Jalan pikiran itu, ungkap Norman, diambilnya supaya tidak terjadi risiko di kemudian hari.

Norman khawatir target tidak tercapai. Sementara pada saat yang sama dia sudah meningkatkan taraf dan gaya hidup, misalnya dengan mencicil mobil. ”Bukannya dapat insentif, malah dipotong, kan bisa kelabakan. Jadi, tetap seperti biasa saja. Memang sih, bergantung pribadinya masing-masing. Tapi, buat saya harta itu ujian,” tuturnya.

Norman menyadari, seandainya target setoran pajak tercapai, dirinya akan meraup tambahan hampir dua kali dari gaji saat ini. Sejalan dengan itu, beban dan jam kerja juga meningkat.

"Yang kasihan itu para pelaksana (di lapangan). Saya juga pelaksana, tapi sudah ada jabatan. Nah, pelaksana itu katakanlah kalau target terpenuhi dapat insentif Rp 1 juta misalnya. Kalau tidak tercapai, bisa dipotong sampai Rp 1,5 juta. Jadi kan berkurang dari yang lama,” paparnya.

Yang akan sangat menikmati insentif adalah pegawai mulai golongan eselon IV ke atas. Insentifnya terasa sangat signifikan. Sebab, di golongan itu, kalaupun target tidak tercapai, tetap akan ada kenaikan dari gaji reguler meskipun tak sebesar jika target tercapai.

Di kantor tempat Norman bekerja, pasca penandatanganan insentif tersebut, pimpinan mulai meminta tambahan jam kerja dan tentu saja tuntutan untuk lebih bekerja keras. Selain karena mengejar insentif, juga lantaran tingginya target yang ditetapkan. Sehingga, dengan jam kerja PNS biasa, kecil kemungkinan target tercapai.

Sebelumnya Norman harus mulai mengantor pukul 07.30 dan pulang 17.00. Mulai April 2015, waktu pulang lebih malam, minimal pukul 18.00. ”Kami sekarang pakai sistem kerja bareng-bareng. Sebisa mungkin kerjakan bareng supaya tercapai,” imbuhnya. (gen/gun/wir/c9/kim)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... ANTAM Salurkan Rp75 Miliar ke 4 Ribu Mitra Binaan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler