Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, tambahan terbesar dibutuhkan untuk subsidi BBM. "Selain lonjakan konsumsi, subsidi BBM juga naik karena harga minyak tinggi," ujarnya di DPR, Senin (15/10).
Sebagaimana diketahui, subsidi BBM dalam APBN-P 2012 dipatok sebesar Rp 137,4 triliun. Namun, realisasi hingga akhir tahun diperkirakan mencapai Rp 216,8 triliun. Artinya, masih butuh tambahan Rp 79,4 triliun.
Menurut Bambang, kuota konsumsi BBM yang sebesar 40 juta kiloliter dipastikan tidak akan cukup. Karena itu, untuk mencukupi pasokan BBM hingga akhir tahun, pemerintah mengajukan tambahan 3,5 juta kiloliter. Sehingga, sampai akhir tahun realisasi konsumsi BBM subsidi sebesar Rp 43,5 juta kiloliter. "Kalau (kuota) tidak ditambah, pasokan BBM subsidi akan habis," katanya.
Dalam kajian Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), tanpa tambahan kuota, maka BBM subsidi diperkirakan akan habis pada November mendatang. Bahkan, untuk Jakarta yang konsumsinya tinggi, jatah BBM subsidi sudah habis pada pertengahan Oktober ini."
Tingginya harga minyak juga disebut sebagai pemicu besarnya tambahan subsidi BBM. Sebab, harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) yang diasumsikan USD 105 per barel, realisasi periode Januari - September 2012 sudah mencapai USD 114,4 per barel.
Selain itu, karena sebagian BBM harus diimpor dari luar negeri, maka melemahnya nilai tukar Rupiah ikut menambah besar subsidi. Sebagai gambaran, nilai tukar yang awalnya diprediksi Rp 9.000 per USD, realisasi rata-ratanya diproyeksi mencapai Rp 9.250 per USD."
Sebelumnya, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa menyatakan, melesetnya target kuota BBM disebabkan asumsi yang digunakan saat penyusunannya tidak terealisasi. "Rencananya kan harga naik, tapi karena batal, maka konsumsi menjadi tinggi, apalagi program pengendalian (pembatasan, Red) juga belum optimal," jelasnya.
Bagaimana dengan subsidi listrik" Bambang menyebut, anggaran subsidi listrik yang ditetapkan di APBN-P 2012 sebesar Rp 64,97 triliun, dipastikan tidak akan cukup. "Kami perkirakan subsidi listrik mencapai Rp 89,1 triliun, jadi (anggaran) masih kurang Rp 24,1 triliun," ucapnya.
Menurut Bambang, selain pertumbuhan konsumsi listrik yang tinggi, naiknya subsidi listrik juga disebabkan oleh molornya penyelesaian pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dalam program 10.000 mega watt (MW). Akibatnya, PLN harus lebih banyak menggunakan solar yang berharga mahal untuk pembangkit listrik.
Karena itulah, lanjut Bambang, pemerintah meminta persetujuan DPR untuk memberikan izin penggunaan cadangan risiko energi sebesar Rp 23 triliun untuk membayarkan kekurangan subsidi listrik. "Sedangkan untuk kekurangan subsidi BBM, akan dibayar pemerintah setelah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)," ujarnya. (Owi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... BPOM Diminta Tingkatkan Pengawasan Obat dan Makanan
Redaktur : Tim Redaksi