Suguhan Menawan Rockers Sekolahan

Minggu, 22 April 2012 – 18:01 WIB
Personil Dream Theater, James LaBrie (vokal) dan John Petrucci (gitar) dalam konser bertajuk "A Dramatic Tour of Events" di Mata Elang International Stadium, Ancol, Sabtu (21/4) malam. Foto : Angger Bondan/Jawa Pos

PROGRESSIVE metal, progressive rock, atau akar musiknya, art rock, memang bukanlah jenis musik instan yang langsung bisa dirasakan "enaknya" hanya dengan mendengar satu-dua kali. Perlu proses menyimak berulang-ulang atau bahkan perlu perenungan hanya untuk mengetahui makna lirik atau musik yang dimainkan sang artis.

Di tangan Dream Theater (DT), hambatan menyimak musik "rock njelimet" seperti ini sepertinya berhasil diminimalisasi, meski lagu-lagu mereka rata-rata memang berdurasi panjang dan penuh improvisasi terlebih lagi saat dimainkan di panggung. Dengan skill bermusik jauh di atas rata-rata, John Petrucci (gitar), John Myung (bas), James LaBrie (vokal), Jordan Rudess (kibor) dan Mike Mangini (drum) berhasil meramu sebuah sajian musik yang bisa dicerna segala usia dan golongan.

Buktinya adalah penampilan Dream Theater dalam konser "A Dramatic Tour of Events" di Mata Elang International Stadium (MEIS), Ancol, Sabtu (21/4) malam. Kesan menonton grup rock tua sama sekali tak ada. Penonton yang datang tak didominasi angkatan umur 30-40-an, yang beranjak dewasa bersama populernya album "Images and Words" yang dirilis tahun 1992 dan mengantar DT ke puncak popularitas progressive rock.

Remaja belasan tahun yang tak terhitung jumlahnya, terlihat berbaur bersama pria yang layak dipanggil om atau bahkan kakeknya. Berteriak, bernyanyi, berjingkrak bersama menirukan lagu yang dinyanyikan James LaBrie. Bukti nyata bahwa musik adalah bahasa universal dan tak pernah kenal usia!

DT mengawali konser dua jam lebih dengan intro lagu "Bridges in The Sky" dari album A Dramatic Tour of Events. "Jakarta..Jakarta…Jakarta…," kata LaBrie mengawali konser. Ribuan ponsel, tablet berkamera dan sejenisnya, langsung  mengabadikan momen langka yang ditunggu puluhan tahun ini. Meski sangat mengganggu, tapi sulit dilarang.

Rudess dan Mangini menyambungnya dengan membunyikan alat musik mereka. Teriakan, jingkrakan dan acungan tiga jari simbol heavy metal langsung menyambut lagu berdurasi 11:01 menit itu.  "Shaman take my hand," teriak LaBrie menutup lagu pertama mereka.

Berikutnya giliran gebukan drum Mangini membuka intro lagu 6:00 dari album Awake (1994). Gebukan Mangini langsung disusul bunyi kibor Rudess. Aksi keduanya spontan mengingatkan pada Mike Portnoy (drummer) dan Kevin Moore (kibor). Portnoy adalah salah satu pendiri Dream Theater, sedangkan Moore merupakan keibordis pertama sebelum digantikan Rudess.

Jelas terlihat, Mangini serta Rudess ingin menunjukkan pada fans lama DT, bahwa roh lagu yang menonjolkan bunyi drum, kibor dan gitar itu, tak hilang meski dimainkan bukan oleh personel aslinya. Setelah lagu usai, barulah James mencoba menyapa para penggemarnya.  "Jakarta.... It's been a long time comin', right?" ucapnya.

LaBrie kemudian mengenalkan Mangini sebagai drummer baru mereka yang membantu penggarapan A Dramatic Tour of Events. Sebelum ruangan digelapkan, James sempat berucap "Build Me Up, Break Me Down" dan mengalunlah sajian mereka berikutnya.

Shred gitar Petrucci terdengar di kegelapan, disusul sorotan lampu dan hidupnya dua giant screen di kanan-kiri panggung yang mempertontonkan  pukulan drum Mangini. Penonton semakin panas ketika intro "Surrounded" dimainkan dan ikut menyanyikan lagu yang diambil dari  album Images and Words itu.

Disusul kemudian "The Root of All Evil" dari album Octavarium. Lagu berdurasi 7:16 menit itu diakhiri raungan shred guitar Petrucci.

Giant screen kembali menampilkan Mangini dengan solo drumnya selama 6 menit. DT sepertinya ingin menunjukan bahwa pilihan untuk mencomot Mangini memang tepat. Sebagai drummer tercepat di dunia, Mangini seolah juga ingin menunjukkan skill-nya tak kalah dengan Portnoy yang selama 25 tahun identik dengan DT.

Empat pedal terdengar ditendang bergantian, belum lagi pukulan snare dan simbal yang super cepat. Penonton kemudian dibawa bernostalgia dengan sound lama di lagu "A Fortune in Lies" dari album perdana When Dream and Day Unite (1989). Loncatan masa kembali disuguhkan DT saat "Outcry" dari album terbaru jadi lagu selanjutnya.

Penonton pun serasa diajak membandingkan kualitas vokal Charlie Dominici dengan James LaBrie,  sentuhan kibor Kevin Moore dengan Jordan Rudess, serta gebukan drum Portnoy dengan Mangini. Kesimpulannya: hanya vokal yang beda sementara permainan musiknya tetap serupa.

Sesi akustik kemudian dimulai. James dan Petrucci berduet menyanyikan dua lagu, "Silent Man" (Awake) dan tentunya lag akustik di album A Dramatic Tour of Events bertitel "Beneath the Surface".

Jeda sejenak, tensi pennon kembali didongkrak dengan lewat lagu peraih nominasi Grammy Award 2012, "On The Back of Angels". Disambung "War Inside My Head" dan "The Test That Stumped Them All" dari album konsep Six Dgrees of Inner Turbulence (2002).

Di atas stage kemudian hanya tersisa Petrucci dan Rudess memainkan instrumentalia sekitar 5 menit. Keduanya beradu cepat menggapai nada-nada rumit yang tentu  saja tetap dalam harmoni dan tanpa cela.

Cahaya meredup hanya diterangi 3 layar berbentuk kubus yang ada tepat di atas drum set Mangini. Histeria penonton kembali terdengar begitu intro lagu "The Spirit Carries On" dimainkan Rudess.

"Where did we come from? why are we here? where do we go when we die?" Suasana makin mengena saat layar kubus tadi menayangkan suasana angkasa berikut awannya. Seolah terbangnya jiwa setelah terlepas dari raga.

Setelah diharu biru lagu metal religius , hits "Breaking all Illusions" akhirnya dimainkan. Selama beberapa saat fokus giant screen ditujukan pada Myung. Gambarnya kembali muncul pada bagian chorus bersama Petrucci.

Begitu lagu selesai, James berteriak mengajak keempat rekannya pamit mundur. "See you next time," kata LaBrie berpamitan.

Tentu ini hanyalah trik agar penonton penasaran. Teriakan "we want more, we want more" tanpa dikomando langsung bergema.

Benar saja, dari kegelapan Petrucci memainkan intro "Pull Me Under" yang memungkasi konser. Begitu usai, seluruh personel melepas instrumennya. Teriakan "we want more" penonton sudah tak mempan lagi. Lima dewa progressive rock itu pun menunduk berbarengan.

Permainan DT selama 2 lebih itu jelas tanpa cacat.  Punggawa-punggawa DT terutama Petrucci, Myung dan Rudess adalah rocker sekolahan. Petrucci dan Myung pernah menimba ilmu di Berklee College of Music di Massachusetts.  Bersama Portnoy pada 1985, Petrucci dan Myung membentuk Majesty yang menjadi cikal bakal DT. Demi membesarkan DT, ketiganya memutuskan hengkang dari sekolah musik.

Sedangkan Rudess yang bergabung belakangan, sudah menekuni piano sejak kecil. Pada umur 9 tahun, Ruddes sudah menimba ilmu piano klasik di Juilliard Schoool of Music. 

Ada pun Mangini nama yang tak asing lagi di jajaran dewa progresif metal. Mangini yang sudah malang melintang di perbagai grup seperti Annihilator, Extreme, maupun menjadi drummer bagi Steve Vai, adalah pemegang gelar salah satu penggebuk drum tercepat di dunia.

Kekurangan justru dirasakan penonton dari pihak penyelenggara. Dengan harga tiket kelas festival yang mahal Rp 1,5 juta (normal) atau presale I seharga Rp 800 ribu penonton disuguhi ketidakpastian saat memasuki venue. Tak ada jalur antre yang jelas berupa tali atau sejenisnya. Akibatnya, penonton dari segala arah merangsek ke dua titik pintu masuk.

Belum lagi kehadiran sponsor produk rokok yang memunculkan kecurigaan apakah tiket semahal itu tak bisa menutupi ongkos penyelenggaraan. Padahal di era Portnoy, produk jenis ini sangat dilarang. Beruntung permainan DT memuaskan sehingga dua masalah itu agak bisa ditolerir.(pra/ara/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ayu Ting Ting Selamatan Rumah Baru


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler