jpnn.com - Namanya Sultan Gustav Al Ghozali, sesuai dengan KTP. Dia dipanggil Sultan Ghozali, atau lebih ngetop dengan sebutan Ghozali Everyday.
Dialah sultan yang sebenar-benarnya. Di usianya yang masih 23 tahun dan berstatus mahasiswa, Sultan Ghozali adalah sultan dengan kekayaan triliunan rupiah.
BACA JUGA: Koleksi NFT Pertama Mobile Legends: Bang Bang Kini Hadir di Marketplace NFT Binance
Jangan bayangkan wajah Sultan Ghozali secakep Sultan Raffi Ahmad atau Sultan Atta Halilintar. Dia seorang anak muda dari Semarang dengan tampang standar yang sederhana dan nyaris lugu.
Namun, meski tampangnya kalah kinclong dari Raffi dan Atta, tetapi nilai jual wajah Sultan Ghozali jauh lebih mahal dari dua superselebgram Raffi dan Atta.
BACA JUGA: Twitter Merilis Fitur Baru yang Berkaitan dengan NFT
Deretan foto yang memajang wajah-wajah lugu Ghozali menjadi aset yang laku jual sampai tiga triliun rupiah. Satu foto selfie wajah Ghozali ada yang bernilai ratusan miliar. Dalam waktu relatif singkat Ghozali bisa menyalip kekayaan Raffi dan Atta.
Ghozali mendapat berkah durian runtuh dari dunia digital yang memunculkan platform digital baru yang disebut ‘’Non-Tangible Token’’ atau NFT, yang merupakan konsep investasi turunan kripto.
BACA JUGA: Raup Cuan Miliaran Kaya Ghozali Everyday, Nih Tips Bikin NFT
Ghozali mengoleksi foto-foto selfie dengan nama Ghozali Everyday, dan kemudian memasarkannya di Open Sea, marketplace terbesar NFT.
Dan, ajaib. Foto-foto selfie Ghozali Everyday ini menjadi karya ikonik di NFT, dan satu foto bisa laku puluhan juta rupiah. Mendadak sontak Ghozali menjadi sultan baru berkat koleksi foto-foto selfie itu.
Dengan memiliki aset NFT berarti Anda punya aset digital yang eksklusif. NFT menggunakan teknologi blockchain ethereum untuk merekam transaksi di dalamnya. NFT mewakili barang berharga atau unik dengan nilai tukar yang tidak ternilai.
Aset yang bisa dijual dengan bentuk NFT bisa berupa karya seni seperti game, foto, video, musik, dan lain-lainya. Anda juga bisa mengubah aset dokumen menjadi NFT. Harga jualnya tergantung dari faktor subjektif seperti kualitas, kreativitas, dan reputasi dari sang seniman.
Kalau Anda masih bingung mengapa satu aset NFT bisa berharga miliaran, mari kita ambil contoh para penghobi tanaman hias, ikan hias, batu akik, atau burung berkicau.
Ketika sedang musim tanaman hias, orang pada keranjingan dan ada yang rela membayar tanaman hias jenis ‘’janda bolong’’ dengan mobil senilai ratusan juta.
Tanaman hias itu tidak banyak bedanya dengan tanaman lainnya. Bedanya, janda bolong punya warna dan bentuk daun yang unik karena ada bolong-bolong pada beberapa bagian. Para penghobi akan melihat bentuk daun, bentuk lubang pada daun, dan ukuran daun sebagai NFT yang mempunyai nilai tinggi.
Bagi mereka yang tidak hobi, bunga bolong itu tidak lebih dari daun yang cacat karena dimakan ulat. Namun, para penghobi tanaman hias rela membayarnya ratusan juta rupiah.
Ketika ditaruh di halaman lalu ada kambing iseng yang memakan daun bolong itu, sang pemilik bisa mati berdiri. Ada juga ikan hias jenis arwana yang nilainya puluhan juta digoreng oleh seorang ibu yang kesal, karena suaminya lebih memperhatikan ikan hias ketimbang istrinya.
Harga tanaman hias, ikan hias, batu akik, dan burung berkicau, bergantung kepada para penghobi sendiri.
Batu berwarna hijau yang digosok, dan kemudian diberi pengikat cincin bisa bernilai ratusan juta rupiah ketika orang pada keranjingan batu akik. Ketika musim akik lewat batu itu hanya laku puluhan ribu saja.
Itulah yang terjadi dengan NFT sekarang. Tidak ada ilmu akuntansi yang bisa menghitungnya. Tidak ada ilmu dagang yang bisa menjustifikasi harganya.
Para trader NFT itu hidup dalam dunianya sendiri, dunia digital maya yang terpisah dari realitas.
Seseorang yang mempunyai koleksi NFT akan eksis di dunia pergaulan digital. Eksistensi seseorang ditentukan oleh eksistensinya di dunia digital. Eksistensi fisik sudah kabur digantikan oleh eksistensi virtual.
Realitas fisik sudah diganti oleh realitas virtual dan realitas buatan, augmented reality.
‘’Aku Klik Maka Aku Ada’’, begitu kata Franky Budi Hardiman dalam buku ‘’Manusia dalam Revolusi Digital’’ (2021).
Teknologi digital telah mengubah konsep manusia dan eksistensinya. Dahulu manusia dianggap ada kalau dia bertemu, bersalaman, dan berbincang. Sekarang, manusia bertemu, bersalaman, dan berbincang lewat dunia virtual.
Dahulu, kalau ditanya berapa jumlah teman kita maka kita akan menghitung teman-teman sebangku, sekelas, atau sekampung. Sekarang, teman kita dihitung dari berapa banyak perkawanan kita di Facebook, bisa lima ribu, bisa ratusan ribu dan jutaan.
Hanya beberapa gelintir saja yang kita kenal sebagai teman personal, tetapi semua kita akui sebagai teman.
Seseorang yang di dunia fana tidak eksis, pemalu, malas bergaul, dan menarik diri, justru sangat eksis dan malah agresif di dunia online.
Manusia riel disebut sebagai keturunan homo sapiens yang bergaul dan berkelompok. Manusia digital sekarang berubah menjadi ‘’homo digitalis’’ yang bergaul dan berkelompok secara online.
Eksistensi manusia bergantung kepada eksistensi alat digital. Homo digitalis tidak bisa lepas dari gadget digital lebih dari satu menit. Setiap menit homo digitalis akan menengok gadgetnya.
Karena itu tidak pernah ada berita homo digitalis kecurian gajet atau ketinggalan gadget di rumah. Yang ada, homo digitalis kehilangan gadget karena dijambret di jalan.
Ketika tidak membuka gadget dalam waktu beberapa menit ia akan merasa sebagai manusia yang kehilangan eksistensi di dunia ini. Keberadaan manusia saat ini dilihat dan diukur dari keaktifannya dalam dunia digital.
Dalam keadaan apa pun, gadget selalu berada di samping manusia homo digitalis.
Dalam gadget ia membawa ratusan bahkan ribuan gambar, video, musik, dan aneka teks. Komunikasi yang dilakukan sesama homo sapiens diambil alih oleh komunikasi digital.
Bukan hanya dagang yang dilakukan secara online, perang pun dilakukan secara online, menghujat secara online, mencaci, memaki orang lain tidak harus bertemu fisik, semuanya cukup online.
Revolusi digital telah mengubah manusia. Realitas tentang dirinya, pemaknaan baik dan buruk, semua berubah. Manusia tidak lagi memikirkan sebuah kebenaran yang hakiki, melainkan kebenaran yang sesuai dengan harapannya.
Hoaks menjadi bagian tak terpisahkan dari era post-truth, pasca-kebenaran. Tidak ada kebohongan, yang ada adalah realitas alternatif.
Homo digitalis makin sulit membedakan antara realitas yang asli dan fiksi. Kebenaran yang tidak lagi autentik, cara bersikap yang brutal di media online, kebebasan yang kebablasan, serta meluasnya hoaks yang tak lagi terbendung, adalah bagian dari budaya baru homo digitalis.
Tanpa kita sadari, kita telah dikuasai oleh teknologi, semuanya disediakan dan dicukupi oleh teknologi. Teknologi yang seharusnya membebaskan malah memperbudak dengan kenyamanan.
Tidak perlu lagi bersusah payah untuk mencari sendiri, cukup dengan “aku klik, maka aku ada”.
Manusia tidak lagi autentik, karena keberadaanya dilihat dari eksistensinya di media sosial. Keberadaan manusia hampir tidak bisa tersentuh oleh realitas.
Keberadaan manusia menjadi teknologi yang kita miliki saat ini berubah menjadi sosok nyawa kedua yang harus tetap hidup. Sebab, jika dia tak ada, maka homo digitalis akan mati.
Homo digitalis memungkinkan manusia hidup dalam realitas semu dan kebohongan yang menjadi nyata. Sulit dibedakan antara realitas dan khayalan.
Janda bolong, batu akik, ikan arwana, foto-foto selfie Sultan Ghozali, bahkan Ibu Kota Baru Nusantara, adalah bagian dari NFT, yang menyihir manusia dari dunia nyata menuju dunia khayal. (*)
Video Terpopuler Hari ini:
Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror