Sungguh Aneh, Parpol Hobi Usung Nonkader di Pilkada

Kamis, 09 November 2017 – 08:13 WIB
Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti. Foto: dokumen JPNN.Com

jpnn.com, JAKARTA - Fenomena pilkada di sejumlah daerah menunjukkan partai politik gagal melakukan regenerasi kader di internal mereka.

Demi menghindari kekalahan, partai-partai besar rela mengusung calon yang bukan kader sendiri.

BACA JUGA: Tak Kuasai APBD, Deddy Mizwar Ingin Gandeng Wawali Bekasi

Yang terbaru, fakta itu terpotret dari kontestasi Pilkada Jawa Barat 2018. Partai-partai justru mengusung jagoan dari nonpartai, misalnya Ridwan Kamil dan Deddy Mizwar.

Golkar yang memiliki kader yang potensial seperti Dedi Mulyadi justru mengusung sosok nonpartai Ridwan Kamil. Pria yang kini menjabat wali kota Bandung itu juga didukung PPP dan Partai Nasdem.

BACA JUGA: Deddy Mizwar Belum Tentukan Calon Pendamping di Pilkada

Hal serupa terlihat dalam pilkada DKI Jakarta lalu. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Anies Baswedan, dan Agus Harimurti Yudhoyono kala itu bukan sosok yang dibina sebagai kader partai politik.

Pengamat politik Lingkar Madani Ray Rangkuti mengatakan, kondisi saat ini menjadi peringatan bagi partai politik.

BACA JUGA: Warga NU hingga MUI Minta PAN Dukung Deddy Mizwar

Sebab, itu menunjukkan partai gagal memainkan perannya sebagai lembaga yang memproduksi kader pemimpin.

’’Partai besar seperti Golkar dan PDIP di Jawa Barat mengusung nonkader. Ini menjadi pertanyaan,’’ ujarnya dalam diskusi di D’hotel, Jakarta, kemarin (8/11).

Ray menilai, idealnya partai politik menjadi wadah untuk menggodok kader dan mengorbitkan mereka. Dari situ nanti terjadi proses regenerasi kepemimpinan yang sehat. Bukan hanya untuk internal partai, tetapi juga kepemimpinan nasional.

Selain itu, menurut dia, pengorbitan dibutuhkan guna memantik semangat kader dalam berkarya untuk masyarakat.

Pemberian rekomendasi bisa diartikan sebagai reward kepada kader yang berprestasi. ’’Martabatnya dinaikkan menjadi kepala daerah,’’ imbuhnya.

Jika berprestasi di sebuah daerah, kader itu nanti bisa juga dinaikkan ke tingkat pemerintahan yang lebih tinggi.

’’Misalnya, Jokowi dari Solo ke Jakarta, lalu diusung menjadi presiden. Begitu juga Azwar Anas, dari Banyuwangi ke Jatim,’’ tuturnya.

Sementara itu, Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jeirry Sumampow mengatakan, berpalingnya partai ke sosok yang memiliki elektabilitas dan meninggalkan kadernya merupakan realitas politik saat ini. Kemenangan menjadi faktor utama yang dicari dalam kontestasi pemilu.

Hanya, lanjut dia, hal tersebut bisa memberikan dampak buruk di internal partai. Dalam kasus Golkar di Jawa Barat, diabaikannya Dedi Mulyadi yang menjabat ketua DPD menimbulkan polemik di akar rumput.

Apalagi, aspirasi yang disampaikan DPC menginginkan sosok bupati Purwakarta itu. ’’Praktik seperti itu mematikan aspirasi di bawah. Sebab, partai memilih mengusung orang yang bukan kadernya,’’ ujarnya.

Ke depan, kata Jeiry, kader bisa malas membangun karir di partai. Sebab, pada akhirnya mereka tetap terkalahkan oleh kader nonpartai yang masuk pada fase-fase terakhir.

’’Orang merasa tidak penting lagi berlama-lama di partai. Sebab, orang bisa diusung dengan pertimbangan tertentu,’’ kata pria yang juga kepala Humas Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia itu. (far/c4/fat)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Usung Ridwan Kamil-Daniel, Golkar Target Menang 60 Persen


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler