jpnn.com - Dua pakar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan para pelaku perdagangan orang mengambil keuntungan di tengah pandemi COVID-19 dengan mengincar kalangan migran yang kehilangan pekerjaan hingga anak-anak yang putus sekolah.
Pelambatan ekonomi global mengakibatkan banyak orang kehilangan pekerjaan, putus asa, dan berisiko dieksploitasi, kata para pakar.
BACA JUGA: Tenaga Paramedis Meninggal Setelah Dua Kali Terpapar COVID-19
Selain itu, ujar mereka, korban perdagangan manusia cenderung tidak dapat ditemukan ataupun mendapat bantuan karena perhatian dan sumber daya saat ini dialihkan untuk langkah-langkah penanganan wabah,
PBB memperkirakan sekitar 25 juta orang di seluruh dunia menjadi korban ketenagakerjaan dan eksploitasi seksual. Angka itu mungkin bertambah selagi layanan bantuan saat ini terhenti dan upaya penegakan keadilan juga terkendala.
BACA JUGA: Kasus Covid-19 di Jakarta Hari Ini: Pasien yang Sembuh Bertambah 1.074
"Kesulitannya adalah bahwa perdagangan orang saat ini menjadi lebih tidak kelihatan dan dilakukan secara diam-diam," kata Siobhan Mullally, pelapor khusus PBB untuk urusan perdagangan manusia, kepada Thomson Reuters Foundation.
"Lebih banyak orang menghadapi risiko khususnya mereka yang berada dalam sektor ekonomi nonformal para pelaku jadi punya kesempatan untuk merekrut, mengeksploitasi, dan memangsa di tengah keputusasaan banyak orang," ujar Mullally, menjelang Hari Anti Perbudakan yang diperingati setiap 18 Oktober.
BACA JUGA: Alhamdulillah Sudah 1.620 Relawan Disuntik Vaksin Covid-19, Ada Efek Samping?
Sekitar 2,5 miliar orang, lebih dari 60 persen tenaga kerja di dunia, merupakan pekerja nonformal. Mereka menghadapi risiko diberi upah di bawah standar dan mengalami kekerasan, menurut sejumlah advokat tenaga kerja.
Dari India hingga Kamboja, banyak pekerja di sektor tekstil dan pariwisata, misalnya, banyak yang telah kehilangan mata pencaharian mereka akibat COVID-19. Dengan kondisi seperti itu, mereka lalu mengambil dana pinjaman --yang dapat berujung pada ketergantungan utang, atau menerima pekerjaan dengan aturan yang tidak menguntungkan dan dalam situasi tereksploitasi.
Banyak dari sekitar 164 juta pekerja migran di seluruh dunia saat ini telantar di luar negeri dan tidak dapat pulang ke tanah air mereka, atau tidak mau mencari pertolongan, karena penutupan batas negara dan kebijakan imigrasi yang ketat, sehingga mereka rentan menjadi korban perdagangan orang, menurut Mullally.
Mullally menyebutkan bahwa dua dekade setelah PBB mengadopsi protokol anti perdagangan orang, isu yang disasar masih terkait peradilan kejahatan saja. Ia meminta perluasan fokus meliputi hak tenaga kerja dan perlindungan sosial.
"Krisis ekonomi dan resesi atau bahkan depresi mungkin digunakan sebagai alasan untuk memangkas hak pekerja, dengan efek tak langsung berupa ancaman yang lebih besar pada perdagangan manusia," kata dia.
Ilias Chatzis, kepala unit perdagangan orang di Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC), menyebut departemen yang ia pimpin masih mengumpul informasi tentang dampak COVID-19 terhadap kejahatan. Namun, ia memperingatkan bahwa bukti-bukti awal menunjukkan keadaan yang "semakin mengerikan".
Chatzis merujuk pada contoh anak-anak yang menghabiskan lebih banyak waktu di dunia daring dan menjadi rentan terhadap eksploitasi seksual jarak jauh oleh predator seksual dari belahan dunia lain.
Europol, badan khusus Uni Eropa untuk urusan penanganan kriminalitas, pada Mei mengungkapkan bahwa kekerasan seksual pada anak secara daring di Uni Eropa meningkat tajam sejak pandemi mulai terjadi.
Seiring dengan pengakuannya mengenai kerumitan dalam memberantas perdagangan orang selama wabah, Chatzis juga menyatakan harapannya untuk masa mendatang.
"Di depan sana tidak semuanya gelap, ada cahaya di ujungnya. Dengan menghapuskan perbudakan, kita dapat menghapus perdagangan orang," kata Chatzis. (ant/dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil