jpnn.com - Lies, damnes lies, and statistics.
Di dunia ini ada tiga jenis dusta; bohong, bohong brengsek, dan statistik. Begitu kata pujangga Amerika Serikat Mark Twain yang jengkel terhadap statistik.
BACA JUGA: Survei: Publik Puas Kinerja Jokowi
Benjamin Desraeli (1804-1881) yang menjadi Perdana Menteri Inggris pada 1968 juga sering mengungkapkan kegerahannya terhadap angka-angka statistik dengan menggunakan ungkapan itu.
Statistik disebut dalam satu tarikan napas dengan bohong dan kebohongan terkutuk (damned). Tentu ini sebuah pernyataan yang bersifat metafora dari seorang politikus yang tidak sepenuhnya benar.
BACA JUGA: Survei: Anies Mengungguli Prabowo dan Ganjar Pranowo
Statistik tidak selalu berarti kebohongan, apalagi kebohongan brengsek. Poin yang disampaikan oleh Desraeli adalah bahwa statistik bisa dipakai untuk menipu publik secara mentah-mentah.
Statistik sejenis ini masuk dalam kategori statistik terkutuk dan kebohongan yang dihasilkannya juga kebohongan terkutuk.
Ungkapan yang sudah berusia 2 abad itu sampai sekarang masih selalu dipakai oleh para politisi dan para akademisi setiap kali berbicara mengenai statitik.
Para politisi tentu saja sangat bergantung kepada hasil survei untuk mengetahui perkembangan politik. Politisi membutuhkan survei dan jajak pendapat untuk mengetahui opini publik. Politisi sangat bergantung kepada survei untuk mengukur popularitasnya.
Pendeknya, politisi tidak bisa hidup tanpa survei. Politisi harus terus-menerus setiap hari memelototi angka-angka statistik yang dikeluarkan oleh lembaga survei.
Kalau hasilnya menyenangkan dan sesuai harapan sang politisi akan berseri-seri. Tapi kalau hasilnya mengecewakan, sang politisi akan mengutuk, ‘’Damned’’.
Statistik bisa dipakai alat untuk berbohong dan memerdaya publik. Dengan teknik-teknik yang canggih para pengelola survei bisa menghasilkan kesimpulan yang bisa mengangkat seorang politisi atau menghancurkannya.
‘’How to Lie with Statistics’’, bagaimana cara berbohong dengan statistik untuk mengelabui publik, sudah menjadi bagian dari kehidupan politik sehari-hari.
Darrel Huff menulis buku itu pada 1954, dan sampai sekarang buku itu masih dibaca dan dikutip oleh akademisi dan para politisi.
Buku itu sama populernya dengan ungkapan Benjamin Desraeli itu. Tesis Huff bahwa statistic bisa menjadi alat berbohong yang canggih berjalan paralel dengan ungkapan Desraeli mengenai kebohongan terkutuk.
Di Indonesia, lembaga survei menjadi bagian dari euforia politik seiring dengan lahirnya reformasi setelah kejatuhan Orde Baru 1998.
Di Amerika Serikat, tradisi survei sudah marak sejak awal 1930-an ketika Robert Gallup mendirikan lembaga survei pertama.
Sampai sekarang Gallup Poll menjadi lembaga survei terpercaya, terbesar, dan tertua di Amerika.
Survei capres pertama di Amerika dilakukan pada 1824. Hasilnya menunjukkan capres Andrew Jackson unggul atas John Quincy Adams.
Ternyata hasil pemilu sesuai dengan prediksi survei. Sejak itulah survei menjadi bagian tidak terpisahkan dari proses politik Amerika.
Pada Pilpres 1916, majalah Literary Digest turut melakukan survei nasional untuk melihat siapa capres yang akan terpilih.
Hasil survei menujukkan bahwa Woodrow Wilson lebih unggul dari pesaingnya.
Ternyata hasil pilpres sesuai dengan prediksi survei.
Pada pemilu berikutnya, majalah itu juga berhasil memprediksi kemenangan Warren Harding pada 1920, Calvin Coolidge pada 1924, Herbert Hoover pada 1928, dan Franklin Roosevelt pada 1932.
Ketika itu metode yang dipakai masih tradisional. Jutaan kartu pos dikirim secara manual kepada partisipan. Namun, cara ini dinilai boros dan persebaran respondennya tidak merata.
Selain itu, survei juga menunjukkan adanya bias dari partisipasi. Hal ini terbukti pada survei capres 1936. Hasil jajak pendapat menunjukkan bahwa Alf Landon akan memenangkan pemilu presiden Amerika Serikat. Namun, ternyata petahana Roosevelt yang terpilih kembali.
Peneliti George Gallup menemukan bahwa partisipan yang menyukai Landon lebih antusias mengembalikan kartu pos mereka. Sehingga Landon menang dalam jajak pendapat prediksi preferensi presiden kala itu.
Setelah menemukan adanya kejanggalan dalam survei majalah Literary Digest, Gallup kemudian membuat metode surveinya sendiri. Metode yang dibuat Gallup ini menggantikan cara survei majalah Literary Digest yang dinilai naif, boros, dan persebaran respondennya tidak merata itu.
Di Indonesia, survei capres tidak pernah diadakan selama periode pemerintahan Soekarno maupun Soeharto.
Lembaga survei untuk menghimpun jajak pendapat terkait politik lazimnya lahir di negara demokratis dan rakyat memiliki kebebasan sipil dan politik yang substansial. Inilah yang menjadi alasan mengapa di era sebelum reformasi, survei jajak pendapat tidak pernah diadakan.
Peneliti Australia Marcus Mietzner yang menulis artikel jurnal “Political Opinion Polling in Post-authoritarian Indonesia: Catalyst or Obstacle to Democratic Consolidation?” mengatakan bahwa jajak pendapat di dalam pemerintahan otoriter dianggap mencerminkan atau bahkan dapat memperburuk ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah.
Di negara-negara otoriter atau pseudo-demokratis, penerbitan hasil-hasil jajak pendapat lazim dicekal atau dihambat.
Alasan lain, survei jajak pendapat terkait capres membutuhkan metodologi yang dirancang secara saksama, peneliti yang berpengalaman, serta responden dalam jumlah besar.
Bagi Indonesia, yang masih berkembang, survei capres membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sehingga wajar bila survei terkait calon presiden belum dilakukan di masa-masa pra reformasi.
Survei capres berupa jajak pendapat politik mulai terselenggara secara semi-profesional setelah Soeharto lengser. Survei diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Sosial dan Ekonomi (LP3ES). Para peneliti di LP3ES sudah tidak asing dengan metode-metode pengambilan sampel berbasis hitung-hitungan kuantitatif.
Pada pemilu terakhir Orde Baru pada 1997 lembaga itu telah mengadakan survei hitung cepat untuk kawasan Jakarta. LP3ES juga pernah menyelenggarakan survei pada pemilihan legislatif 1999, di bawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie.
Survei capres di Indonesia pertama kali dilakukan menjelang Pemilu 2004. Berbagai lembaga survei kala itu menyatakan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai kandidat terkuat presiden. Prediksi itu benar. SBY terbukti menang Pemilu Presiden 2004 dengan suara 33,57 persen pada putaran pertama dan 60,62 persen pada putaran berikutnya.
Di Indonesia, tradisi survei masih seumur jagung, tetapi perannya sudah sangat besar dalam memengaruhi keputusan politik. Nyaris tidak ada politisi yang berani maju untuk merebut jabatan eksekutif maupun legislatif yang tidak mempergunakan lembaga survei. Bisa disebut bahwa lembaga survei adalah keniscayaan bagi politisi yang hendak maju berkontestasi.
Lembaga survei sudah menjadi industri tersendiri dengan putaran uang triliunan rupiah. Para surveyor itu sekaligus menjadi konsultan politik yang menawarkan paket komplet dengan harga yang tinggi. Karena itu, lembaga-lembaga survei menjadi perusahaan besar dengan omset besar dan pengusahanya menjadi orang-orang tajir.
Seiring dengan itu mulai muncul distrust dari sekalangan masyarakat yang tidak sepenuhnya percaya terhadap hasil survei yang dipublikasikan. Para pengusaha survei dianggap sebagai bagian dari proyek politik yang mempuntai target politik tersendiri.
Itulah yang terjadi terhadap Saiful Mujani yang beberapa hari ini menjadi sasaran ketidakpuasan dari sekalangan netizen.
Dalam sebuah unggahannya Mujani mengatakan bahwa ada politisi pragmatis yang sekarang mendadak inklusif.
Kata Mujani, politisi itu tidak hanya masuk ke gereja, kalau harus makan babi pun ia rela asal bisa menjadi calon presiden.
Tidak ada nama yang disebut Mujani. Akan tetapi, kalangan netizen menganggap Mujani menyerang Anies.
Maka, berbagai macam komentar pun bermunculan merespons unggahan itu.
banyak di antaranya yang menghujat Mujani karena dianggap anti-Anies.
Lembaga survei Mujani, SMRC pun dituding sebagai bagian dari komplotan yang disewa untuk menjegal Anies.
Tuduhan semacam itu tidak sepenuhnya salah. Banyak lembaga survei yang secara sengaja memanipulasi hasil surveinya untuk dijual dengan harga tinggi kepada klien politik.
Ketika peran lembaga survei menjadi penting dalam memengaruhi pemilih, maka para pengusaha survei pun bisa terperosok menjadi bagian dari oligarki politik. Dibutuhkan etika dan hati nurani yang bersih bagi para pengusaha lembaga survei agar tidak terperangkap ke dalam kelompok ‘’survei terkutuk’’. (*)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror