Sebuah survey terbaru menyimpulkan mayoritas publik percaya Pemilu 2019 sudah berlangsung sesuai azas pemilu yang jujur dan adil alias jurdil. Mayoritas warga anggap pemilu 2019 Jurdil:Sekitar 68-69 persen warga menganggap pemilu 2019 lalu berlangsung jujur dan adil alias jurdilTim kuasa hukum Prabowo - Sandiaga ajukan 15 permohonan dalam sidang sengketa pilpres 2019Sesuai tenggat, MK akan putuskan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) pada 28 Juni-2 Juli 2019
BACA JUGA: Sidang Pertama Sengketa Pilpres: Tuntut Kemenangan Jokowi Dibatalkan
Survey terbaru yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada medio Mei hingga 1 Juni 2019 lalu ini memintai pendapat dari 1.220 responden dari seluruh provinsi di Indonesia dari pertanyaan "Seberapa jurdil Pemilu 2019?."
Direktur program SMRC, Sirojudin Abbas, mengungkapkan hasil dari survei ini menunjukan sebanyak 68-69 persen warga menganggap pemilu 2019 lalu berlangsung sesuai azas pemilu yakni jujur dan adil.
BACA JUGA: Sutradara Bohemian Rhapsody Bayar Milyaran Bantah Tuduhan Pemerkosaan
"Menurut publik secara umum pemilu berlangsung jujur dan adil, meski ada sebagian kecil yang menyatakan tidak jujur dan adil. Masyarakat yang tidak percaya pemilu berlangsung jurdil sebanyak 27-28 persen," kata Sirojudin Abbas saat memaparkan hasil surveinya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (16/6).
Survey SMRC ini juga mencatat kepercayaan publik tentang kualitas pemilu tidak berbeda jauh dengan Pemilu 2004 dan 2009. Pada 2004, sebanyak 67 persen masyarakat menilai pemilu berlangsung jurdil. Begitu juga pada 2009, 70,7 persen masyarakat yakin pemilu berlangsung jurdil.
BACA JUGA: Pekerja Indonesia di Australia Dengan Upah Dibawah Standar Diminta Melapor
Photo: Aksi massa menolak hasil pemilu 22 Mei 2019 di depan kantor Bawaslu RI yang berakhir ricuh. Massa aksi menuding pemilu 2019 curang. (ABC: Dicky Martiaz)
Mayoritas masyarakat juga masih memiliki persepsi positif tentang kualitas demokrasi di tanah air. Sekitar 66% rakyat menyatakan puas dengan kualitas demokrasi di Indonesia, sementara 77% warga menyatakan pemerintahan Jokowi adalah pemerintahan demokratis.
Meski demikian survey ini juga mencatat adanya penurunan kepuasan dan kepercayaan masyarakat atas kualitas demokrasi seusai peristiwa kerusuhan 21-22 Juni lalu.
"Kepuasan atas kualitas demokrasi turun dari 74 persen pada April 2019 menjadi 66 persen pada Juni 2019." katanya.
SMRC memaparkan hal ini ditandai dengan turunnya sejumlah indikator kualitas demokrasi dari tahun sebelumnya. Misalnya kecenderungan masyarakat takut bicara politik, menjalankan agama dan ikut berorganisasi juga angkanya meningkat dari pemilu 2014 lalu.
Namun demikian, hal ini tidak berdampak signifikan terhadap kepercayaan publik mengenai kondisi ekonomi, penegakan hukum dan keamanan.
"Survei SMRC menunjukkan hanya 17 persen warga yang menganggap kondisi ekonomi nasional lebih buruk," kata Sirojuddin Abbas
Mayoritas masyarakat Indonesia juga meyakini demokrasi adalah sistem terbaik bagi Indonesia.
"86 persen warga menilai demokrasi cocok untuk Indonesia, 91 persen menganggap penting kebebasan untuk mengkritik pemerintah," tandasnyaKeberatan pakar hukum Australia Photo: Suasana sidang pertama sengketa hasil pilpres di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 14 Juni 2019. (Foto: Achmad Ibrahim/AP)
Hasil survey ini kotras dengan tuduhan kubu pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02 - prabowo Subianto dan Sandiaga Uno yang menyatakan pemilu 2019 berlangsung penuh kecurangan yang sistematis, terstruktur dan masif.
Tuduhan ini telah menjadi dasar gugatan sengketa pemilu 2019 yang persidangannya sudah mulai digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jum'at (14/6/2019) kemarin.
Tim kuasa hukum 02 yang diketuai Bambang Widjojanto dalam permohonannya mengajukan 15 petitum atau permohonan.
Mulai dari membatalkan keputusan hasil rekapitulasi suara pileg dan pilpres oleh KPU Pusat, mendiskualifikasi pasangan nomor urut 01, menetapkan pasangan nomor urut 02 sebagai pemenang pilpres hingga membubarkan meminta pemungutan suara ulang (PSU) sekaligus mengganti seluruh komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Dalam berkas permohonan setebal 154 halaman itu tim kuasa hukum 02 mengutip pendapat sejumlah tokoh dan pengamat.
Beberapa diantara mereka mengaku keberatan pendapatnya dikutip dalam dokumen permohonan sengketa Pilpres 2019 Prabowo-Sandi. Salah satu yang keberatan adalah Guru Besar Hukum dari University of Melbourne Australia, Tim Lindsey.
Pada media Australia, The Weekend Australian, Tim Lindsey mengatakan artikelnya yang dikutip oleh Tim Hukum Prabowo tidak ada hubungannya dengan Pilpres 2019 karena lebih memaparkan soal permasalahan politik khususnya kebangkitan politik konservatif di Indonesia dan ditulis 18 bulan sebelum pemilihan.
"[Konservatisme politik] ini menimbulkan pertanyaan yang kemudian ditanyakan oleh para aktivis di Indonesia mengenai apakah elemen-elemen perilaku politik era Soeharto kembali muncul di Indonesia saat ini," kata Lindsey.
Oleh karena itu Tim Lindsey mengatakan kutipan yang digunakan dalam permohonan yang diajukan oleh tim kuasa hukum Prabowo-Sandiaga tidak relevan.
"Tim hukum Prabowo memasukkan kutipan dari artikel dalam permohonan yang jelas-jelas di luar konteksnya, serta terdapat penekanan yang tidak terdapat dalam artikel aslinya dan tidak mendukung argumen sebagaimana mereka katakan," kata Lindsey lagi.
Sesuai ketentuan, Mahkamah Konstitusi (MK) hanya diberi tenggat waktu maksimal untuk menyampaikan putusan terkait sengketa pilpres dalam wamtu setidaknya 14 hari kerja pasca gugatan itu dicatatkan dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK).
Namun demikian, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman mengatakan tidak tertutup kemungkinan penanganan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2019 ini bisa diputuskan sebelum tenggat tersebut yakni tanggal 28 Juni 2019 mendatang.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Terdakwa Pembunuhan Jamaah Masjid di Christchurch Mengaku Tak Bersalah