Susahnya Menghijaukan Lahan Bekas Pertambangan

Tiap Hektare Butuh Rp 1,2 M, Uji Coba Tailing Jadi Bahan Bangunan

Sabtu, 24 Maret 2012 – 13:24 WIB
LAHAN tambang dan penghijauan semestinya menjadi dua mata uang tak terpisahkan. Aktivitas pertambangan wajib diikuti dengan kegiatan penghijauan. Jika tidak, sudah pasti kerusakan alam yang akan tersisa. Namun, menghijaukan kembali kawasan bekas tambang sama sekali bukan perkara mudah dan murah.

HENDROMASTO, Jakarta

Menghijaukan kembali lahan bekas pertambangan membutuhkan modal besar. Selain itu, keseriusan mengolah lahan bekas tambang agar benar-benar bisa kembali lebat dengan pohon beserta tanaman lain juga butuh kerja keras dalam waktu lama. Tidak bisa instan. Modal besar, kerja keras dan keseriusan inilah yang kemudian sering menjadi biang keengganan bagi para pengusaha tambang menghijaukan kembali lahan milik mereka.

General Supervisor Enviromental Affairs PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) Radjali Amin membenarkan hal itu. "Jangan bayangkan lahan bekas tambang bisa langsung kembali ditanami pohon. Harus ada proses panjang sebelumnya," beber Amin, sapaan Radjali Amin. Pria berkumis lebat ini menyebut, di tempat dia bekerja, menghijaukan kembali lahan tambang wajib melalui beberapa tahapan.

Tahap pertama adalah menata kembali tanah pada lahan bekas tambang. Caranya, batu-batuan sisa tambang disusun sedemikian rupa dengan kontur tertentu dan kemudian dipadatkan bersama pasir bekas serpihan batu dari tempat yang sama. Pemadatan tanah dilakukan dengan menggunakan alat berat. Setelah proses pemadatan tuntas, tanah tidak bisa langsung ditanam.

Sebuah jaring dengan ukuran ekstra besar ditutupkan pada tanah tersebut. Penyemprotan air lantas dilakukan pada tanah agar menjadi media layak tanam. Penyemprotan air tidak akan dilakukan jika jaringbelum terpasang. Sebab, jaring ini berfungsi untuk mengantisipasi longsoran-longsoran tanah padatan yang bisa terjadi akibat gerusan air.
Proses tersebut kemudian dilanjutkan dengan menyebarkan bibit tanaman perdu sejenis rumput. Bibit ini menjadi penanda apakah tanah sudah benar-benar siap tanam atau belum. Bibit yang disemprotkan kemudian secara berkala kembali diguyur air. Dala proses ini, susunan tanah yang melorot akibat tergerus air mau tak mau harus diantisipasi sedemikian rupa dengan memanfaatkan jarring pelapisnya.
 
Jika bibit perdu dan rumput ternyata sukses bisa tumbuh, secara bertahap bibit tanaman keras mulai ditanam. Bibit yang ditanam disesuikan dengan vegetasi asli di sekitar kawasan bekas tambang. Menanam jenis tanaman yang tak sesuai vegetasi sekitar dipastikan akan berpotensi merusak keseimbangan ekosistem asli. Maklum, lahan terhijaukan itu nantinya juga diharapkan mampu menjadi sumber kehidupan satwa di sekitarnya.

"Reklamasi lahan seluas satu hectare, dana yang dibutuhkan mencapai Rp 1,2 miliar," ujar Amin. Proses persiapan lahan hingga benar-benar kembali rimbun oleh hijau daun bisa memakan waktu sampai satu tahun. Amin menambahkan, di lahan bekas tambang di Batu Hijau, NTT, ada 48 jenis tanaman endemic yang menjadi prioritas untuk kembali di tanam pada lahan bekas tambang. Hingga tahun lalu, sedikirtnya sudah 660 hektare yang sudah kembali dihijaukan. Total lahan terbuka yang nantinya lahan seluas 51.420 hektare tambang Batu Hijau wajib kembali dihijaukan. Termasuk lubang tambang yang nantinya diarahkan menjadi sebuah danau.

Amin mengakui, persoalan lingkungan hidup di areal pertambangan bukan hanya melulu tentang penghijauan lahan atau reklamasi belaka. Masih ada limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) tambang yang sering menjadi masalah bagi alam. Limbah tailing salah satunya. Limbah tambang berupa pasir dari dalam tanah yang terpisahkan dari mineral berharga saat proses pengolahan bahan tambang tersebut sering dituding sebagai polutan pencemar alam.

Penggunaan mercuri dan sianida dalam pemrosesan tambang menjadi sebab tailing masuk dalam kategori limbah B3. Selama ini, tailing banyak dibuang ke dasar laut oleh sektor pertambangan. Tailing yang mengandung mercuri dan sianida jelas menyebabkan pencemaran berat dan berbahaya bagi mahkluk hidup. Padahal, jika proses pengolahan bahan tambang tidak menggunakan mercuri dan sianida, bukan tidak mungkin tailing bisa dimanfaatkan sebagai material pengganti pasir.

"Kami mendapat arahan dari Kementerian Lingkungan hidup untuk menyiapkan pilot project pemanfaatan tailing," terang Radajil Amin, General Supervisor Enviromental Affairs PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) kepada INDOPOS (JPNN Grup). Menurutnya, pengolahan bahan tambang di PT NNT sama sekali tidak menggunakan mercuri dan sianida. Penggunaan bahan kimia di PT NNT dia sebut tidak memakai bahan berbahaya dan limbah tailing yang dialirkan ke teluk Senunu sudah melalui proses agar aman bagi mahkluk hidup.

"Kami sudah pernah melakukan uji lab pemanfaatan tailing untuk keperluan konstruksi," sambung Amin, sapaan Radjali Amin. Dia menyebut, berdasar hasil uji coba laboratorium, tailing dari PT NNT bisa digunakan untuk keperluan konstruksi. Digunakan sebagai bahan pembuatan beton misalnya. Namun, uji lab tersebut belum teruji di lapangan.

Dia mengakui pilot project yang dipercayakan Kementerian Lingkungan Hidup bukan perkara sederhana. Status tailing yang dalam aturan hukum lingkungan hidup masuk dalam kategori B3 menjadi rambu-rambu penting bagi Amin. Menurutnya, arahan pilot project tersebut belum tentu seirama dengan aturan tentang izin pemakaian tailing menjadi bahan konstruksi.

"Bagi kami, fokus utama sekarang adalah pilot project menguji penggunaan tailing sebagai bahan konstruksi. Soal bagaimana kemudian izin penggunaan tailing untuk konstruksi, kami serahkan kepada pemerintah," jelas Amin. Pelaksanaan pilot project pemanfaatan tailing akan dilakukan pada sekitar April atau Mei mendatang bertepatan dengan datangnya musim kemarau. Sengatan terik matahari dinilai cukup efektif membantu proses pengeringan tailing untuk diuji menjadi bahan konstruksi.

Menurut Amin, selama ini limbah tailing PT NNT dialirkan sedemikian rupa ke arah tepi ceruk teluk Senunu yang memiliki kedalaman empat ribu meter. "Ujung pipa pengalir tailing berjarak 3,2 kilometer dari pantai dan berada pada kedalaman 125 meter di bawah permukaan laut. Tailing akan mengalir langsung ke ceruk dan tidak sampai naik ke atas permukaan laut," beber Amin.

Sementara, Superintendent Tailing Management System PT NNT Dinar Aryasena menegaskan, limbah tailing dari tambang Batu Hijau selalu dipantau dengan ketat agar tidak mencemari lingkungan. "Dari hasil pantauan selama ini, kandungan bahan kimia limbah tailing kami berada di bawah ambang batas yang ditetapkan pemerintah," katanya. Dinar menegaskan, sebelum dialirkan ke teluk Senunu, tailing diproses dengan ketat. Termasuk proses mengilangkan gelembung dalam tailing agar tidak sampai berpotensi naik ke atas permukaan laut.

Menurutnya, secara alamiah, posisi ujung pipa tailing tidak akan memungkinkan limbah tersebut naik ke permukaan laut menembus termosystem air dalam laut. Termosystem adalah sebuah lapisan air dingin di bawah laut yang berbatasan dengan air hangat di permukaan laut. Air dingin yang memiliki tekanan udara lebih tinggi tidak akan bisa menembus lapisan air hangat. Setiap hari, jumlah tailing yang dihasilkan tambang batu hijau mencapai 90-100 ribu ton. Volume besar tersebut mengecilkan kemungkinan pembuangan tailing di darat.

Persoalan tailing dan pembuangannya oleh PT NNT boles saja diklaim sesuai aturan. Proper Hijau dari Kemeneg LH juga boleh saja didapat. Namun, hingga kini PT NNT masih bersilang pendapat di muka hukum pada soal pengolahan tailing. Hingga kini, gugatan hukum dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) tehadap PT NNT terkait izin pembuangan limbah tailing dan dampak lingkungannya masih berjalan di persidangan. (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tidak Semua Bidang Diisi CPNS Baru Fresh Graduate

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler