jpnn.com - Mendapat penolakan dari sebagian warga, lurah Lenteng Agung, Jakarta Selatan, ini bergeming. Dia tetap menjalankan tugas dengan giat. Protes warga dinilainya dinamika sosial yang lumrah di tengah heterogenitas masyarakat.
MUHAMMAD S. JARAWADU, Jakarta
BACA JUGA: Jadi Kuli Bangunan dan Buka Warung Kecil-kecilan
SUSAN Jasmine Zulkifli bersiap-siap turun lapangan saat Jawa Pos menyambangi kantornya kemarin pagi (28/8). Berseragam "kebesaran" cokelat-cokelat, lengkap dengan topi dan kacamata, lurah perempuan itu hendak menuju lokasi kegiatan di Posyandu RT 06 RW 04 Kelurahan Lenteng Agung. Lokasinya tak jauh dari kantor kelurahan, sehingga dia cukup berjalan kaki.
Di lokasi yang dituju, Susan sudah ditunggu ibu-ibu yang membawa serta balitanya untuk mendapatkan layanan kesehatan.
BACA JUGA: Ketika 41 Pesumo dari Jepang Berlaga di Istora Senayan, Jakarta
Begitu sampai di posyandu, ibu-ibu pun berebut menyalami Bu Lurah cantik dan rombongan. Suasana tampak cair. Susan langsung akrab dengan warganya itu. "Bagaimana kabarnya, ibu-ibu? Sehat semua kan? Mudah-mudahan begitu," sapa Susan dengan ramah.
Pemandangan itu menghilangkan kesan bahwa ada sebagian masyarakat Lenteng Agung yang pernah menolak kehadirannya sebagai lurah karena beragama Kristen Protestan. Susan seperti tidak peduli dengan penolakan itu. Sebab, kenyataannya, dia menjadi pemimpin di wilayah berpenduduk 55 ribu jiwa itu bukan atas kehendak pribadi atau golongan (agama). Dia menjadi lurah berdasar surat keputusan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo per Juli 2013.
BACA JUGA: Erupsi Berlalu, Banjir Lahar Dingin Mengancam
"Saya memang penganut Kristen, tapi saya nggak fanatik. Saya santai saja menghadapi itu semua, karena saya berpegang kepada keputusan gubernur," kata ibu satu anak ini.
Meski begitu, desakan sebagian masyarakat yang menghendaki dirinya mundur dinilai sebagai aspirasi tulus dari masyarakat. Hanya, aspirasi itu tidak bisa dipaksakan, apalagi menyangkut keputusan dan kepercayaan gubernur terhadap dirinya. Bagi dia, penolakan sebagian warga itu tidak akan mengganggu program-program kerjanya selama memimpin di LA (Lenteng Agung).
"Setiap pemimpin harus kuat menghadapi tekanan. Begitu seharusnya jiwa seorang pamong," kata mantan kepala seksi sarana dan prasarana Kelurahan Senen ini.
Menurut Susan, setiap perubahan yang terjadi selalu mengandung konsekuensi penerimaan atau penolakan. Pro dan kontra. Dia bisa menerima perbedaan pandangan itu sebagai sebuah kelaziman di tengah masyarakat yang heterogen. Karena itu, istri Revian D. Kaunang ini menganggap bahwa dinamika yang terjadi itu bukan untuk ditakuti, melainkan untuk dihadapi dengan penuh percaya diri.
"Karena heterogenitasnya, pasti ada saja gejolak seperti ini," ujar alumnus Fisip Universitas Indonesia (UI) ini.
Sebagaimana diketahui, pengangkatan Susan menjadi lurah LA pada Juli lalu mendapat reaksi pro dan kontra. Sebagian warga, yang dipimpin salah seorang tokohnya, Mochamad Rusli, menolak kehadiran perempuan 43 tahun itu menjadi lurah. Mereka mengumpulkan sekitar 1.500 KTP dan 2.300 tanda tangan untuk menggalang aksi itu.
Meski begitu, Susan bergeming. Dia tidak akan mundur dari jabatan itu karena menjadi pejabat yang sah untuk memimpin kelurahan itu.
Menurut Susan, gubernur dan wakil gubernur DKI telah memperhitungkan secara matang mengapa dirinya ditempatkan di Kelurahan LA. Dia pun akan menjalankan amanat dan kepercayaan itu sebaik-baiknya.
"Saya hadir di sini untuk mengabdi. Untuk kerja, kerja, dan kerja. Saya nggak mau terganggu karena dinamika yang sudah biasa itu. Saya sadar betul tidak semua orang suka sama saya. Tapi, itu tidak masalah. Lumrah saja," kata ibunda Claudia Gabriel Kaunang itu.
Memang, kendati baru sebulan menjadi lurah LA, Susan langsung ngetop. Selain lantaran adanya pro dan kontra, dia cantik dan modis. Susan juga tipe perempuan pekerja keras.
"Ya, pokoknya saya ingin kerja saja. Saya akan berusaha mengayomi seluruh warga, melayani kebutuhan mereka," ujar perempuan kelahiran Jakarta, 4 April 1970 itu.
Untuk meredam gejolak yang terjadi, ibu berdarah Padang-Manado ini mengaku telah membicarakannya dengan para tokoh masyarakat sekitar. Saat pertemuan itulah dia memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa dirinya hanya akan mengabdi sepenuhnya kepada masyarakat tanpa dibatasi oleh sekat perbedaan apa pun.
"Saya tegaskan lagi, saya memang Kristen, tapi saya nggak fanatik. Saya di sini hanya perpanjangan tangan pemerintah di atas," ujarnya.
Pada saatnya nanti, kata dia, masyarakat melihat ketulusannya mengabdi tanpa dibatasi sekat-sekat apa pun. Apalagi, hanya karena perbedaan keyakinan. "Saya tidak terganggu. Nanti mereka juga lihat kerja saya. Sebab, saya ke sini bukan untuk membawa misi agama. Tidak," tegasnya.
Ditanya mengenai program kerja yang akan diwujudkannya, Susan mengaku ada beberapa yang mendesak. Salah satunya mengatur tempat pembuangan sampah akhir (TPSA) di Jalan Lontar. Sebab, TPSA itu berada di pinggir jalan.
Tak jarang sampahnya meluber hingga memakan setengah jalan. Sampah-sampah itu menumpuk karena tidak hanya dari masyarakat Kelurahan LA, tetapi juga buangan warga kelurahan lain di Kecamatan Jagakarsa. "Itu sangat mengganggu lalu lintas di sini," katanya. (*/c2/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Marsma (Pur) Nanok Soeratno Membedah Dapur Paskhas TNI-AU
Redaktur : Tim Redaksi