Sutradara pun Dibuat Menangis

Minggu, 19 Januari 2014 – 15:55 WIB
The Act of Killing. Getty Images

jpnn.com - LOS ANGELES - Film tentang salah satu tragedi kemanusiaan paling besar dalam sejarah Indonesia modern, The Act of Killing, lolos menjadi nomine Academy Awards Ke-86 kategori film dokumenter. Film yang dibesut Joshua Lincoln Oppenheimer itu bercerita mengenai sejumlah komandan jagal yang bertanggung jawab atas pelenyapan lebih dari satu juta jiwa pada operasi pembersihan anggota PKI di seluruh Indonesia pasca Gerakan 1 Oktober 1965.

Dikutip dari NY Post, untuk membuat film ini Oppenheimer mewawancarai sekitar 40 orang yang disebutnya sebagai jagal itu. Tapi, wawancara dokumenter dengan salah satu komandan jagal, Anwar Congo, yang paling membuat batinnya remuk. Anwar sendiri adalah jagal yang membantai ribuan orang dan menjadi salah seorang karakter di film yang menonjol.

BACA JUGA: Foto Kate Moss Jadi Bahan Masalah

Hati Oppenheimer paling hancur ketika Anwar melakukan simulasi saat membunuh seorang bayi. Dia menyayatnya dengan pisau di hadapan ayah bayi tersebut. Sebagai reka ulang, Anwar menggunakan boneka teddy bear untuk menggantikan si bayi. Melihat hal tersebut, Oppenheimer tak kuasa membendung air mata.

”Tangis saya mulai pecah,” kata Oppenheimer dalam sebuah adegan di film versi director’s cut.

BACA JUGA: Foto Syur Kate Moss Dipermasalahkan Majalah Playboy

’’Anwar tahu saya mulai menangis,’’ katanya. Anwar lalu bertanya, ”Josh, kamu menangis”. ’’Ya, saya menangis.”

Hening sejenak, dan Anwar lalu bertanya lagi. ’’Lalu kita harus bagaimana?’’

BACA JUGA: Tak Semua Anak Soekarno Anggap Film Buatan Hanung Buruk

’’Ya, mari diteruskan,’’ kata Oppenheimer.

Berdasar film ini, sejarah ditulis oleh pihak pemenang, maka belum pernah ada tindakan khusus terhadap tragedi kemanusiaan tersebut, meski mantan Presiden RI Gus Dur sempat melakukan ”rekonsiliasi” dengan eks tapol.

Film dokumenter Oppenheimer ini menjadi makin kuat karena bukan hanya mewawancarai para jagal tersebut. Mereka diminta melakukan simulasi pembantaian tersebut dengan gaya Hollywood banget. Lengkap dengan lagu dan tari-tariannya. Hasilnya adalah menatap langsung ke jantung kekerasan tersebut, sebuah cermin sadisme, tapi dilengkapi kostum dan make-up.

Oppenheimer sendiri awalnya datang ke Indonesia tidak untuk membuat dokumenter mengenai topik kontroversial tersebut. Dia ingin membuat film tentang buruh. Dari serangkaian wawancara, sutradara kelahiran AS, 23 September 1974, yang berdomisili di Kopenhagen tersebut akhirnya tahu bahwa banyak dari keluarga para buruh tersebut yang menjadi korban pembantaian.

Secara tak begitu serius, Oppenheimer lantas menghubungi para jagal tersebut. Yang mengejutkan, bukan reaksi menutup diri untuk tidak mengingat masa lalu. ’’Tapi, mereka (para jagal) bercerita dengan gamblang dan mengingat betul detail mengenai pembunuhannya. Yang ironis, hal itu diceritakan dengan senyum terkembang, di hadapan anak dan istrinya,’’ tutur peraih Bachelor of Arts pada jurusan pembuatan film dari Harvard University dan peraih gelar doktor di Central Saint Martins College of Art and Design.

Kelompok-kelompok HAM di Indonesia yang punya hubungan dengan Oppenheimer kemudian memintanya meneruskan proyek tersebut. Akhirnya, Oppenheimer mulai menyiapkan produksi. Yang membuat Oppenheimer takjub, para jagal itu dengan sukarela mau berpartisipasi.

’’Kalian telah menjadi bagian dari salah satu pembantaian terburuk dalam sejarah manusia modern, dan masyarakat Anda berdiri di atas puingnya. Tunjukkan pada saya, bagaimana Anda membunuh dengan cara apa pun yang kalian suka,’’ kata Oppenheimer ketika memberi komando kepada para jagal tersebut sebelum kamera mulai mengambil gambar.

Sampai akhirnya dia bertemu Anwar Congo. Pada awalnya Anwar cukup ceria. Bahkan, dia sempat menyebut bahwa membunuh itu seolah hal biasa. ’’Ketika membunuh orang, sebaiknya pakai celana panjang. Biar tidak kotor kakinya,’’ kata Anwar yang menurut Oppenheimer melakukan pembunuhan seolah-olah hendak berkebun.

Namun, di tengah syuting, terjadi perubahan emosional pada diri Anwar Congo. Dia mengaku gelisah dan kerap dihantui mimpi buruk korban-korban yang dibunuhnya. ”Saya tak menyangka akan jadi mengerikan begini rasanya,’’ terangnya.

Kemudian salah seorang jagal menyadari dan memintanya berhenti syuting. ’’Ini membuat kami tampak buruk. Sudah, berhenti-berhenti,’’ katanya, seraya didampingi seorang tentara yang tampak siaga. Takut ditangkap, Oppenheimer kemudian menghentikan syuting.

Dia lalu memulai syuting lagi secara gerilya (mendatangi satu per satu) jagalnya. Begitu terus hingga delapan tahun sampai filmnya selesai produksi. Kini, setelah memenangi puluhan penghargaan film, termasuk The European Film Award for Best Documentary dan Aung San Suu Kyi Awards, The Act of Killing yang dirilis di AS pada 19 Juli 2013 itu menjadi salah satu nomine terkuat pembawa pulang Oscar. (c2/ayi)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Justin Bieber Tak Sadar Terlibat Masalah Besar


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler