Pemimpin partai oposisi Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) itu dikecam pendukungnya di dunia karena sama sekali tak berkomentar tentang aksi kekerasan yang terjadi di Negara Bagian Rakhine sejak Juni lalu tersebut. Peraih Nobel Perdamaian 1991 itu mengakui bahwa kelompok Muslim maupun Buddha juga kecewa karena dirinya tidak mengambil posisi mendukung salah satu di antara mereka.
"Saya memang mendorong adanya toleransi. Tapi, saya berpikir bahwa tidak seharusnya seseorang menggunakan pengaruhnya untuk menawarkan solusi tanpa melihat akar masalahnya," jelas Suu Kyi kepada BBC kemarin (4/11).
Berbicara dari ibu kota Myanmar, Naypyidaw, setelah bertemu dan berbicara dengan Presiden Komisi Eropa Jose Manuel Barroso, Suu Kyi menegaskan bahwa dirinya tidak bisa berbicara untuk membela etnis Rohingya.
"Saya tahu bahwa orang-orang ingin supaya saya mengambil sikap mendukung salah satu pihak. Kedua pihak (berseteru di Rakhine) juga tak senang karena saya tak akan mendukung salah satu di antara mereka," terangnya.
Dalam pertemuan itu, Barroso mengatakan bahwa Uni Eropa prihatin dengan kekerasan yang terjadi di Rakhine dan dampaknya terhadap reformasi Myanmar. Menurut dia, konflik sektarian tersebut dapat menggagalkan reformasi demokrasi yang sedang diupayakan pemerintah Myanmar di bawah Presiden Thein Shein.
Suu Kyi berpendapat bahwa penegakan hukum harus dijalankan lebih dulu sebelum melihat permasalahan lain. "Jika orang sudah saling bunuh dan terjadi saling bakar rumah di antara kelompok yang berseteru, bagaimana kita bisa mencapai kesepakatan yang dipertanggungjawabkan?" papar pemimpin oposisi Myanmar, yang kini duduk sebagai anggota parlemen tersebut.
Lebih dari 100 ribu warga di Rakhine harus mengungsi untuk menghindari konflik komunal yang pecah sejak Juni lalu itu. Bentrok pecah lagi bulan lalu sehingga memaksa 30 ribu orang meninggalkan tempat tinggal mereka untuk mengungsi dan menyelamatkan diri. Puluhan orang dari dua etnis itu tewas. Ribuan rumah pun ludes dibakar massa.
Pemerintah Myanmar dan mayoritas warga di Rakhine selama ini menganggap 800 ribu etnis Muslim Rohingya di sana sebagai imigran gelap dari Bangladesh atau negara tetangga. PBB pun menyebut etnis yang beragama Islam itu merupakan salah satu kelompok minoritas paling teraniaya dan terdiskriminasi di dunia.
Lembaga pemantau hak asasi manusia (HAM), Human Rights Watch (HRW), memperingatkan agar pemerintah Myanmar melindungi Muslim Rohingnya dalam konflik sektarian di Rakhine. Konflik itu dinilai makin memburuk jika akar masalahnya tidak segera diselesaikan.
HRW juga telah merilis sejumlah gambar satelit yang memperlihatkan kerusakan parah sebuah distrik di pesisir barat Myanmar akibat kerusuhan etnis tersebut. Lembaga yang bermarkas di Amerika Serikat (AS) itu menunjukkan bahwa lebih dari 800 banguan dan rumah terapung rusak terbakar di Kyaukpyu, sebelah barat Rakhine.
HRW melaporkan bahwa kebanyakan korban adalah etnis Muslim Rohingya. Mereka menjadi target serangan kelompok non-Muslim. Data resmi menyebut bahwa 64 orang tewas dalam bentrok terakhir pada 26 Oktober lalu. Namun, HRW memperkirakan angkanya jauh lebih besar.
HRW membandingkan foto satelit Distrik Kyaukpyu yang diambil pada 9 dan 25 Oktober lalu. Pada 9 Oktober, ratusan rumah yang berdiri saling berdekatan masih terlihat di sepanjang pantai. Termasuk, puluhan rumah terapung di pantai utara.
Tetapi, dari gambar yang diambil pada 25 Oktober lalu, hanya tersisa beberapa rumah terapung. Menurut HRW, tak ada bekas pembakaran di barat dan timur wilayah yang rusak parah tersebut. Namun, sebagian warga diperkirakan meninggalkan wilayah itu dengan perahu lewat jalur laut.
Sebelumnya, Kepala UNHCR (badan HAM PBB) Navi Pillay meminta dilakukan penyelidikan terkait konflik di Rakhine. Pillay mengatakan bahwa aparat keamanan yang dikirim untuk menghentikan kekerasan justru melakukan penyerangan atas etnis Muslim Rohingya. (AFP/cak/dwi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Hadiah Lotre Rp 220 Miliar Nyaris Tak Bertuan
Redaktur : Tim Redaksi