jpnn.com - Saya dapat kiriman buka puasa. Dari Rochman Budiyanto. Wartawan intelektual. Humoris. Satiris.
Kirimannya berupa hadis. Via WhatsApp. Sahih Bukhori Muslim.
BACA JUGA: Jelang Pertemuan, Tangan Kanan Kim Jong Un Sambangi New York
Intinya: harusnya saya memang begitu. Sejajar dengan imam. Kalau hanya berdua. Tentu saya tahu hadis itu.
Tapi sejak kecil sudah diajari tawadu. Rasanya tidak sopan sejajar dengan imam. Apalagi imamnya bapak saya.
BACA JUGA: Rosma Setelah Tinggalkan Penyiar TV
Wahai para santri: kalau Anda berjemaah berdua dengan kiai Anda beranikah berdiri sejajar? Tapi ya sudah.
Kiriman hadis itu membuat saya ingat Hays lagi. Ingat masjid itu lagi. Ingat anak muda vacuum cleaner itu lagi.
BACA JUGA: Pesantren Pertama di Amerika
Saya ingat ia undang saya makan malam. Dua hari sebelum puasa. Tempatnya ya di masjid itu. Kota kecil sekali di Kansas itu. Pedalaman Amerika itu.
Meski undangannya makan malam, saya putuskan makan malam dulu di rumah. Ini terkait dengan jadwal minum obat. Sesuai jadwal makan malam saya: pukul 18.00. Ayam panggang, kobis mentah, nasi quinoa dan sambal ABC botol.
Kota ini kecil sekali. Penduduknya 20.000 saja. Tidak ada Asian Market. Yang biasa jual bahan makanan dari Asia.
Asian Market terdekat di Garden City. Sekitar 200 km dari Hays.
Maka saya putuskan beli sambal ABC lewat Amazon.com. Bebas ongkos kirim. Harga sebotol USD 6 : sekitar Rp 80.000. Dua hari sampai ke rumah.
Habis makan malam matahari masih tinggi. Tapi sebelum pukul 9 malam saya sudah tiba di masjid. Sekalian ingin Salat Magrib di situ.
Ternyata sudah hadir seorang mahasiswa asal Arab Saudi. Saya pun minta izin untuk azan. Dipersilakan.
Habis azan saya minta ia jadi imam. Ia bilang tunggu saja. Imamnya sudah dalam perjalanan.
Jam sudah pukul 21.15. Yang ditunggu ternyata orang tua itu. Ayah mahasiswi itu. Yang khotbah Jumat itu. Yang kausnya, jelana jeannya dan topi petnya masih sama.
Sambil menunggu imam tadi anak muda itu sibuk di dapur. Menyiapkan makan malam.
Selesai magrib saya langsung salat isya. Sendirian. Sudah jam 21.40. Yang lain sibuk menggelar hambal. Dan duduk melingkar di sekitar hambal bergambar Kakbah itu.
Makanan pun disajikan: kurma, cake dan kahwa atau kopi Arab. Semua yang hadir memang mahasiswa asal Arab Saudi.
Mereka asyik makan kurma dan cake. Sambil ngobrol. Dalam bahasa Arab. Saya hanya mengerti beberapa persennya.
Dalam hati saya kecewa: cuma itukah makan malamnya?
Untung saya sudah makan di rumah. Saya tidak makan kurma itu. Sudah pernah kekenyangan makan korma mentah.
Saya pamit pulang. Tidak makan cake itu: pasti manis sekali. Tidak minum kahwa: sudah tahu pahitnya.
Sudah pukul 10 malam. Jadwal saya tidur.
Saat melewati dapur, anak muda vacuum cleaner itu mencegah. Saya tidak boleh pulang. ”Anda harus ikut makan malam,” katanya.
Lho. Tadi itu apa? Dalam hati. Anak muda itu ternyata lagi nunggui drum stainless. Di dapur. Ada sedikit uap mengepul dari dalamnya. Dia buka tutupnya: ampuuuun. Kambing!
Daging kambing yang sedang direbus. Berbongkah-bongkah. Ternyata ada semacam sarang yang bisa diangkat dari dalam drum itu. Daging kambingnya di sarang itu.
Setelah diicipi ternyata belum masak. Dibalikkan ke dalam drum lagi. Airnya mendidih.
Sudah pukul 11 malam. Mahasiswa asal Arab lainnya berdatangan. Total ada 20 orang. Makanya, kambingnya satu drum.
Saya terus mendengarkan mereka ngobrol. Sambil mengingat-ingat pelajaran bahasa Arab di pesantren dulu.
Tiba-tiba orang tua itu berdiri: azan. Yang hadir pun sigap: bikin barisan. Mereka akan Salat Isya. Pukul 11.15.
Saya bingung: tadi sudah Salat Isya sendiri. Haruskah ikut berjemaah? Saya putuskan berwudu. Ikut mereka.
Setelah itu barulah persiapan makan malam. Kambing bergumpal-gumpal diangkat dari drum. Tidak ada lagi kuahnya. Setengah kering.
Saat ketemu anak muda itu hari-hari berikutnya saya bertanya: dapat daging kambing dari mana. Di supermarket tidak dijual. Di Walmart tidak ada.
”Saya beli kambing hidup,” ujar Faris, anak muda vacuum cleaner itu, imam yg heboh itu. ”Saya sembelih sendiri,” tambahnya.
Usai angkat gumpalan daging dari drumnya dibuka pula oven besar di sebelahnya: isinya panci. Penuh nasi briani. Yang ada taburan bumbu di atasnya. Termasuk taburan cengkeh.
Panas. Mengebul uap panasnya. Menyebar aromanya. Dituanglah nasi itu. Ke tampah alumunium bundar. Gumpalan kambingnya ditumpuk di atas nasi briani.
Kami pun, 20 orang, melingkari nasi kambing itu. Dua lingkaran. Semua tangan menyerbu si kambing.
Tidak asing bagi saya. Sudah sering pesan nasi model begituan. Kalau lagi ada tamu khusus. Praktis hampir pukul 12 malam baru mulai makan. Benar-benar kebiasaan orang di Arab. Makan malamnya jam segitu.
Saya mencicipi beberapa cuil kambing. Dan beberapa puluk nasi briani. Puluk adalah satuan untuk nasi yang mampu digenggam oleh lima ujung jari sebelum dimasukkan ke mulut. Maafkan atas definisi asal jadi itu.
Saya menikmati pulukan itu. Tapi lebih menikmati suasana asli serba Arabnya: cara duduknya, ngobrolnya, saling ejeknya, cara meraup nasinya, cara mencongkel dagingnya, cara mengeremus kambingnya.
Saya pamit: sudah pukul 00.00. Tidak emosi untuk ikut meludeskan kambing.
Ternyata semua itu syukuran: ada enam mahasiswa yang wisuda keesokan harinya. Lantas pulang kampung. Tidak akan ke masjid itu lagi.
Masjid ini akan kian sepi. Tapi hati saya ramai. Melihat sudah ada tulisan ‘masjid’ tertempel di dinding luarnya.(***)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Insyaallah Aku Lilo, Madrid
Redaktur : Tim Redaksi