Tabah 65 Atm

Oleh: Dahlan Iskan

Selasa, 27 April 2021 – 05:26 WIB
Ilustrasi KRI Nanggala 402. Ilustrator: Rahayuning Putri Utami/JPNN.com

jpnn.com - Duka masih terus menyelimuti nusantara. Magnitude tenggelamnya kapal selam Nanggala Rabu lalu memang luar biasa.

Namun, saya salah ketika membayangkan 53 prajurit TNI-AL yang bertugas di dalam kapal itu meninggal akibat kehabisan oksigen.

BACA JUGA: Lagu Penghormatan Nanggala 402 Abadi di Samudra Dirilis, Simak di Sini

Kapal itu ternyata ditemukan pecah menjadi tiga di dasar laut sedalam 838 meter. Berarti 53 prajurit tersebut meninggal jauh sebelum oksigen di kapal itu habis.

Kisah oksigen ini bermula ketika ada penjelasan bahwa persediaan oksigen di kapal itu hanya cukup untuk tiga hari. Yang berarti oksigen akan habis di hari Sabtu pukul 03.00 dini hari.

BACA JUGA: 53 Prajurit KRI Nanggala Gugur, TNI AL Kibarkan Bendera Setengah Tiang

Begitu Sabtu pagi belum ada kejelasan di mana posisi Nanggala, secara matematika, mereka sudah meninggal dunia –kehabisan oksigen. Atau, begitu diketahui kapal berada di kedalaman 800 meter, maka semuanya, secara ilmiah, pasti hancur.

Namun begitu ada indikasi bahwa posisi kapal itu berada jauh di dalam laut, penyebab kematian tidak harus karena kehabisan oksigen.

BACA JUGA: Tabah Sampai Akhir

Sebelum persediaan oksigen habis pun bisa terjadi apa pun. Terutama dikaitkan dengan tekanan atmosfer di dalam laut. Yang kian dalam, tekanan itu kian tinggi.

Kini semuanya jelas: kapal itu ditemukan di kedalaman laut 838 meter. Keadaannya tidak utuh lagi –terbelah menjadi tiga. Atau lebih.

Di kedalaman 800 meter itu tekanannya sekitar 65 Atm. Atau sekitar 65,8 bar. Dalam tekanan sekuat itu kapal pasti pecah. Bahkan, menurut teori, kapal sudah mulai retak ketika memasuki kedalaman 300 meter. Kian dalam posisi kapal kian parah retakan itu.

Pada kedalaman 600 meter mestinya kapal itu sudah patah-patah.

Dari teori itu, maka persediaan oksigen tiga hari tidak ada hubungan dengan kematian 53 prajurit di kapal itu. Kemungkinan besar, di hari pertama pun mereka sudah tewas. Yakni ketika kapal itu pecah. Bahkan, mungkin, tidak perlu menunggu satu hari. Pun satu jam.

Dalam beberapa menit saja kapal itu bisa berubah dari kedalaman 100 meter ke 300 meter. Lalu ke 600 meter. Akhirnya ke 800 meter. Dari posisi 100 meter ke 800 meter itu barangkali hanya memerlukan waktu kurang dari setengah jam.

Kalau kapal selam yang begitu perkasa saja bisa pecah menjadi tiga, bisa dibayangkan nasib tubuh manusia. Yang hanya terdiri dari unsur air dan debu.

Maka, dengan tekanan 65,8 bar, tubuh manusia bisa remuk menjadi seperti air lagi. Hanya jaket mereka yang tidak hancur - -kalau jaket itu plastik. Semua organ yang berongga langsung mimpes dan lumat.

Saya tidak pernah masuk ke dalam kapal selam. Wartawan saya, Nasaruddin Ismail, yang pernah merasakan ikut Nanggala 402. Itu 20 tahun lalu. Ketika kami masih sama-sama aktif menjadi wartawan.

Waktu itu ia akan menerima brevet Hiu Kencana. Syaratnya harus pernah ''berlayar'' di dalam kapal selam.

Nasaruddin memang wartawan yang lama bertugas di TNI-AL. Ia boleh tahu apa saja di situ, tetapi ia harus tahu mana yang bisa ditulis dan mana yang tidak. Nasaruddin dianggap lulus di situ. Ia mendapat penghargaan dari TNI-AL.

Waktu itu kapal selam Nanggala lagi ''parkir'' di tengah laut. Di utara kota Situbondo. Di selat Madura. Nasaruddin diterbangkan dengan helikopter dari Surabaya. Heli itu mendarat di sebuah kapal perang.

Posisi Nanggala berada mepet di kapal perang itu. Maka Nasaruddin berjalan lewat bordes dari kapal perang ke kapal selam. Ia masuk ke kapal selam dari pintu atas di kapal itu. Dengan cara menuruni tangga yang tegak lurus.

Ruang di dekat tangga itu sempit. Hanya cukup untuk lima orang berdiri berdekatan.

Di ruang itulah penghargaan diberikan. Yakni setelah kapal Nanggala menyelam ke kedalaman 76 meter. Lalu memutar di perairan bawah laut itu selama sekitar satu jam.

Sebagai orang yang selama satu jam hanya di ruang sempit di dalam laut, Nasaruddin terperangah ketika pertama kali memunculkan kepala ke pintu atas kapal itu. "Saat pertama melihat kembali alam ini saya kagum. Indah sekali alam ini," katanya.

Berbeda dengan 53 prajurit yang beberapa hari berada di dalam kapal selam Nanggala. Mereka tidak pernah lagi melongokkan kepala muncul dari pintu atas kapal itu.

Mereka tewas bersama Nanggala. ''Tewas'' adalah sebutan yang dikategorikan kepada mereka. Di ketentaraan ada empat kategori meninggal: gugur, tewas, hilang dalam tugas, dan meninggal.

Status gugur' diberikan kepada prajurit yang meninggal oleh lawan.

Tewas diberikan kepada prajurit yang meninggal saat membawa surat tugas.

Hilang dalam tugas kalau prajurit itu tidak diketahui keberadaannya di sebuah penugasan.

Status meninggal diberikan kepada yang meninggal biasa di luar penugasan.

Prajurit 53 orang itu tewas. Mereka adalah prajurit wira ananta rudira - -tabah sampai akhir. Mereka tewas.

Mereka hidup selamanya. Atau dalam istilah kebanggaan para pelaut sendiri mereka itu sedang "beristirahat dalam angin yang tenang di laut yang indah".

Surat penugasan mereka tidak dicabut. Mereka juga tidak mengembalikan surat tugas itu. Selamanya. Mereka menyebut diri mereka masih dalam status sedang "patroli abadi". (*)

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler