GUANTANAMO--Aksi mogok makan yang berlangsung di kamp militer Guantanamo telah memasuki hari ke-100. Kondisi ini semakin menggerakkan komunitas dunia yang menyuarakan agar Amerika Serikat menutup kamp yang melanggar HAM tersebut.
Menurut salah seorang pengacara tahanan di Guantanamo, dari angka resmi yang dirilis sumber militer AS yakni 166 tahanan, 100 diantaranya saat ini melakukan aksi mogok makan. Diyakini, jumlah tahanan lebih banyak dari yang dirilis karena ditutup-tutupi pihak militer.
Dari 100 orang yang melakukan aksi, 30 diantaranya telah dipaksa untuk makan oleh para penjaga melalui tabung yang dimasukkan ke hidung. Tiga orang lagi masuk rumah sakit.
Disebutkan, ke-166 tahanan tersebut banyak diantaranya telah 11 tahun enam bulan berada di dalam fasilitas militer tersebut tanpa didakwa apa kesalahannya.
Aksi mogok makan itu sendiri dimulai pada Februari setelah adanya perselisihan antara tahanan dan penjaga, dipicu ulah penjaga yang mengganggu barang-barang pribadi tahanan termasuk memperlakukan dengan salah atas kitab suci Al-Quran.
Awalnya, hanya beberapa lusin tahanan menolak makan tetapi pada jumlah itu membengkak menjadi 100-an orang.
Cindy Panuco, seorang pengacara untuk tahanan Afghanistan Obaidullah mengatakan, otoritas penjara Guantano telah memisahkan para tahanan dari komunitasnya ke dalam sel tunggal dengan dalih menghentikan mereka memperoleh senjata.
"Itu hanya dalih saja, mana mungkin mereka mendapatkan senjata. Pengisolasian tahanan adalah upaya untuk mematahkan tekad mereka dan menghentikan mereka kelaparan," ujar Cindy seperti dilansir rt.com (16/5).
Sebelumnya, Feroz Abbasi, yang dibebaskan dari Guantanamo tanpa tuduhan, menggambarkan bagaimana ia disiksa secara psikologis oleh penjaga Guantanamo. "Untuk beberapa alasan pada malam yang sama Irak dibom Maret 2003, saya dipindah ke isolasi, dikurung, dan berada di sana selama dua tahun. Enam bulan di antaranya tanpa sinar matahari, "kata Feroz.
Clive Stafford Smith seorang pengacara HAM Inggris yang mewakili Sahker Aamer, narapidana Inggris terakhir di Guantanamo, mengatakan bahwa kondisi pengalaman kliennya lebih buruk daripada hukuman mati.
"Ketika seorang narapidana mengaku tidak melakukan apa yang dituduhkan maka enam orang berpakaian tertutup langsung memukulinya. Begitupula jika tahanan ingin sebotol air atau obat-obatan, maka enam orang tukang pukul itu lagi yang dikirim. Karenanya, para tahanan yang tengah mogok makan dan dipaksa makan melalui aneka alat itu merupakan penghinaan terakhir bagi tahanan," ujarnya.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Clive, ada tiga tahap rasa sakit pemaksaan makanan oleh militer AS di Guantanamo.
Pertama ketika tabung dipaksa melewati hidung tahanan ke tenggorokannya, hal itu menyebabkan mata berair, rasa terbakar dan sensasi tersedak secara intensif. Siksaan itu berlanjut begitu tabung turun ke tenggorokan dan kadang hingga menyentuh rongga perut, dimana ada dorongan kuat untuk muntah bagi tahanan.
"Ditambah lagi, tatkala tabung itu telah dipaksakan menyuplai "makanan", hal itu memicu sensasi yang paling menyakitkan dari semua yaitu kembalinya kelaparan karena dimuntahkan," ujar Clive. (Esy/jpnn)
Menurut salah seorang pengacara tahanan di Guantanamo, dari angka resmi yang dirilis sumber militer AS yakni 166 tahanan, 100 diantaranya saat ini melakukan aksi mogok makan. Diyakini, jumlah tahanan lebih banyak dari yang dirilis karena ditutup-tutupi pihak militer.
Dari 100 orang yang melakukan aksi, 30 diantaranya telah dipaksa untuk makan oleh para penjaga melalui tabung yang dimasukkan ke hidung. Tiga orang lagi masuk rumah sakit.
Disebutkan, ke-166 tahanan tersebut banyak diantaranya telah 11 tahun enam bulan berada di dalam fasilitas militer tersebut tanpa didakwa apa kesalahannya.
Aksi mogok makan itu sendiri dimulai pada Februari setelah adanya perselisihan antara tahanan dan penjaga, dipicu ulah penjaga yang mengganggu barang-barang pribadi tahanan termasuk memperlakukan dengan salah atas kitab suci Al-Quran.
Awalnya, hanya beberapa lusin tahanan menolak makan tetapi pada jumlah itu membengkak menjadi 100-an orang.
Cindy Panuco, seorang pengacara untuk tahanan Afghanistan Obaidullah mengatakan, otoritas penjara Guantano telah memisahkan para tahanan dari komunitasnya ke dalam sel tunggal dengan dalih menghentikan mereka memperoleh senjata.
"Itu hanya dalih saja, mana mungkin mereka mendapatkan senjata. Pengisolasian tahanan adalah upaya untuk mematahkan tekad mereka dan menghentikan mereka kelaparan," ujar Cindy seperti dilansir rt.com (16/5).
Sebelumnya, Feroz Abbasi, yang dibebaskan dari Guantanamo tanpa tuduhan, menggambarkan bagaimana ia disiksa secara psikologis oleh penjaga Guantanamo. "Untuk beberapa alasan pada malam yang sama Irak dibom Maret 2003, saya dipindah ke isolasi, dikurung, dan berada di sana selama dua tahun. Enam bulan di antaranya tanpa sinar matahari, "kata Feroz.
Clive Stafford Smith seorang pengacara HAM Inggris yang mewakili Sahker Aamer, narapidana Inggris terakhir di Guantanamo, mengatakan bahwa kondisi pengalaman kliennya lebih buruk daripada hukuman mati.
"Ketika seorang narapidana mengaku tidak melakukan apa yang dituduhkan maka enam orang berpakaian tertutup langsung memukulinya. Begitupula jika tahanan ingin sebotol air atau obat-obatan, maka enam orang tukang pukul itu lagi yang dikirim. Karenanya, para tahanan yang tengah mogok makan dan dipaksa makan melalui aneka alat itu merupakan penghinaan terakhir bagi tahanan," ujarnya.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Clive, ada tiga tahap rasa sakit pemaksaan makanan oleh militer AS di Guantanamo.
Pertama ketika tabung dipaksa melewati hidung tahanan ke tenggorokannya, hal itu menyebabkan mata berair, rasa terbakar dan sensasi tersedak secara intensif. Siksaan itu berlanjut begitu tabung turun ke tenggorokan dan kadang hingga menyentuh rongga perut, dimana ada dorongan kuat untuk muntah bagi tahanan.
"Ditambah lagi, tatkala tabung itu telah dipaksakan menyuplai "makanan", hal itu memicu sensasi yang paling menyakitkan dari semua yaitu kembalinya kelaparan karena dimuntahkan," ujar Clive. (Esy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Usut Video Kanibalisme
Redaktur : Tim Redaksi