jpnn.com - Ini seperti terperosok ke lubang –yang saya sendiri penggalinya.
Saya bisa memaklumi keluhan pembaca: bagaimana bisa membaca ulang lebih 350 Disway untuk bisa memilih yang terbaik selama tahun 2021. Apalagi waktu yang disediakan hanya setengah hari.
BACA JUGA: Disway Pilihan
Karena itu saya begitu terharu melihat banyak juga yang telah mengerjakannya: N. Ikawijaya, Bitrik Sulaiman, Robba Batang, Budi, Masruroh Ruroh, Disway Reader, Aryo Mbediun, Parikesit, Dinan Terang, Leong Putu, Syaiful M, Yea Aina, Iqbal Safirul Barqi, Thamrin Dahlan Ibnuaffan, Ma'roef M, Supri Ajee, Emji, ChAn Reader, Johan, Mirza Mirwan, Hendri 18081545Maruf, Heiruddin Arafah, Mbah Mars, Disway1808672, RAMPunjabs, BunBayu, mama e bocah Reader, Disway 18081057, Aji Muhammad Yusuf, rid kc, Amat...
Total hampir 40 orang. Saya sampai kelelahan membaca semuanya. Apalagi waktu yang tersedia hanya 2 jam. Maka hari ini tidak cukup waktu untuk memilih komentar pilihan.
BACA JUGA: Gundah Garuda
Dari 35 pemilih itu, ternyata hanya 3 orang yang pilihannya sama: soal Disway Pilihan. Dua orang memilih soal 2T. Selebihnya, memilih topik yang berbeda-beda. Betapa beragam minat, misi, keinginan orang.
Saya bersyukur bisa menutup Disway tahun 2021 dengan tanpa bolong-bolong. Pun di saat saya harus masuk rumah sakit –terkena Covid-19 di awal tahun: saya masih bisa terus menulis.
BACA JUGA: Kehilangan Teman
Apakah itu berarti hobi saya adalah menulis –seperti yang disangkakan Prof Pry di komentar Disway dua hari lalu? Hobi sebagai wartawan purnatugas?
Kalau saja menulis itu sekadar hobi, alangkah celakanya saya: punya hobi saja yang menyiksa diri. Sampai dimarahi istri karena hanya bisa menjawab hmm hmm saat dia curhat. Dan tetap hmm hmm sambil mendengarkan dia marah.
Juga, untuk apa punya hobi harus membaca komentar Anda yang sering sampai 400 lebih itu?
Hobi tentu suatu kegiatan yang kalau dikerjakan menimbulkan kesenangan. Dari sudut ini benar: saya memang senang membaca komentar-komentar itu. Sering terhibur. Tersenyum-senyum. Kadang sampai tertawa.
"Tuh, kai mu sudah gila," celetuk istri saya pada cucunyi.
Namun, yang namanya hobi tentu baru dikerjakan kalau lagi mau mengerjakan. Dari kriteria yang satu ini menulis Disway sama sekali tidak bisa disebut hobi.
Bayangkan: saya harus tetap menulis di saat paling suntuk sekalipun.
Kalau suntuknya masih pagi saya masih bisa bilang ke diri sendiri: nanti saja.
Kalau sampai siang masih suntuk saya masih bisa bilang: nanti sore saja. Pun ketika sudah sore: nanti saja menjelang magrib.
Kalau menjelang magrib itu tiba, tidak ada lagi ruang untuk berkelit. Harus menulis.
Pun ketika belum punya ide. Pun ketika suntuknya meningkat. Pun ketika mendadak ada urusan –sampai harus menulis sambil di perjalanan.
Coba, hobi macam mana itu.
Itu sama sekali bukan hobi.
Itu siksa.
Siksa dunia.
Semoga mengurangi siksa kubur.
Namun mengapa saya melakukan itu –memaksakan diri menulis setiap hari? Saya teringat ayah. Almarhum.
Hari itu keluarga kami seperti mau kiamat. Kakak sulung saya –satu-satunya yang punya penghasilan tetap sebagai guru madrasah– harus pergi ke Kalimantan: Samarinda.
Ibu sudah lama meninggal. Sawah sejengkal sudah terjual. Meja, kursi, dipan, lemari sudah jadi nasi. Tikar mendong sudah bolong-bolong.
Kakak harus pergi. Tak terkirakan jauhnya –untuk ukuran saat itu.
Ayah tahu: anak wanitanya itu harus pergi.
Saya tidak tahu –kecuali setelah dewasa: saat itu kakak lagi patah hati yang sangat berat. Calon suami pilihannyi dilarang menikahinyi: masih sepupu.
Dia memilih pergi –dengan tekad tidak akan pernah kembali. Dia tinggalkan gajinyi untuk kami –lewat surat kuasa untuk mengambil gaji. Dia sudah siap menderita di rantau –daripada hancur di kampungnyi.
Pada jam keberangkatannyi seluruh keluarga, tetangga, kerabat berkumpul di halaman.
Mereka menangis-nangis. Terutama ketika sado yang menjemputnyi tiba.
Untuk membawanyi ke kota –dari Kota Madiun akan naik kereta api ke Surabaya, lalu naik kapal laut ke Samarinda. Pak kusir membantu kakak saya menaiki sadonya.
Berangkat.
Tidak ada lagi bunyi sepatu kuda. Tidak ada suara apa-apa. Sedu dan sedan sudah lama mengeringkan air mata.
Sado pergi.
Kakak pergi.
Tetangga pergi.
Kerabat pergi.
Yang tinggal hanya sepi.
Ayah mengajak saya duduk di emper. Di atas balai-balai bambu –amben. Lantai tanah masih basah, bekas kebanyakan disiram air agar tidak berdebu.
"Dakelan... ," kata ayah saya membuka pembicaraan. Ia tidak bisa mengucapkan ''h'' yang berat di nama Dahlan. "Tahukah kamu kenapa ketika semua orang tadi menangis ayah tidak menangis?"
Saya diam.
"Sebetulnya ayah tadi juga ingin menangis. Tapi ayah ingat pesan guru. Harus bisa mengikhlaskan apa saja," katanya.
Saya masih diam.
"Ayah tadi tidak menangis karena sedang berlatih ikhlas. Ikhlas itu harus dilatih," tuturnya. "Agar kelak, ketika kita menghadapi sakaratul maut, meregang nyawa, kita sudah terlatih untuk ikhlas."
Ayah begitu fasih menirukan kata-kata gurunya. Guru yang dimaksud ayah adalah dalam pengertian guru spiritual: guru tarekat Syatariyah.
"Ayah khawatir, kalau kehilangan mbakyumu saja tidak ikhlas bagaimana kehilangan nyawa kelak," ujar ayah.
Ikhlas harus dilatih. Latihan ikhlas harus dilakukan.
Kata-kata ayah itu terus terngiang sampai saya besar. Sampai sekarang.
Berarti bersabar juga harus dilatih. Tersenyum juga harus dilatih. Mengucapkan terima kasih harus dilatih.
Latihan seumur hidup. Untuk menghadapi sakaratul maut kelak.
Komitmen juga harus dilatih.
Menulis di Disway setiap hari adalah latihan bagi saya untuk terus bisa memegang komitmen.
Banyak yang suka mengingkari komitmen dengan berbagai alasan –yang kadang memang masuk akal.
Saya mencoba berlatih dengan cara yang keras: mengikatkan diri pada beberapa komitmen. Ada yang besar, ada yang kecil.
Menulis di Disway setiap hari adalah komitmen kecil. Karena itu harus saya jaga. Apa pun halangannya.
Kadang muncul di perasaan untuk menyerah, tidak menulis –terutama ketika sangat suntuk. Lalu muncul perasaan tandingan: kalau untuk komitmen ringan ini saja mudah ingkar bagaimana dengan komitmen yang berat.
Perasaan tandingan itu yang selalu menang. Saya pun mulai memegang HP: menulis.
Komitmen seperti itu tentu berbeda dengan sekadar hobi wartawan purnabakti. Anda tahu itu. Bukan saja dalam menulis, tetapi juga dalam menjaga mutu.
Saya bersyukur bisa mengikatkan diri pada komitmen. Bahkan, tidak hanya satu komitmen.
Saya tahu: Anda juga sudah mengikatkan diri pada komitmen pilihan Anda –saya tidak akan menghitung berapa komitmen yang Anda buat dan seberapa kuat talinya.
Selamat tahun baru.
Dengan komitmen lama. (***)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Muktamar Minoritas
Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Tim Redaksi