"INI gara-gara BUMN," ujar Perdana Menteri Kay Rala Xanana Gusmao. "Gara-gara banyak proyek ditangani BUMN, jarang hujan di sini," tambahnya.
Saya baru tertawa lebar setelah Pak Xanana meneruskan kata-katanya. "Rupanya, mereka pada membawa pawang hujan ke sini. Agar proyeknya cepat selesai," katanya.
Setelah saya tertawa panjang, rupanya, beliau masih belum kehabisan stok humor. "Lain kali pawangnya harus lebih pintar ya. Yang dibuat tidak hujan cukup beberapa meter di lokasi proyek saja," katanya.
BUMN, rupanya, sangat terkenal di Timor Leste, negeri yang baru berumur 10 tahun sejak lepas dari Indonesia. Kini banyak sekali proyek infrastruktur yang tender internasionalnya dimenangi BUMN seperti PT Wijaya Karya (Persero) Tbk atau Wika dan PT PP (Persero) Tbk.
Sore itu, Kamis lalu (17/1), begitu mendarat di Dili dengan pesawat BUMN Merpati Nusantara, dan setelah diterima PM Xanana, saya langsung ke Taman Makam Pahlawan Seroja. Di situ, saya merenungkan jasa dan pengorbanan para pahlawan yang jumlahnya lebih dari 3.000 orang itu. Di situ, saya meneguhkan tekad bahwa pengorbanan mereka tidak boleh sia-sia.
Tujuan mereka dulu adalah untuk membangun jajahan Portugal tersebut agar tidak terus-menerus menderita. Tujuan itu kini bisa diamanatkan untuk diteruskan BUMN: ikut membangun Timor Leste secara ekonomi. Maka, teman-teman BUMN bertekad untuk terus aktif memenangi berbagai macam tender proyek di sana.
Tender jembatan besar menuju Bandara Komoro dimenangi Wika. Demikian juga beberapa proyek jalan. Gedung baru kementerian keuangan yang 12 lantai di dalam Kota Dili dimenangi PP. Nilai proyek tersebut mencapai Rp 250 miliar. PP juga masih mengikuti beberapa tender internasional lainnya.
Pukul enam pagi, ketika matahari belum terbit, saya sudah berada di lokasi proyek itu. Teman-teman PP yang masih sangat muda-muda berada di sana mempertaruhkan nama Indonesia. Mereka bekerja keras untuk menyelesaikan proyek dengan kondisi yang amat berbeda dari di Indonesia. Hukumnya, adatnya, aturannya, kontraknya, dan seterusnya.
Tapi, dari diskusi dengan para pimpinan proyek pagi itu, di bawah pimpinan Robin Hasiholan yang lulusan Fakultas Teknik Sipil USU Medan, saya memperoleh kesan bahwa mereka sangat mampu. Robin memang contoh sistem rekrutmen yang tepat di PP. Dia sudah "diijon" oleh PP sejak masih semester tujuh. Diberi beasiswa dan diamati sampai lulus. Setelah itu dimasukkan ke "Universitas PP" enam bulan, lalu diterjunkan ke proyek dengan supervisi seniornya. Kini dia sudah dipercaya menangani proyek penting di Dili.
Tentu banyak sekali kendala yang mereka hadapi. Namun, mereka bertekad untuk menguasai keadaan. Penguasaan itu amat penting untuk menentukan langkah di proyek-proyek berikutnya. Kemampuan menguasai keadaan itulah yang menjadi keunggulan teman-teman BUMN, sehingga hampir selalu bisa mengalahkan peserta tender dari Portugal, Spanyol, Inggris, Jepang, dan Korea. "Saingan berat kami bukan mereka. Saingan berat kami sesama BUMN," ujar Robin.
Teman-teman Wika juga mengakui itu. "Pesaing terberat kami adalah sesama anak buah Bapak," ujar teman dari Wika.
Setelah dari proyek PP, saya beruntung pagi itu bisa ikut senam Taiso bersama teman-teman Wika. Mereka memang mempunyai prosedur tetap, sebelum memulai pekerjaan, harus melakukan Taiso lebih dulu sekitar 10 menit.
Saya pun minta agar tidak menularkan kebiasaan nyogok untuk memenangi tender di sana. Di dalam negeri pun, saya sudah menegaskan agar BUMN mengakhiri kebiasaan nyogok pada masa lalu. Tidak mendapatkan proyek dari APBN, ya sudah. Cari peluang lain. Karena itu, banyak BUMN yang kini mengembangkan proyek sendiri sebagai proyek investasi. Atau proyek sesama BUMN.
Bahkan, dengan berkembangnya proyek di luar negeri, andalan hanya mengejar proyek APBN bisa dikurangi. BUMN sudah bertekad untuk tidak ikut tender proyek APBN yang nilainya di bawah Rp 25 miliar. Biarlah proyek-proyek tersebut dikerjakan kontraktor swasta yang lebih kecil. Presiden SBY menyambut baik tekad BUMN tersebut sebagai upaya untuk pemerataan, sebagaimana dikemukakan beliau dalam forum HIPMI di Bali beberapa waktu lalu.
"Di sini sama sekali tidak ada keperluan untuk nyogok, Pak," ujar Robin Hasiholan. "Juga, tidak ada pungutan apa pun di luar kontrak," tambahnya. Itu, kata dia, karena semua tender proyek besar di Timor Leste menggunakan standar tender internasional.
Wika pun, yang kini amat bangga karena menjadi BUMN karya yang terbesar (tiga BUMN karya dijadikan satu pun belum bisa mengalahkan Wika), kian menonjol kemampuannya. Teman-teman yang mengerjakan proyek di Timor Leste tersebut, misalnya, banyak yang alumnus proyek Aljazair. Wika memang baru saja selesai mengerjakan proyek jalan tol sepanjang 400 km di Aljazair. Statusnya memang masih subkontraktor, tapi namanya sudah terkenal di sana.
Investasi reputasi itu membuahkan hasil. Wika tahun ini mulai menjadi kontraktor utama di sana dengan proyek hampir Rp 1 triliun. Yakni, proyek apartemen di Kota Constantinople, kota kedua terbesar di Aljazair.
Wika juga sangat serius masuk ke proyek-proyek minyak dan gas yang sampai saat ini masih dikuasai kontraktor asing. Tahun lalu mulai dipercaya beberapa perusahaan minyak asing di Indonesia untuk menjadi kontraktor EPC mereka.
Tentu saja saya ke Dili tidak hanya untuk itu. Yang utama adalah untuk menghadiri mulai beroperasinya layanan telepon seluler dari BUMN di sana. PT Telkom (Persero) Tbk melalui anak perusahaannya, PT Telkom Internasional (Telin), juga memenangi tender internasional untuk menangani telekomunikasi nirkabel di Timor Leste. Selama ini, layanan telepon seluler di Timor Leste ditangani perusahaan dari Portugal dan Australia.
Mulai minggu lalu, Telkom datang! Telkom membawa nama Telkomcel (menggunakan C) untuk membedakan dari Telkomsel yang ada di Indonesia. Nama pimpinan Telkomcel di sana pun diganti oleh teman-temannya menjadi Dedi Cuherman.
Sambutan untuk Telkomcel memang mendadak dahsyat. Hari pertama saja langsung terdaftar 23.000 pelanggan. Kehadiran Telkomcel di Timor Leste memang sudah lama dinanti. Di antaranya karena tarif telepon seluler di sana selama ini kelewat mahal untuk masyarakat setempat, apalagi kalau dibanding tarif di Indonesia.
Bagi Telkomcel, hari pertama 23.000 pelanggan itu sangat istimewa. Sebab, dengan tarif yang lebih mahal dari di Indonesia (meski sudah jauh lebih murah dari operator lain di Timor Leste), jumlah pelanggan tersebut sama nilainya dengan memiliki 75.000 pelanggan di Indonesia.
Direksi PT Telkom, di bawah pimpinan Dirut Arief Yahya, memang menunjukkan kemajuan yang besar. Laba Telkom Group naik lebih dari satu triliun rupiah pada 2012. Menjadi lebih dari Rp 12 triliun. Padahal, perusahaan telekomunikasi sedang berada dalam persaingan yang amat ketat. Terutama dalam banting-membanting tarif.
PT Telkom sendiri, yang tahun-tahun lalu rugi (bisa untung karena didongkrak anak perusahaannya, Telkomsel), tahun lalu sudah tidak rugi. Anak perusahaan kini tidak lagi selalu mengejek induknya. Dan harga saham Telkom terus melejit.
Tentu, saya juga mengunjungi teman-teman Merpati dan Bank Mandiri di Dili. Merpati amat populer di sana. Apalagi Bank Mandiri. Bukan main ramainya kantor Bank Mandiri di Dili. Nasabah yang antre sangat banyak. Padahal sudah sore hari.
Kalau pagi, kata nasabah di situ, ramainya tidak keru-keruan. Gedung tiga lantai itu sangat sesak. Untung orang di sana terlalu mencintai Bank Mandiri, sehingga masih sabar menghadapi layanan seperti itu. Tentu perubahan harus segera dilakukan.
Bank Mandiri memang menjadi bank yang terbesar di Timor Leste. Memang ada dua lagi bank asing, tapi jauh tertinggal dari Bank Mandiri. Kalau dalam skala 1 sampai 10, Bank Mandiri di skala 10, sedangkan bank dari Australia di skala 6 dan bank dari Portugal di skala 5.
Tapi, Bank Mandiri tidak boleh lengah dan merasa besar sendiri. Bank-bank asing tersebut mulai membuka kantor di distrik-distrik di luar Dili. Sedangkan Bank Mandiri tetap saja baru punya kantor di Dili.
Kini Bank Mandiri sudah punya teman Telkomcel. Keperluan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) untuk membuka jaringan kantor di luar Dili akan lebih mudah. Karena itu, malam itu, dalam acara peresmian Telkomcel yang dihadiri Perdana Menteri Xanana dan sejumlah menterinya, Bank Mandiri langsung mengikat kesepakatan untuk bekerja sama di sana.
Sebagai bank yang posisinya sudah sangat besar dan begitu dicintai masyarakat di sana, tidak sulit bagi Bank Mandiri untuk membuat posisinya tetap sulit dikejar.
Itu artinya, amanat para pahlawan di TMP Seroja Dili akan bisa ditunaikan dengan baik oleh BUMN. (*)
Dahlan Iskan
Menteri BUMN
Saya baru tertawa lebar setelah Pak Xanana meneruskan kata-katanya. "Rupanya, mereka pada membawa pawang hujan ke sini. Agar proyeknya cepat selesai," katanya.
Setelah saya tertawa panjang, rupanya, beliau masih belum kehabisan stok humor. "Lain kali pawangnya harus lebih pintar ya. Yang dibuat tidak hujan cukup beberapa meter di lokasi proyek saja," katanya.
BUMN, rupanya, sangat terkenal di Timor Leste, negeri yang baru berumur 10 tahun sejak lepas dari Indonesia. Kini banyak sekali proyek infrastruktur yang tender internasionalnya dimenangi BUMN seperti PT Wijaya Karya (Persero) Tbk atau Wika dan PT PP (Persero) Tbk.
Sore itu, Kamis lalu (17/1), begitu mendarat di Dili dengan pesawat BUMN Merpati Nusantara, dan setelah diterima PM Xanana, saya langsung ke Taman Makam Pahlawan Seroja. Di situ, saya merenungkan jasa dan pengorbanan para pahlawan yang jumlahnya lebih dari 3.000 orang itu. Di situ, saya meneguhkan tekad bahwa pengorbanan mereka tidak boleh sia-sia.
Tujuan mereka dulu adalah untuk membangun jajahan Portugal tersebut agar tidak terus-menerus menderita. Tujuan itu kini bisa diamanatkan untuk diteruskan BUMN: ikut membangun Timor Leste secara ekonomi. Maka, teman-teman BUMN bertekad untuk terus aktif memenangi berbagai macam tender proyek di sana.
Tender jembatan besar menuju Bandara Komoro dimenangi Wika. Demikian juga beberapa proyek jalan. Gedung baru kementerian keuangan yang 12 lantai di dalam Kota Dili dimenangi PP. Nilai proyek tersebut mencapai Rp 250 miliar. PP juga masih mengikuti beberapa tender internasional lainnya.
Pukul enam pagi, ketika matahari belum terbit, saya sudah berada di lokasi proyek itu. Teman-teman PP yang masih sangat muda-muda berada di sana mempertaruhkan nama Indonesia. Mereka bekerja keras untuk menyelesaikan proyek dengan kondisi yang amat berbeda dari di Indonesia. Hukumnya, adatnya, aturannya, kontraknya, dan seterusnya.
Tapi, dari diskusi dengan para pimpinan proyek pagi itu, di bawah pimpinan Robin Hasiholan yang lulusan Fakultas Teknik Sipil USU Medan, saya memperoleh kesan bahwa mereka sangat mampu. Robin memang contoh sistem rekrutmen yang tepat di PP. Dia sudah "diijon" oleh PP sejak masih semester tujuh. Diberi beasiswa dan diamati sampai lulus. Setelah itu dimasukkan ke "Universitas PP" enam bulan, lalu diterjunkan ke proyek dengan supervisi seniornya. Kini dia sudah dipercaya menangani proyek penting di Dili.
Tentu banyak sekali kendala yang mereka hadapi. Namun, mereka bertekad untuk menguasai keadaan. Penguasaan itu amat penting untuk menentukan langkah di proyek-proyek berikutnya. Kemampuan menguasai keadaan itulah yang menjadi keunggulan teman-teman BUMN, sehingga hampir selalu bisa mengalahkan peserta tender dari Portugal, Spanyol, Inggris, Jepang, dan Korea. "Saingan berat kami bukan mereka. Saingan berat kami sesama BUMN," ujar Robin.
Teman-teman Wika juga mengakui itu. "Pesaing terberat kami adalah sesama anak buah Bapak," ujar teman dari Wika.
Setelah dari proyek PP, saya beruntung pagi itu bisa ikut senam Taiso bersama teman-teman Wika. Mereka memang mempunyai prosedur tetap, sebelum memulai pekerjaan, harus melakukan Taiso lebih dulu sekitar 10 menit.
Saya pun minta agar tidak menularkan kebiasaan nyogok untuk memenangi tender di sana. Di dalam negeri pun, saya sudah menegaskan agar BUMN mengakhiri kebiasaan nyogok pada masa lalu. Tidak mendapatkan proyek dari APBN, ya sudah. Cari peluang lain. Karena itu, banyak BUMN yang kini mengembangkan proyek sendiri sebagai proyek investasi. Atau proyek sesama BUMN.
Bahkan, dengan berkembangnya proyek di luar negeri, andalan hanya mengejar proyek APBN bisa dikurangi. BUMN sudah bertekad untuk tidak ikut tender proyek APBN yang nilainya di bawah Rp 25 miliar. Biarlah proyek-proyek tersebut dikerjakan kontraktor swasta yang lebih kecil. Presiden SBY menyambut baik tekad BUMN tersebut sebagai upaya untuk pemerataan, sebagaimana dikemukakan beliau dalam forum HIPMI di Bali beberapa waktu lalu.
"Di sini sama sekali tidak ada keperluan untuk nyogok, Pak," ujar Robin Hasiholan. "Juga, tidak ada pungutan apa pun di luar kontrak," tambahnya. Itu, kata dia, karena semua tender proyek besar di Timor Leste menggunakan standar tender internasional.
Wika pun, yang kini amat bangga karena menjadi BUMN karya yang terbesar (tiga BUMN karya dijadikan satu pun belum bisa mengalahkan Wika), kian menonjol kemampuannya. Teman-teman yang mengerjakan proyek di Timor Leste tersebut, misalnya, banyak yang alumnus proyek Aljazair. Wika memang baru saja selesai mengerjakan proyek jalan tol sepanjang 400 km di Aljazair. Statusnya memang masih subkontraktor, tapi namanya sudah terkenal di sana.
Investasi reputasi itu membuahkan hasil. Wika tahun ini mulai menjadi kontraktor utama di sana dengan proyek hampir Rp 1 triliun. Yakni, proyek apartemen di Kota Constantinople, kota kedua terbesar di Aljazair.
Wika juga sangat serius masuk ke proyek-proyek minyak dan gas yang sampai saat ini masih dikuasai kontraktor asing. Tahun lalu mulai dipercaya beberapa perusahaan minyak asing di Indonesia untuk menjadi kontraktor EPC mereka.
Tentu saja saya ke Dili tidak hanya untuk itu. Yang utama adalah untuk menghadiri mulai beroperasinya layanan telepon seluler dari BUMN di sana. PT Telkom (Persero) Tbk melalui anak perusahaannya, PT Telkom Internasional (Telin), juga memenangi tender internasional untuk menangani telekomunikasi nirkabel di Timor Leste. Selama ini, layanan telepon seluler di Timor Leste ditangani perusahaan dari Portugal dan Australia.
Mulai minggu lalu, Telkom datang! Telkom membawa nama Telkomcel (menggunakan C) untuk membedakan dari Telkomsel yang ada di Indonesia. Nama pimpinan Telkomcel di sana pun diganti oleh teman-temannya menjadi Dedi Cuherman.
Sambutan untuk Telkomcel memang mendadak dahsyat. Hari pertama saja langsung terdaftar 23.000 pelanggan. Kehadiran Telkomcel di Timor Leste memang sudah lama dinanti. Di antaranya karena tarif telepon seluler di sana selama ini kelewat mahal untuk masyarakat setempat, apalagi kalau dibanding tarif di Indonesia.
Bagi Telkomcel, hari pertama 23.000 pelanggan itu sangat istimewa. Sebab, dengan tarif yang lebih mahal dari di Indonesia (meski sudah jauh lebih murah dari operator lain di Timor Leste), jumlah pelanggan tersebut sama nilainya dengan memiliki 75.000 pelanggan di Indonesia.
Direksi PT Telkom, di bawah pimpinan Dirut Arief Yahya, memang menunjukkan kemajuan yang besar. Laba Telkom Group naik lebih dari satu triliun rupiah pada 2012. Menjadi lebih dari Rp 12 triliun. Padahal, perusahaan telekomunikasi sedang berada dalam persaingan yang amat ketat. Terutama dalam banting-membanting tarif.
PT Telkom sendiri, yang tahun-tahun lalu rugi (bisa untung karena didongkrak anak perusahaannya, Telkomsel), tahun lalu sudah tidak rugi. Anak perusahaan kini tidak lagi selalu mengejek induknya. Dan harga saham Telkom terus melejit.
Tentu, saya juga mengunjungi teman-teman Merpati dan Bank Mandiri di Dili. Merpati amat populer di sana. Apalagi Bank Mandiri. Bukan main ramainya kantor Bank Mandiri di Dili. Nasabah yang antre sangat banyak. Padahal sudah sore hari.
Kalau pagi, kata nasabah di situ, ramainya tidak keru-keruan. Gedung tiga lantai itu sangat sesak. Untung orang di sana terlalu mencintai Bank Mandiri, sehingga masih sabar menghadapi layanan seperti itu. Tentu perubahan harus segera dilakukan.
Bank Mandiri memang menjadi bank yang terbesar di Timor Leste. Memang ada dua lagi bank asing, tapi jauh tertinggal dari Bank Mandiri. Kalau dalam skala 1 sampai 10, Bank Mandiri di skala 10, sedangkan bank dari Australia di skala 6 dan bank dari Portugal di skala 5.
Tapi, Bank Mandiri tidak boleh lengah dan merasa besar sendiri. Bank-bank asing tersebut mulai membuka kantor di distrik-distrik di luar Dili. Sedangkan Bank Mandiri tetap saja baru punya kantor di Dili.
Kini Bank Mandiri sudah punya teman Telkomcel. Keperluan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) untuk membuka jaringan kantor di luar Dili akan lebih mudah. Karena itu, malam itu, dalam acara peresmian Telkomcel yang dihadiri Perdana Menteri Xanana dan sejumlah menterinya, Bank Mandiri langsung mengikat kesepakatan untuk bekerja sama di sana.
Sebagai bank yang posisinya sudah sangat besar dan begitu dicintai masyarakat di sana, tidak sulit bagi Bank Mandiri untuk membuat posisinya tetap sulit dikejar.
Itu artinya, amanat para pahlawan di TMP Seroja Dili akan bisa ditunaikan dengan baik oleh BUMN. (*)
Dahlan Iskan
Menteri BUMN
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kemauan 24 Karat Bersawah Baru di Ketapang
Redaktur : Tim Redaksi