Tak Izin Terbang, Dokter Mata yang Mencintai Dunia Aero

Minggu, 30 September 2012 – 09:17 WIB
Marsekal Purn Norman T Lubis. Foto: Bayu/Radar Bandung
SANGAT mencintai dunia penerbangan. Mungkin itulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan sosok Dr. Norman T. Lubis, Dokter Spesialis Mata yang juga merupakan seorang pilot. Bahkan, hembusan nafas terakhir pun dihirup beliau di dalam pesawat terbang. Norman menjadi korban jatuhnya pesawat Bravo As-202 pada gelaran Bandung Air Show(BAS) 2012. Selain dirinya, turut meninggal pula Kolonel (Purn) Tony Hartono yang merupakan copilot Norman.
-------------
BAYU ANGGORO/ RADAR BANDUNG
------------
Bakat Norman dalam mengemudikan pesawat diperolehnya ketika ia mulai menjadi anggota TNI Angkatan Udara pada tahun 1965. Meskipun bukan lulusan Akademi Angkatan Bersenjata Republik Inonesia ( kini AKMIL), pria kelahiran Banda Aceh ini mengakhiri karir kemiliterannya dengan cemerlang.

Terakhir Norman berpangkat Marsekal Pertama TNI Angkatan Udara, sebelum akhirnya pensiun pada tahun 1998. Seusai pensiun, Norman tetap mengabdi bagi negara dengan menjadi dokter spesialis mata di suatu rumah sakit mata yang dimilikinya.

Pria kelahiran 22 Oktober 1943 ini menamatkan pendidikan kedokterannya di Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran pada tahun 1973. keahlian di bidang kedokteran itulah yang mengantarkan dirinya mengisi berbagai jabatan kedokteran di Rumah Sakit TNI AU.

Pada tahun 1974 Norman menjabat Kasibin Diskes Lanud Husein Sastranegara. Setelah tiga tahun menjabat di Lanud Husein Sastranegara, pada tahun 1973 Norman menjabat sebagai Kasi Bedah Umum Klinik Bedah RUSPAU Dr Moh Salamun.

Berkat keahliannya sebagai dokter spesialis mata, pada bulan Mei 1982 Norman ditunjuk menjadi Kepala Klinik Mata Ruspau Dr Moh Salamun. Selang tiga tahun kemudian, Norman ditunjuk menjadi Kabagmed Sekrumkit Dr Moh Salamun.

Pada tahun 1989, ayah tiga orang putri ini ditunjuk menjadi Kadukkes Rumkit Dr Moh Salamun Lanud Husein Sastranegara. Pada akhir karir militernya, Norman menjabat sebagai Kepala Dinas Kesehatan TNI Angkatan Udara, sebelum akhirnya Norman pensiun pada tahun 1998.

Dunia militer memang sudah mendarah daging di diri Norman. Ayah Norman merupakan seorang perwira menengah TNI berpangkat Kolonel. Sehingga dedikasi militer Norman memang sudah tidak diragukan lagi.

Hal ini terbukti dengan banyak diraihnya berbagai tanda jasa militer. Satya lancana Penegak, Satyalancana Kesetiaan 8 tahun, Satyalancana Seroja hingga Satyalancanan kesetiaan 18 tahun pernah diraihnya.

Selain aktif di kemiliteran, Norman pun aktif mengajar di kampus. pada tahun 1988 Norman tercatat sebagai Lektor Luar Bias Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Padjajaran. Selain itu, ia pun menjadi Lektor Kepala Luar Biasa Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Maranatha sejak tahun 1990.

Di masa-masa pensiunnya, perwira TNI AU yang pernah beroperasi pada penumpasan Gerakan 30 September 1965 ini aktif di bidang kedokteran yang memang sudah lama ditekuninya. Norman tercatat sebagai pemilik salah satu rumah sakit mata di Kota Bandung.

Pada tanggal 22 Juli 1972 Norman melepas masa lajangnya dengan menikahi gadis Palembang yang menemaninya hingga akhir hayat. Buah pernikahannya dengan Tien N. Saddak, Norman dikaruniai tiga orang putri.

Putri pertamanya bernama Nasha Yohara Lubis yang lahir pada 1 Agustus 1974. Selang enam tahun kemudian menyusul kehadiran putri keduanya yang diberi nama Nanda Anisa Lubis.

Sedangkan putri bungsunya lahir pada 22 Juli 1985 yang diberi nama Nindya Zanaria Lubis. Meskipun tidak ada putri Norman yang meneruskan karir kemiliterannya, namun beliau patut berbangga karena putri bungsunya mengenyam pendidikan yang sama dengannya di bidang kedokteran.

Di mata keluarga, kerabat dan tetangga, Norman merupakan sosok yang bersahaja dan menarik. Seperti diceritakan Ning, kakak ipar Norman. Menurutnya, Norman merupakan sosok yang tegas namun baik dan ramah.

“Namun memang ketika akan melakukan atraksi ini, tidak bilang ke keluarga. Karena memang keluarga kawatir. Namun ternyata kegemaran bapak(Norman) tak bisa dibendung lagi terhadap kecintaannya ke dunia dirgantara dan tetep terbang,” ujar Ning yang ditemui di kediaman keluarga Dr Norman.

Ning menambahkan keluarga tabah menerima kepergian Norman, karena keluarga sudah mengetahui resiko menjadi seorang pilot, termasuk istrinya. “memang tidak ada firasat apapun ketika bapak pergi, karena kami memang sudah biasa melihat bapak terbang karena itu memang kegemarannya. Bahkan bapak punya pesawat pribadi, tapi kalau yang dipakai atraksi tadi memang punya FASI,” tuturnya.

Atas kejadian tersebut ia mengaku kehilangan keluarganya yang diakuinya sangat pintar dan fleksibel tersebut.

Hal serupa pun dilontarkan Pramutady, Ketua RW di kediaman Norman. Dikatakan Pramutady, meskipun dirinya jarang berjumpa Norman karena kesibukan, ia selalu ingat akan sosok Norman yang tegas namun bersahabat.

Dunia aero memang telah membesarkan seorang Norman T. Lubis. Rasa cinta dan kedekatannya dengan dunia pesawat pun akhirnya harus merenggut nyawa mantan perwira tinggi TNI yang juga seorangi pilot, dan dokter berprestasi. (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Artalyta Bangun ‘Istana’ di Minahasa

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler