JAKARTA - Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane mengatakan pembakaran Mapolres OKU di Sumatera Selatan, Kamis (7/3), harus dijadikan introspeksi bagi anggota Polri. Selain itu, korp Bhayangkara itu itu juga harus menghentikan aksi-aksi koboi yang dilakukan anggotanya.
IPW juga mendesak Mabes Polri untuk mencopot Kapolres OKU dan Kapolda Sumsel agar ada efek pembelajaran yang bisa membuat para pejabat Polri di daerah lebih perhatian pada kasus-kasus sensitif di wilayah tugasnya.
"IPW mencatat ada dua pemicu kasus OKU. Pertama, anggota Polri terlalu ringan tangan melepaskan tembakan yang mematikan, meski yang dihadapi hanya persoalan sepele. Tahun 2012 ada 37 kasus salah tembak dan main tembak oleh polisi. Korbannya 49 orang, 17 tewas dan 32 luka," kata Nete S Pane, dalam rilisnya, Jumat (8/3).
Sementara di tahun 2013 ini aksi koboi polisi kecenderungannya makin saja marak. "Hingga 7 Maret ada 4 kasus salah tembak yang belum ditangani dengan maksimal," imbuhnya.
Kedua, lanjutnya, Polri tidak bertindak cepat dan transparan dalam menuntaskan kasus penembakan terhadap anggota TNI yang melakukan pelanggaran lalu lintas di OKU.
Hal ini membuat keluarga dan teman-teman korban marah, kemudian menyerbu dan membakar Polres OKU. "Padahal dalam kasus Rasyid Rajasa yang menabruk hingga menewaskan 2 orang, polisi bisa bertindak cepat. Dalam 11 hari kasusnya sudah dilimpahkan ke kejaksaan," tegas Neta.
Dari kasus ini terlihat para pejabat Polri di Sumatera Selatan tidak peka terhadap kasus sensitif yang bisa memicu konflik. Jika sikap, prilaku dan kinerja seperti ini terus dibiarkan Mabes Polri dipastikan konflik antara polisi dengan TNI maupun dengan masyarakat akan terus terjadi.
"Jika konflik-konflik tersebut terjadi jangan salahkan masyarakat maupun anggota TNI. Untuk itu Polri harus mau introspeksi dan berbenah diri serta memecat anggotanya yang brengsek," tegas Neta S Pane. (fas/jpnn)
IPW juga mendesak Mabes Polri untuk mencopot Kapolres OKU dan Kapolda Sumsel agar ada efek pembelajaran yang bisa membuat para pejabat Polri di daerah lebih perhatian pada kasus-kasus sensitif di wilayah tugasnya.
"IPW mencatat ada dua pemicu kasus OKU. Pertama, anggota Polri terlalu ringan tangan melepaskan tembakan yang mematikan, meski yang dihadapi hanya persoalan sepele. Tahun 2012 ada 37 kasus salah tembak dan main tembak oleh polisi. Korbannya 49 orang, 17 tewas dan 32 luka," kata Nete S Pane, dalam rilisnya, Jumat (8/3).
Sementara di tahun 2013 ini aksi koboi polisi kecenderungannya makin saja marak. "Hingga 7 Maret ada 4 kasus salah tembak yang belum ditangani dengan maksimal," imbuhnya.
Kedua, lanjutnya, Polri tidak bertindak cepat dan transparan dalam menuntaskan kasus penembakan terhadap anggota TNI yang melakukan pelanggaran lalu lintas di OKU.
Hal ini membuat keluarga dan teman-teman korban marah, kemudian menyerbu dan membakar Polres OKU. "Padahal dalam kasus Rasyid Rajasa yang menabruk hingga menewaskan 2 orang, polisi bisa bertindak cepat. Dalam 11 hari kasusnya sudah dilimpahkan ke kejaksaan," tegas Neta.
Dari kasus ini terlihat para pejabat Polri di Sumatera Selatan tidak peka terhadap kasus sensitif yang bisa memicu konflik. Jika sikap, prilaku dan kinerja seperti ini terus dibiarkan Mabes Polri dipastikan konflik antara polisi dengan TNI maupun dengan masyarakat akan terus terjadi.
"Jika konflik-konflik tersebut terjadi jangan salahkan masyarakat maupun anggota TNI. Untuk itu Polri harus mau introspeksi dan berbenah diri serta memecat anggotanya yang brengsek," tegas Neta S Pane. (fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Konflik TNI Polri Karena Faktor Kesenjangan
Redaktur : Tim Redaksi