Taliban Kuasai Afghanistan, Penyelundup Manusia dan Aparat Busuk Ambil Keuntungan

Senin, 14 Februari 2022 – 16:32 WIB
Seorang anggota Taliban berjaga saat orang-orang berjalan di pintu masuk Bandara Internasional Hamid Karzai di Kabul, Afghanistan, (16/8/2021). Foto: ANTARA/REUTERS/Stringer/pri.

jpnn.com, KABUL - Sebagai seorang jaksa perempuan di Afghanistan, Shafiqa Sae tahu dia harus pergi menyelamatkan diri ketika Taliban merebut kekuasaan. Yang tidak dia duga adalah ongkosnya yang sangat mahal.

Para penyelundup mengeksploitasi keputusasaan warga Afghanistan untuk meninggalkan negara itu. Mereka menaikkan tarif setelah permintaan atas jasa mereka meningkat dan perbatasan semakin sulit untuk dilalui.

BACA JUGA: Taliban Bikin Afghanistan Melarat, Rakyat Terpaksa Jual Anak

Orang-orang Afghanistan, yang lari ke Pakistan sejak Taliban menduduki ibu kota Kabul pada 15 Agustus tahun lalu, mengatakan oknum aparat keamanan Pakistan juga memeras uang mereka dan sejumlah tuan tanah menggandakan tarif sewa.

"Setiap orang mengambil keuntungan dari kondisi kami yang buruk untuk mendapatkan uang," kata Sae kepada Thomson Reuters Foundation dari ibu kota Pakistan, Islamabad.

BACA JUGA: Perempuan Afghanistan Menanti Jawaban: Taliban Kelompok Kesatria atau Gerombolan Pria Gombal?

Perebutan kekuasaan oleh Taliban telah memicu eksodus warga Afghanistan. Namun penutupan perbatasan oleh Pakistan, Iran, dan negara-negara tetangga lainnya, serta sulitnya mendapatkan paspor atau visa, membuat orang untuk terpaksa membayar penyelundup.

Orang-orang itu menempuh perjalanan penuh risiko dan melelahkan dengan melewati gurun dan pegunungan. Beberapa dari mereka menggali terowongan di bawah pagar perbatasan, sedangkan yang lainnya menggunakan identitas palsu.

BACA JUGA: Rakyat Afghanistan Kelaparan, Taliban Malah Biarkan Dana Bantuan Rp 1,9 T Mengendap di Bank

Menurut Mixed Migration Centre (MMC), tarif penyelundupan di Afghanistan naik selama pandemi COVID-19 karena pembatasan perjalanan. Namun, perjuangan untuk keluar dari negara itu sejak Agustus lalu telah membuat tarif itu melonjak.

Sae, 26 tahun, melarikan diri dari Kabul bersama ibu dan tujuh saudara kandungnya pada 25 Agustus setelah seorang donatur asing membayar 5.000 dolar AS (sekitar Rp71,7 juta) kepada penyelundup.

Keluarga Sae berasal dari etnis Hazara, kelompok minoritas Syiah yang menjadi sasaran Taliban saat milisi itu memerintah pada 1996-2001.

Kembalinya kekuasaan Taliban membuat Sae khawatir dengan keselamatannya. Dia tak hanya pernah membantu menjebloskan anggota Taliban ke penjara, tapi juga aktif menentang milisi itu dan vokal menyuarakan hak-hak perempuan.

Sebelum meninggalkan Kabul, ibu Sae dipasangi infus palsu. Pakistan masih mengizinkan warga Afghanistan masuk tanpa visa dengan alasan kesehatan darurat dan keluarganya mengharapkan belas kasihan dari penjaga perbatasan.

Tipuan itu berhasil, dibantu sejumlah uang yang diberikan kepada orang-orang yang tepat.

Setelah melewati perbatasan, jumlah suap yang mesti dibayar bertambah. Empat belas pos pemeriksaan kemudian mereka lalui dengan menghabiskan 300 dolar.

Di Islamabad, Sae mengatakan pemilik rumah kontrakan mengenakan biaya sewa tiga kali lipat dari tarif setempat. Mereka juga harus menambah 700 dolar untuk menyuap aparat keamanan --karena tinggal di negara lain tanpa visa adalah pelanggaran hukum.

Para penyelundup manusia kini mengenakan tarif sekitar 140-193 dolar pada warga Afghanistan yang ingin ke Pakistan melalui kota perbatasan Spin Boldak, naik dari 90 dolar pada tahun lalu, menurut MMC yang berbasis di Jenewa.

Perjalanan ke Iran lewat kota perbatasan Zaranj, tarifnya sekitar 360-400 dolar, naik dari 250 dolar pada tahun sebelumnya, kata MMC.

Besarnya tarif tak hanya bergantung pada lamanya waktu tempuh, tingkat kesulitan rute, kemampuan finansial, dan latar belakang orang-orang yang melakukan perjalanan, tapi juga apakah mereka punya kontak di tempat tujuan dan jumlah orang yang meminta sogokan.

Sejumlah orang Afghanistan yang diwawancarai Thomson Reuters Foundation menyebut angka yang lebih besar daripada data MMC.

Seorang perempuan mengatakan dia membayar 1.000 dolar untuk pergi ke Islamabad dengan kedua anaknya.

Abdullah Mohammadi, seorang pakar di MMC, mengatakan para penyelundup biasanya adalah bagian dari jaringan kejahatan terorganisasi.

Namun di tengah krisis ekonomi dan kekeringan yang melanda Afghanistan, para petani yang memerlukan uang untuk menafkahi keluarga mereka juga ikut terlibat.

"Mereka tahu yang mereka lakukan itu salah, tapi mereka bilang tak punya pilihan lain," kata Mohammadi.

"Jaringan kriminal diuntungkan karena mereka bisa memanfaatkan orang-orang ini untuk memperluas operasi mereka."

Taliban juga disebut mengambil keuntungan. BBC melaporkan bahwa para penyelundup yang terang-terangan membawa warga Afghanistan dari Zaranj ke Iran membayar anggota Taliban 10 dolar per mobil pikap.

Dewan Pengungsi Norwegia melaporkan pada November bahwa hampir 5.000 pengungsi Afghanistan melarikan diri ke Iran setiap hari, meski banyak dari mereka yang dideportasi.

Sebagian besar pengungsi melewati Pakistan, namun Mohammadi mengatakan penyelundup kini menggunakan rute yang lebih singkat tapi lebih berbahaya. Pengungsi harus mendaki atau melewati terowongan di bawah pagar perbatasan Iran.

Meski peluang tertangkap lebih tinggi, rute tersebut sering ditempuh oleh etnis Hazara, yang lebih berisiko jika melewati rute-rute tradisional via Pakistan.

Penyelundup mengenakan tarif lebih tinggi bagi etnis Hazara karena risiko serangan dari Taliban, Jundallah, dan milisi lain terkait kesukuan mereka, kata Mohammadi.

Jurnalis bernama Ismail Lali, 28 tahun, mengatakan penyelundup menghasilkan banyak uang dari krisis ini.

"Orang-orang putus asa ingin pergi sehingga penyelundup mengenakan tarif sesuka hati," kata Lali, yang juga berasal dari etnis Hazara.

Untuk bisa diselundupkan ke Kota Quetta, Pakistan, pada Agustus lalu, dia membayar 700 dolar, termasuk suap, namun kata teman-temannya tarif itu sekarang naik menjadi 800 dolar.

"Ini bisnis yang menguntungkan buat penyelundup, juga bagi polisi Pakistan," kata dia, menambahkan.

Sejak tiba di Quetta, dia mengatakan telah membayar suap 200 dolar ke oknum polisi setelah berkali-kali dihentikan dan diancam dideportasi.

Sekarang dia tidak berani ke luar rumah.

Seorang inspektur polisi di Quetta mengatakan petugas mendapat perintah yang tegas untuk tidak melecehkan warga Afghanistan.

Pasukan keamanan yang bertugas di pos-pos pemeriksaan tidak menjawab panggilan telepon.

Para ahli migrasi memperkirakan sejumlah warga Afghanistan di Pakistan dan Iran akan berangkat ke Turki dan Eropa pada musim semi ini.

Pada Januari, badan pengungsi PBB UNHCR menyerukan bantuan senilai 623 juta dolar untuk membantu warga Afghanistan yang mengungsi dan masyarakat yang menampung mereka di negara-negara tetangga.

Badan itu juga mendesak negara-negara lain untuk tetap membuka perbatasannya dan menunda deportasi.

UNHCR mengatakan Iran telah memulangkan lebih dari 1.100 warga Afghanistan per hari selama Januari.

Jumlah yang lebih kecil telah dideportasi dari Pakistan. Mereka termasuk ibu Sae dan tiga saudara perempuannya, yang dipulangkan pada Desember.

Taliban telah mendatangi keluarga itu di Kabul untuk menanyakan keberadaan sang jaksa.

Sae jarang meninggalkan apartemennya di Islamabad karena takut dideportasi.

"Taliban atau tawanan yang mereka lepaskan akan membunuh saya," kata dia. (ant/dil/jpnn)

 

Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler