JAKARTA - Sosiolog dari Universitas Indonesia (UI), Tamrin Amal Tomagola sepakat konflik TNI-Polri di OKU, Sumatera Selatan, harus dilihat sebagai masalah hukum yang harus dijadikan pelajaran baik bagi Polri maupun TNI.
Selain itu Polri juga seharusnya tidak menyimpan lama-lama kasus yang melibatkan institusi yang juga punya kekuatan seperti TNI.
"Dalam kasus OKU saya sepakat memang lebih pada masalah hukum. Di sini kedua pihak harus belajar, terutama Polri, jangan disimpan lama kasus seperti ini, apalagi yang melibatkan institusi yang juga punya kekuatan. Utamakan keadilan bagi korban," tegas Tamrin saat bicara di sebuah diskusi di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (9/3).
Kemudian TNI Angkatan Darat (AD) juga harus harus menemukan pola penyelesaian nasional terkait persoalan antar institusi. Sebab, penanganan konflik TNI-Polri beda dengan pertikaian antara warga yang bersifat lokal.
"Jadi sudah betul TNI AD mengirim tim investigasinya ke OKU. Tapai Mekopolhukam jangan banyak komentar dulu terkait kasus ini, lebih baik tunggu hasil investigasi supaya jelas," sarannya.
Bagaimana pun, kata dia, konflik ini muaranya juga merugikan rakyat. Karena seragam hingga fasilitas Polri dan TNI dibeli dengan uang rakyat.
"Jadi ini beban bagi rakyat, belum lagi oknum polisi yang mengejar rakyat di jalan jalan. Karena baik Polri maupun TNI sarat dengan simbol-simbol kekerasan. Seragam saja itu sudah simbol kekerasan," jelasnya.
Karena itupula, penggunaan senjata api bagi polantas memang harus dipertimbangkan. Polri juga bisa memperkuat peran polisi wanita (Polwan) dan Korps Waninta Angkatan Darat (Kowad) di institusi TNI. Proporsional perempuan dalam kedua institusi ini harus ditingkatkan.
"Jadi saya pikir Polantas jangan dikasih pistol, kasih pentungan saja. Bagus lagi Polantas itu Polwan saja. Kita bisa lihat orang-orang demo kalau ketemu Polwan tunduk. Makanya kuota polwan harus ditambah sesuai proporsional penduduk perempuan. Kowad juga masih sedikit," jelasnya.
Ditambahkan dia, persoalan ini juga tidak terlepas dari sulitnya perempuan mendapat tempat di institusi Polri dan TNI. Bahkan untuk mendapatkan pangkat bintang saja butuh banyak rintangan bagi Polwan dan Kowat.
"Setelah saya teliti kenapa perempuan sulit dapat bintang, ternyata memang banyak halangan institusional yang menghadang perempuan mendapat pangkat bintang, akhirnya jadi bintang film, bintang sinetron," guraunya.
Tamrin mendorong agar kuota Polwan dan Kowad ditambah karena persan mereka sangat penting dalam membentuk citra Polri maupun TNI.(Fat/jpnn)
Selain itu Polri juga seharusnya tidak menyimpan lama-lama kasus yang melibatkan institusi yang juga punya kekuatan seperti TNI.
"Dalam kasus OKU saya sepakat memang lebih pada masalah hukum. Di sini kedua pihak harus belajar, terutama Polri, jangan disimpan lama kasus seperti ini, apalagi yang melibatkan institusi yang juga punya kekuatan. Utamakan keadilan bagi korban," tegas Tamrin saat bicara di sebuah diskusi di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (9/3).
Kemudian TNI Angkatan Darat (AD) juga harus harus menemukan pola penyelesaian nasional terkait persoalan antar institusi. Sebab, penanganan konflik TNI-Polri beda dengan pertikaian antara warga yang bersifat lokal.
"Jadi sudah betul TNI AD mengirim tim investigasinya ke OKU. Tapai Mekopolhukam jangan banyak komentar dulu terkait kasus ini, lebih baik tunggu hasil investigasi supaya jelas," sarannya.
Bagaimana pun, kata dia, konflik ini muaranya juga merugikan rakyat. Karena seragam hingga fasilitas Polri dan TNI dibeli dengan uang rakyat.
"Jadi ini beban bagi rakyat, belum lagi oknum polisi yang mengejar rakyat di jalan jalan. Karena baik Polri maupun TNI sarat dengan simbol-simbol kekerasan. Seragam saja itu sudah simbol kekerasan," jelasnya.
Karena itupula, penggunaan senjata api bagi polantas memang harus dipertimbangkan. Polri juga bisa memperkuat peran polisi wanita (Polwan) dan Korps Waninta Angkatan Darat (Kowad) di institusi TNI. Proporsional perempuan dalam kedua institusi ini harus ditingkatkan.
"Jadi saya pikir Polantas jangan dikasih pistol, kasih pentungan saja. Bagus lagi Polantas itu Polwan saja. Kita bisa lihat orang-orang demo kalau ketemu Polwan tunduk. Makanya kuota polwan harus ditambah sesuai proporsional penduduk perempuan. Kowad juga masih sedikit," jelasnya.
Ditambahkan dia, persoalan ini juga tidak terlepas dari sulitnya perempuan mendapat tempat di institusi Polri dan TNI. Bahkan untuk mendapatkan pangkat bintang saja butuh banyak rintangan bagi Polwan dan Kowat.
"Setelah saya teliti kenapa perempuan sulit dapat bintang, ternyata memang banyak halangan institusional yang menghadang perempuan mendapat pangkat bintang, akhirnya jadi bintang film, bintang sinetron," guraunya.
Tamrin mendorong agar kuota Polwan dan Kowad ditambah karena persan mereka sangat penting dalam membentuk citra Polri maupun TNI.(Fat/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... TNI-Polri Perlu Diajari Kelembutan
Redaktur : Tim Redaksi