Tampilkan Kucing Berbahasa Manusia yang Berkuasa

Senin, 21 Oktober 2013 – 07:42 WIB

jpnn.com - HUBUNGAN kerja sama diplomatik Indonesia-Jepang yang sudah berlangsung 40 tahun berhasil memadukan seni budaya kedua negara. Seperti yang ditunjukkan Hiroshi Koike, koreografer yang juga sutradara masyhur Jepang, saat tampil di Teater Salihara Jakarta, Sabtu (19/10).

 

-----------
HENNY GALLA  SALSABYL AD'N, Jakarta
------------
Pada suatu siang di pegunungan Jepang dimulailah sebuah rangkaian penderitaan. Anjing-anjing pemburu tiba-tiba melolong keras. Di tengah hutan yang menyeramkan itu, tiga pemburu melihat anjing-anjing tersebut mengeluarkan busa putih dari mulut, lalu mati. Ketiga pemburu yang semula ingin bersenang-senang akhirnya menyerah. Mereka memutuskan untuk pulang ke kota.

BACA JUGA: Cara Jepang Membuat Warganya Malas Beli Mobil

Namun, di tengah perjalanan mereka kehilangan arah. Dalam kebingungan itu, tiba-tiba angin berembus kencang. Para pemburu pun harus berjuang melawan embusan udara yang sangat menyiksa. Mereka saling berpelukan, berpegangan tangan erat, menahan dorongan angin yang seperti akan mengoyak baju-baju dan memisahkan mereka.

BACA JUGA: Abra Putri Paling Cerdas, Angger Calon Menantu yang Supel

Kemudian salah satu dari mereka melihat sebuah bangunan yang terbuat dari batu bata, dengan papan bertuliskan Restaurant Wildcat House (Restoran Rumah Kucing Liar). Mereka yang tengah dilanda kelaparan itu tergoda untuk masuk rumah makan yang menawarkan segala kemewahan dan kelezatan itu.

"Daging! Daging! Enak! Enak! Di mana" Di mana?" ujar ketiga pemburu itu bergantian dengan semringah.

BACA JUGA: Gelombang Pertama Haji Indonesia Besok Pulang ke Tanah Air

Terdengarlah suara kucing berbahasa manusia. "Selamat datang. Kami sangat senang menyambut Anda yang gemuk dan muda. Ini adalah restoran dengan banyak perintah. Kami harap Anda mengerti," ujar si kucing.

Kisah Restoran dengan Banyak Perintah (The Restaurant of Many Orders), yang diambil dari novel masterpiece karya Kenji Miyazawa, ini diperankan seniman teater asal Jepang: Sae Namba, 33; Tetsuro Koyano, 42; dan Ayako Araki, 31. Mereka memainkannya dengan atraktif pada Sabtu (19/10) malam di Teater Salihara, Jakarta.

Hiroshi Koike adalah orang di balik pentas teater bergenre tragikomedi itu. Koike yang merupakan penulis, sutradara, sekaligus koreografer ternama Jepang menafsirkan novel yang ditulis di akhir abad ke-19 dengan cerdas.

"Melalui teater ini kami mengajukan pertanyaan tentang apa itu manusia, dan bagaimana seharusnya kita menjalin hubungan dengan alam," ungkapnya seusai pementasan.

Penafsiran Koike memilih untuk menggeser fokus cerita kepada seekor kucing liar raksasa yang menjadi penguasa restoran. Hal itu agak berbeda dengan cerita asli novel yang berfokus pada dua pemburu yang tersesat di rimba karena badai, kemudian menemukan sebuah restoran di tengah hutan.

Menurut Koike, penafsirannya ini menggambarkan bahwa pada suatu masa ada saat binatang lebih berkuasa ketimbang manusia. Dan, manusia akan menjadi bulan-bulanan binatang.

Dalam pementasan sekitar 120 menit itu ditunjukkan bahwa restoran yang menjanjikan kemewahan dan kenikmatan itu justru yang memangsa manusia. Manusia digambarkan terlena pada sisi-sisi duniawi, menenggelamkan mereka pada sebuah egoisme, pertengkaran, dan akhirnya membawa pada pembunuhan satu sama lain.

Koike mengaku, interpretasi novel Kenji Miyazawa tersebut diilhami oleh kritik sosial terhadap tragedi nuklir Fukushima. Masih lekat di benak masyarakat Jepang tentang ledakan reaktor nuklir Fukushima pada Maret 2011. Keadaan di Jepang tak juga membaik. Bahkan, mereka hidup di bawah ancaman skala radiasi pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Fukushima yang bergerak ke level 7.

Koike mengatakan, penafsiran yang dia lakukan tiga bulan pasca terjadinya gempa bumi di Jepang bagian timur itu membuat dia jadi paham maksud novel tersebut. Bahwa ada hubungan yang sangat dalam antara manusia dan alamnya.

"Saat itu alam mengambil keindahan Jepang hanya dalam sekejap dan menelan banyak warga. Itu (bencana) adalah buah dari pengetahuan manusia pula," jelas pria 57 tahun itu.

Sembari mengaitkan jemarinya di atas meja kayu persegi, Koike mengerutkan dahi. Dia meluncurkan kritiknya terhadap bangsa Barat yang dinilai telah melakukan penjajahan di zaman yang semakin modern ini. Hal itu digambarkan dalam pertunjukan teaternya, yakni ada tiga alas makan berwarna merah dengan perlengkapan ala perjamuan makan malam, seperti steak daging lezat di piring putih yang lebar, pisau, dan garpu yang mengilau, yang selama ini dikenal sebagai budaya Barat.

Untuk bagian ini, Koike tak mengimprovisasi novel yang menjadi buku ajar bagi anak-anak SD di Jepang tersebut. Kenji Miyazawa yang dilahirkan di Hanamaki, Iwate, Jepang, pada 27 Agustus 1896, menulis bahwa Restaurant Wildcat House itu dalam western style atau bergaya Barat.

"Saya tak tahu persis apa maksud Kenji Miyazawa menggunakan western style. Namun, ada hal yang sama dengan penafsiran saya, yakni semua ada batasnya," ujar pria yang rambut dan janggutnya telah ditumbuhi uban itu.

Batas itu, disebut Koike, merupakan dasar dari kehidupan manusia. Artinya, dalam satu hal terkadang manusia tak mampu membuat segala sesuatunya terjadi atau tercipta.

"Tentu sangat sulit bagi kita untuk menciptakan semuanya. Karena itu, kita lalu mengarah kepada western dan menggunakan ide-ide mereka. Western people have occupied," ujarnya.

Karena itu, pria yang dilahirkan di Hitachi, Prefektur Ibaraki, Jepang, ini merealisasikan ide-ide novel itu melalui teater. Dengan teater dia menginginkan negara-negara yang dia kunjungi dapat menangkap maksud jeritan korban-korban nuklir di Jepang tersebut.

"Tidak ada yang dapat kita lakukan untuk mencegah gempa bumi besar. Namun, dari kecelakaan nuklir Fukushima, kami warga Jepang yang telah hidup sangat lama dengan alam, rasanya gagal mengapresisasi besarnya tenaga nuklir," paparnya.

"Efek bencana itu membuat kami mempertimbangkan lagi bagaimana kami dapat bertahan hidup di pulau-pulau di Jepang," jelasnya.

Yang juga menarik, dalam pementasannya di Teater Salihara itu Koike meramu beberapa dialognya dengan bahasa Inggris, Jepang, dan Indonesia. Selain itu, teater yang dibentuk Koike setelah 30 tahun berkarya bersama Pappa Tarahumara ini juga memadukan tari kontemporer, tari Bali, aneka suara, dan berbagai aksi panggung.

Mengapa tari Bali menjadi pilihan? Itu tak lain karena salah satu penampil, Tetsuro Koyano, merupakan orang Jepang yang telah lama tinggal di Bali. Malah Koyano ikut memberi sentuhan manis gerakan-gerakan tari leak pada salah satu cerita.

Setelah pentas di Jakarta dua hari, 19-20 Oktober, Koike membawa Hiroshi Koike Bridge Project ke beberapa negara lain, seperti Malaysia dan New Delhi India. Sebelumnya Koike tampil di Manila, Filipina. Proyek ini pun mempertegas misi Koike yang ingin menjembatani ruang, waktu, dan budaya, sebagai bentuk kesenian.

Selain itu, pementasan ini memberi catatan tersendiri bagi Koike yang telah menggelar pertunjukan di 35 negara bersama Pappa Tarahumara, performing art company yang didirikan pada 1982 itu.

"Saya rasa, produksi ini sangat mudah dibawa ke negara lain dan Jepang sendiri. Karena itu, kami ingin mengomunikasikan negara kami, setelah musibah March Eleven (sebutan bagi bencana nuklir Fukushima, Red), itu," tutupnya. (*/c2/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dibalut Baja Tebal Sekuat Tank, Ber-AC dan Kulkas Senyaman Sedan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler