jpnn.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi), Sofyano Zakaria meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak perlu menanggapi surat Ketua Umum KADIN. Hal itu disampaikan Sofyano guna menanggapi permintaan Kadin ke Presiden Jokowi agar tidak menyetujui kenaikan harga gas industri yang akan dilakukan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk
“Jika Presiden bereaksi terhadap Surat Ketua Umum Kadin dengan tidak menyetujui kenaikan harga gas industri yang akan dilakukan PGN maka ini akan menimbulkan ketidakpercayaan investor terhadap bisnis di Indonesia," kata Sofyano kepada wartawan di Jakarta, Kamis (31/10).
BACA JUGA: Kadin Diminta Bijak Menanggapi Kenaikan Harga Gas Industri
Pasalnya, kata dia, investor akan menilai keputusan bisnis atau aksi korporasi akan bisa diintevensi dan dipatahkan oleh pemerintah. "Apalagi pada tahu 2015 pernah terjadi hal yang sama terhadap harga semen yang menyebabkan perdagangan saham harga semen menjadi hancur dan terpaksa dihentikan," ujarnya.
Menurut dia, pemerintah memang perlu menjaga kelangsungan bisnis, tetapi bukan berarti melakukan intervensi yang justru bisa merugikan bisnis itu sendiri.
"Rencana Kenaikan harga gas industri jika merupakan aksi korporasi, apalagi oleh sebuah BUMN tentu sudah diperhitungkan masak-masak segala aspek yang akan timbul karenanya. Untuk itu pemerintah dan presiden tidak perlu terlalu jauh masuk ke wilayah itu yang berpotensi akan dinilai sebagai bentuk intervensi terhadap pasar yang justru akan membuat pasar tidak merasa nyaman," pungkasnya.
Sebelumnya, Ekonom Konstitusi, Defiyan Cori menegaskan penolakan kenaikan harga gas industri akan menyebabkan neraca dagang sektor migas Indonesia terus defisit karena nilai impor migas yang terus meningkat dan komoditas ekspor yang belum memiliki nilai tambah.
"Selama hampir 7 tahun terakhir PGN tidak pernah menaikkan harga jual gas, bahkan saat harga gas dunia tinggi sekalipun, sampai akhirnya Kementerian ESDM melalui Plt. Dirjen Migas mengeluarkan kebijakan penolakan kenaikan harga gas industri. Konsekuensi dari penolakan ini, maka pemerintah harus bisa menanggung beban kinerja PGN yang dihasilkan oleh kebijakan pemerintah yang tak konsisten," paparnya
Secara terpisah, EkonomSalamuddin Daeng mengatakan harga gas PGN yang dijual ke swasta memang sudah lama tidak mengalami kenaikan. Sejak tahun 2013 harga gas tetap. Ada anekdot harga gas yang dijual oleh PGN boleh dikatakan satu-satunya harga energi yang dianggap pemerintah tidak terkena pengaruh inflasi dan pengaruh depresiasi nilai mata uang.
Anggapan bahwa PGN tidak terpengaruh inflasi dan depresiasi memang agak aneh, mengingat harga gas hulu yang dibeli PGN kepada perusahaan asing tentu menggunakan mata uang dolar dan harganya relatif mahal. Selain itu utang PGN yang besar dan anggarannya digunakan untuk membangun infrastruktur adalah utang dalam mata uang dolar. Sehingga jelas PGN terpengaruh depresiasi atau menanggung beban depresiasi. Depresiasi rupiah dalam 5 tahun terakhir sangat besar dan salah satu mata uang dengan kinerja terburuk di dunia.
Sementara itu, Direktur Energy Watch, Mamit Setiawan mengataan Rencana kenaikan harga gas indsutri oleh PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PT PGN) yang disikapi dengan pengaduan Ketua Umum Kamar Dagang adalah hal yang dapat dinilai lucu.
“Saya merasa KADIN ini seperti kumpulan anak kecil yang sebentar-bentar mengadu kepada orang tuanya. Sebagai kumpulan dari para pengusaha harusnya mereka bisa memahami kenapa PT PGN harus menaikan harga gas tersebut,” sambung Mamit Setiawan dalam siaran persnya.
“Seharusnya PT PGN yang mengadu kepada Presiden karena saat ini PT PGN merupakan BUMN bagian dari sub holding migas. Kondisi keuangan PT PGN dalam semester I 2019 kurang apik dimana keuntungan perusahaan anjlok 69.87% dibandingan semester I 2018 sebesar US$ 54,04 juta berbanding US$ 179.39 juta” tambah Mamit.
Dia berharap PT PGN harus tetap melanjutkan kenaikan harga gas industry ini sesuai dengan yang direncanakan dan Presiden sebaiknya tidak terpengaruh dengan aksi korporasi BUMN PGN apalagi PGN adalah BUMN Terbuka,“ pungkas Mamit Setiawan.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich