Tantangan Bagi Advokat Baru

Oleh: Elias Sumardi Dabur

Rabu, 19 Februari 2020 – 02:50 WIB
Elias Sumardi Dabur. Foto: Dokpri

jpnn.com, JAKARTA - Setiap tahun, organisasi-organisasi profesi advokat dan pengadilan tinggi selalu menjalankan agenda pengangkatan dan pengambilan sumpah advokat baru. Di awal 2020 ini, misalnya Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Suara Advokat Indonesia melaksanakan tugas tersebut pada Rabu (12/2/2020) di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

Dalam catatan PERADI jumlah advokat yang terdaftar di Indonesia sebanyak 50.000 sampai dengan tahun 2019. Suatu jumlah yang sebetulnya tergolong kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 269 juta jiwa. Dalam jumlah tersebut, idealnya Indonesia membutuhkan sekitar 1.750.000 advokat.

BACA JUGA: Bamsoet: Advokat Harus Jadi Pembela Hukum Berkeadilan

Walau demikian, soal jumlah bukanlah isu besar. Lebih penting dari itu adalah kualitas atau mutu dan integritas advokat itu sendiri. Dalam pepatah Latin ada ungkapan,”Non multa sed multum.” – bukan jumlah tapi mutu. Ungkapan yang diperkenalkan seorang penulis Romawi, Gaius Plinius Secundus (23-79 M) lebih lanjut menyatakan,”Multum legedum esse non multa”,--orang harus membaca hal yang bermutu bukan soal jumlahnya. Proverbia Latina tersebut hendak menegaskan betapa mendasarnya menjadi pribadi yang “berkualitas, istimewa, khusus, spesial, berbeda, mahir dan ahli” dalam bidang kita masing-masing.

Nobile Officium

BACA JUGA: Usai Diperiksa KPK, Advokat PDIP Bicara soal Uang Rp 400 Juta

Tuntutan ini sangat selaras dengan profesi advokat sebagai suatu profesi terhormat (officium nobile). Dengan menyandang posisi ini, advokat menyandang kewajiban yang mulia dalam melaksanakan pekerjaannya, kewajiban perilaku yang terhormat (honorable), murah hati (generous), dan bertanggungjawab (responsible).

Dengan diangkatnya seseorang menjadi advokat, maka ia telah diberi suatu kewajiban mulia melaksanakan pekerjaan terhormat (nobile officium), dengan hak eksklusif : menyatakan dirinya pada publik bahwa ia seorang advokat,  berhak memberikan nasihat hukum dan mewakili kliennya, dan menghadap di muka sidang pengadilan dalam proses perkara kliennya.

BACA JUGA: Dugaan Pelanggaran Kode Etik Advokat AL Dalam Kasus Asuransi

Namun, menyandang suatu profesi tidak serta merta menjadikan penyandangnya profesional, tapi masih harus dibuktikan bahwa yang bersangkutan telah berbuat sesuatu berdasarkan nilai yang diyakini oleh profesi tersebut. Ilmuwan hukum William Webster menyatakan “menjadi seorang advokat saja tidak cukup. Bekerja untuk melestarikan tujuan yang ideal dari profesi kita, terus mendorong berkembangnya kebebasan, penggunaan kebenaran untuk menginformasikan dan mencerahkan kita semua dalam segala hal, dan memperjuangkan hak masyarakat untuk berbicara kebenaran merupakan kontribusi paling penting yang dapat kita lakukan sebagai pengacara.” (Public Service in Private Practise, Washington University Journal of Law and Policy, 1999).

Restorasi Citra dan Peningkatan Kualitas Diri

Sulit dibantah bahwa medan yang dihadapi para advokat baru saat ini adalah citra advokat yang terpuruk. Ulah beberapa advokat yang menghalalkan segala cara dalam membela klien mereka membuat wibawa profesi ini hancur. Sebagian dari mereka terlibat dalam mafia hukum, dari merekayasa kasus hingga menyogok hakim.

Sebagai refleksi, Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah merilis 22 orang advokat yang pernah terlibat dalam perkara korupsi terhitung mulai 2005-2018. Dari jumlah itu, ada 16 advokat terjaring kasus penyuapan, pemberian keterangan tidak benar 2 orang dan menghalang-halangi penyidikan kasus korupsi melibatkan 4 advokat. Kasus yang melibatkan 22 advokat tersebut mayoritas ditangani KPK. Jumlahnya 16 orang. Selebihnya ditangani Kejaksaan yakni 5 orang dan kepolisian 1 orang. Akibatnya, para advokat dianggap turut bertanggung jawab terhadap bobroknya lembaga peradilan.

Citra buruk ini hendaknya menjadi tantangan bagi para advokat untuk berjuang bersama-sama melakukan restorasi citra advokat agar kembali kepada keluhurannya sebagai profesi terhormat. Restorasi ini bisa dimulai dari komitmen pribadi para advokat maupun taat pada Kode Etik Advokat Indonesia.

Peringatan dari Abraham Lincoln, seorang advokat dan mantan Presiden AS penting juga dicamkan baik-baik oleh advokat:” If in your own judgment you cannot be an honest lawyer, resolve to be honest without being a lawyer. Choose some other occupation, rather than one in the choosing of which you do, in advance, consent to be a knave.” (Jika Anda koreksi diri bahwa Anda tidak dapat menjadi seorang advokat yang jujur, maka lebih baik menjadi orang yang jujur tanpa harus menjadi seorang advokat. Pilihlah profesi lain daripada memilih suatu profesi yang diyakini, namun dari awal Anda berniat menjadi seorang penjahat (bajingan).

Tantangan lain datang dari perkembangan revolusi industry 4.0. Revolusi industri 4.0 memiliki efek yang besar di berbagai bidang dan sektor, termasuk sektor penegakan hukum terutama eksistensi profesi advokat dalam pemberian jasa hukum kepada kliennya.

Perkembangan teknologi mesin-mesin cerdas buatan manusia (Artificial Intelliegence) ini diyakini tidak berhenti dan terus berkembang menuju kesempurnaan.  Robotik ini akan semakin mampu menghasilkan karya-karya layanan jasa hukum yang bersifat analitis, taktis, dan situasional dengan hasil yang lebih akurat, lebih cepat, lebih murah ketimbang menggunakan jasa profesi advokat. Belum lagi, persaingan di kalangan para advokat tentu akan semakin ketat dan meningkat seiring pesatnya perkembangan teknologi ini.

Namun, kabar baiknya adalah jenis pekerjaan yang membutuhkan keterampilan, kemampuan bersosialisasi, dan kemampuan kognitif (konstruksi proses berfikir, termasuk mengingat, pemecahan masalah dan pengambil keputusan), serta kreativitas akan mampu bertahan dari otomatisasi. Seorang advokat tidak akan tergantikan dalam hal kemampuan kognitif dan kreativitasnya, sehingga tetap bisa bertahan.

Dengan demikian, peningkatan kualitas dan kompetensi diri harus menjadi kunci. Profesi advokat sejatinya adalah pembelajaran seumur hidup atau disebut juga dengan a lifetime education, di mana kita harus terus belajar serta menimba ilmu dan keterampilan baru dari waktu ke waktu.

Jadi, posisi advokat sebagai nobile officium dan kedudukan advokat yang unik dan istimewa sebagai salah satu penegak hukum selain hakim, jaksa dan polisi menuntut tanggung jawab kepada publik dengan menjaga agar anggota profesi advokat selalu mempunyai kompetensi pengetahuan profesi untuk itu dan mempunyai integritas melaksanakan profesi terhormat ini.(***)

Penulis adalah Advokat & Managing Director Akuity Law Firm


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler