jpnn.com, JAKARTA - Sejumlah kalangan praktisi dan akademisi hukum sepakat bahwa sudah saatnya Indonesia membarui politik hukum atas peninjauan kembali (PK) agar searah dengan perkembangan hukum pidana dunia.
Demikian antara lain rangkuman seminar online bertajuk “Pembaharuan Politik Hukum Peninjauan Kembali di Indonesia" pada Senin (6/7/2020).
BACA JUGA: Terpidana Hukuman Mati Ajukan Peninjauan Kembali
Seminar ini menampilkan sejumlah pembicara yakni pengacara senior Hermawi Taslim, Praktisi Hukum Roy Rening, pakar hukum pidana Luhut MP. Pangaribuan, mantan ketua KPK Antasari Azhar dan dekan Fakultas Hukum Atma Jaya Makassar Anton Sudirman.
Dalam kesempatan itu, Praktisi Hukum Roy Rening menawarkan gagasan agar pendapat ahli dapat diterima sebagai novum atau bukti baru dalam Peninjauan PK.
BACA JUGA: PPP Kubu Romahurmuziy Wacanakan Peninjauan Kembali
Menurut Roy, PK adalah upaya hukum luar biasa yang diperuntukkan bagi terpidana untuk mendapatkan keadilan dalam perkara yang sudah berkekuatan hukum tetap.
Menurut Pasal 263 KUHAP, ada tiga alasan bagi seorang terpidana untuk mengajukan PK, yakni pertama adanya bukti baru atau yang lebih dikenal dengan novum. Kedua, adanya kekhilafan hakim dan yang ketiga terdapatnya pertentangan keputusan.
BACA JUGA: Perwakilan Alumni Akabri 1995 Sambangi Panglima TNI, Ada Apa?
Menurut Roy Rening, hal ini sejalan dengan temuannya atas perkembangan hukum pidana di negeri Belanda saat ini yang telah menerima pendapat ahli sebagai novum.
Menanggapi hal tersebut, pengacara senior Hermawi Taslim yang tampil sebagai salah seorang pembicara mengatakan temuan Roy Rening ini merupakan satu ide brilian yang patut diapresiasi dalam mengatasi berbagai permasalahan PK di Indonesia.
Namun, Taslim menambahkan bahwa sebelumnya harus ada penataan dan akreditasi yang ketat terhadap oknum yang dikategorikan sebagai "ahli" agar tidak terjadi distorsi yang justru dapat merusak tatanan hukum pidana, khususnya PK.
Menurut Taslim yang juga menjabat Wakil Sekretaris Jenderal DPP NasDem, saat ini terminologi ahli cenderung mengalami distorsi dan dekadensi, sehingga pendapat ahli tersebut cenderung asal-asalan, tidak orisinal sekaligus tidak independen.
Taslim kemudian menyetir ungkapan almarhum Gus Dur yang mengatakan bahwa saksi ahli di Indonesia sedang mengalami kemerosotan moral, cenderung menjadi "saksi tukang", bersaksi sesuai pesanan bukan sesuai keahlian.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich