Tegak Lurus

Oleh: Dahlan Iskan

Jumat, 25 Oktober 2024 – 07:57 WIB
Dahlan Iskan. Foto/ilustrasi: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Tiga hari ke depan opini publik masih akan di seputar Lembah Tidar, Magelang.

Saya perhatikan daya tarik acara pembekalan menteri baru tersebut cukup tinggi. Bisa mengalihkan isu negatif tentang latar belakang para menteri itu sendiri.

BACA JUGA: Kemenkeu Satu

Setidaknya untuk sementara.

Daya tarik itu mulai dari seragam mereka. Ada baju loreng ala militer. Ada baju putih lengan panjang. Topi model prajurit –hanya saja warnanya polos: biru tua.

BACA JUGA: Akbar Yanuar

Tempat yang semestinya ditempeli identitas di bagian depan topi itu dibiarkan kosong.

Saya tidak tahu apakah masih akan ada anggota kabinet yang berani pakai sepatu kets.

BACA JUGA: Sampai Kapan

Mereka berangkat dari Jakarta bersamaan: pakai pesawat militer Hercules. Bagi sipil yang belum pernah naik Hercules itu anggap saja pengalaman baru.

Bagi yang sudah biasa naik pesawat di kelas bisnis akan terasa tidak nyamannya: duduk berjejer berhadap-hadapan, memanjang dari depan sampai belakang.

Ini seperti seruan: mulailah terbiasa hidup tidak nyaman. Toh, hanya 1,5 jam. Dari Bandara TNI-AU Halim Perdanakusuma ke Bandara TNI-AU Adi Sucipto.

Dari Adi Sucipto ke Magelang mereka juga harus naik bus. Itu lambang untuk hidup biasa-biasa saja.

Sampai di Magelang mereka tidak tinggal di hotel, tetapi di barak tentara berbentuk tenda. Mudah-mudahan ber-AC.

Jangan-jangan mulai ada yang menyesal: jadi menteri ternyata tidak boleh enak, apalagi bagi menteri baru yang sudah terbiasa hidup dari lobi hotel ke salon.

Akan tetapi ini, kan, hanya tiga hari. Toh, masih di masa bulan madu. Kebanggaan diangkat sebagai menteri masih bisa mengalahkan sulitnya cara hidup baru itu.

Latar belakang Presiden Prabowo yang militer tentu mewarnai kabinetnya.

Seorang jenderal pasti punya keyakinan: bahwa ''manajemen ala militer'' ialah unggul. Keyakinan itu lantas menjadi kebanggaan.

Banyak jenderal yang kemudian punya pendapat: kalau saja manajemen ala militer diterapkan di luar militer akan membawa kesuksesan.

Keunggulan manajemen ala militer lahir sebagai konsekuensi atas risiko yang tinggi: menembak atau ditembak. Kalah perang berarti kematian.

Risiko tertinggi dalam kehidupan adalah ''mati''. Maka segala upaya harus dilakukan agar jangan sampai mati, termasuk harus menemukan sistem manajemen yang unggul.

Di perusahaan, risiko tertinggi ialah bangkrut. Yang mati hanya perusahaannya. Bukan orangnya.

Maka di militer mulai proses manajemen perencanaannya sangat detail.

Di militer, perencanaan tidak sekadar didasarkan pada asumsi. Harus berdasar data di lapangan. Data lapangan diperoleh dari kerja intelijen.

Perencanaan SDM-nya diperinci sampai detail dari batalion, kompi, regu, sampai grup.

Pun logistiknya. Sampai ke penerjunan pasukan pendahulu. Pengerahan pasukan zeni. Pun analisis risiko dan escape-nya.

Salah satu keunggulan manajemen ala militer ialah ketaatan kepada komandan: ketaatan tegak lurus.

Ketika militer diterjunkan ke medan-laga, pikirannya hanya satu: memenangi perang.

Di medan perang tidak ada kemewahan. Tidur seadanya. Makan apa yang ada. Bisa-bisa tidak tidur dan tidak makan.

Selama tiga hari ke depan para menteri digodok di kompleks Akademi Militer dengan gaya militer.

Sepulang ke Jakarta mereka tentu akan terobsesi untuk bisa menerapkan manajemen gaya militer yang mereka dapat.

Minggu pertama mungkin mereka berkeinginan menurunkan ilmu Magelang ke anak buah di Jakarta. Ke eselon satu. Mungkin eselon satu akan setuju dan siap mengikuti ajaran itu.

Persoalan muncul ketika ajaran itu sampai ke eselon dua, apalagi tiga.

Di birokrasi yang benar-benar berkuasa ialah eselon tiga. Mantan Wapres Jusuf Kalla pernah membuka itu blak-blakan.

Yang sebenar-benar menjalankan roda pemerintahan ialah eselon tiga.

Di militer ketaatan tegak lurus bisa jalan. Di birokrasi, eselon tiga lebih taat pada peraturan. Yakni "peraturan yang tertulis".

Komandan mereka adalah peraturan, bahkan seandainya pun SDM birokrasi kita dari manusia cerdas kelas satu, tetap saja akan menjadi bodoh di depan peraturan.

Saya tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan oleh manusia tercerdas di kabinet ini setelah jadi wakil menteri nanti: Stella Christie, profesor dari Tsinghua University itu.

Saya mengikuti ceramahnya tentang artificial intelligent di YouTube.

Sepanjang video itu pula saya terbayang apa yang bisa dia lakukan di kementeriannya.

Bagi saya, sukses 100 hari pertama Kabinet Merah Putih ialah berubahnya segala macam aturan yang menghambat pembangunan.(*)

Yuk, Simak Juga Video ini!

BACA ARTIKEL LAINNYA... Detik Terakhir


Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler