JAKARTA – Pemberantasan korupsi yang merupakan suatu tugas mulia, seharusnya tidak ternoda oleh tindakan aparat penegak hukum yang sembrono. Jika itu terjadi, maka hanya akan menghancurkan martabat orang, yang harus menanggung musibah sepanjang hayatnya karena jabatannya.
Hal itu dikatakan pengacara senior, Maqdir Ismail, di Jakarta, Rabu (17/7), menanggapi vonis atas karyawan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), Kukuh Kertasafari yang dijatuhi hukuman dua tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (17/7) dalam perkara korupsi bioremediasi. Maqdir khawatir vonis bersalah juga akan dijatuhkan kepada dua terdakwa lain yang jelas-jelas tidak terbukti sebagai pihak yang bertanggung dari proyek bioremediasi sebagaimana fakta dalam beberapa persidangan.
Maqdir mengatakan, saat ini cara yang paling mudah untuk mengancurkan harkat dan martabat seseorang adalah dengan melaporkannya sebagai pelaku korupsi dan mengumumkan laporan itu melalui media. “Kalah tender, laporkan saja ada pengadaan tidak sesuai aturan, penunjukan langsung karena kolusi, dan lain-lain. Terbukti atau tidak, itu urusan nanti,” kata pria yang juga pengacara bagi karyawan PT CPI itu.
Padahal, lanjutnya, pihak yang dituduh korupsi sudah terlanjur cemar nama baiknya. “Ini pula yang terjadi pada tujuh terdakwa kasus bioremediasi, lima diantaranya karyawan Chevron, dan dua lainnya kontraktor yang bahkan sudah dipidana,” ujar Maqdir.
Ia menegaskan, memberantas korupsi adalah kewajiban seluruh warga negara yang berakal sehat. Sebab, daya rusak korupsi yang luar biasa, baik terhadap perekonomian bangsa, dan tentu saja mental banyak orang termasuk penikmat korupsi.
Namun, lanjutnya, saat ini daya rusak yang luar biasa itu juga dialami oleh korban pemberantasan korupsi yang tidak adil. “Faktanya, ada orang yang diadili dalam kasus korupsi tanpa konsep keadilan, hanya karena curiga dan asumsi bahwa orang jujur pun akan menikmati hasil korupsi kalau ada kesempatan,” jelasnya.(boy/jpnn)
Hal itu dikatakan pengacara senior, Maqdir Ismail, di Jakarta, Rabu (17/7), menanggapi vonis atas karyawan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), Kukuh Kertasafari yang dijatuhi hukuman dua tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (17/7) dalam perkara korupsi bioremediasi. Maqdir khawatir vonis bersalah juga akan dijatuhkan kepada dua terdakwa lain yang jelas-jelas tidak terbukti sebagai pihak yang bertanggung dari proyek bioremediasi sebagaimana fakta dalam beberapa persidangan.
Maqdir mengatakan, saat ini cara yang paling mudah untuk mengancurkan harkat dan martabat seseorang adalah dengan melaporkannya sebagai pelaku korupsi dan mengumumkan laporan itu melalui media. “Kalah tender, laporkan saja ada pengadaan tidak sesuai aturan, penunjukan langsung karena kolusi, dan lain-lain. Terbukti atau tidak, itu urusan nanti,” kata pria yang juga pengacara bagi karyawan PT CPI itu.
Padahal, lanjutnya, pihak yang dituduh korupsi sudah terlanjur cemar nama baiknya. “Ini pula yang terjadi pada tujuh terdakwa kasus bioremediasi, lima diantaranya karyawan Chevron, dan dua lainnya kontraktor yang bahkan sudah dipidana,” ujar Maqdir.
Ia menegaskan, memberantas korupsi adalah kewajiban seluruh warga negara yang berakal sehat. Sebab, daya rusak korupsi yang luar biasa, baik terhadap perekonomian bangsa, dan tentu saja mental banyak orang termasuk penikmat korupsi.
Namun, lanjutnya, saat ini daya rusak yang luar biasa itu juga dialami oleh korban pemberantasan korupsi yang tidak adil. “Faktanya, ada orang yang diadili dalam kasus korupsi tanpa konsep keadilan, hanya karena curiga dan asumsi bahwa orang jujur pun akan menikmati hasil korupsi kalau ada kesempatan,” jelasnya.(boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ani Yudhoyono Diprediksi Ikut Konvensi Capres
Redaktur : Tim Redaksi