jpnn.com - Oleh: Pangi Syarwi Chaniago
Pengamat Politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting
Belakangan santer beredar nama-nama tokoh yang berpotensi besar menjadi calon wakil presiden (Cawapres) bagi calon petahana, Jokowi dan penantangnya, Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto.
BACA JUGA: Giliran Jenderal Tito Didukung Jadi Cawapres Jokowi
Adapun nama yang disebut-sebut sebagai kandidat pendamping Jokowi di antaranya dari kalangan parpol seperti Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto; Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar; Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Romahurmuziy; politikus PDIP, Budi Gunawan dan politikus Partai Demokrat, TGB M Zainul Majdi.
Sementara dari kalangan non-parpol muncul ke permukaan nama-nama seperti mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD; mantan Panglima TNI, Moeldoko; Menteri Keuangan, Sri Mulyani; Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin, dan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (NU), KH Said Aqil Siradj.
BACA JUGA: NasDem Tak Keberatan Said Aqil Jadi Pendamping Jokowi
Selain itu, juga beredar nama-nama yang berpotensi menjadi pendamping Prabowo dari kalangan parpol seperti politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ahmad Heryawan dan Salim Segaf Al Jufri, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Zullkifli Hasan; dan politikus Partai Demokrat, Chairul Tanjung. Sedangkan dari kalangan non-parpol muncul nama Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan; dan mantan Panglima TNI, Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo.
Pertanyaanya, apakah Jokowi akan mengandeng Cawapres seperti nama-nama yang sudah beredar di publik atau akan ada daya kejut dari Jokowi di luar nama-nama yang sudah diprediksi.
Mencari sosok pendamping Jokowi, seberapa besar kans Mahfud MD digandeng Jokowi sebagai cawapres Jokowi di pilpres 2019?
BACA JUGA: Pokoknya Cawapres Jokowi Tinggal 5
Mahfud MD kalau kita cermati dari kualifikasi figur sangat menarik. Dalam soal ujian integritas beliau sudah selesai, bisa melewati dengan baik dan membuktikannya.
Apakah Mahfud MD pantas jadi cawapres Jokowi? Pertama Mahfud MD punya jam terbang yang tinggi di pemerintahan, track record bagus, sucses story-nya jelas baik di level eksekutif, legislatif dan yudikatif. Beliau pernah jadi Menteri Pertahanan di era Presiden Gus Dur, di legislatif pernah menjabat anggota DPR dan di institusi yudikatif pernah menjadi ketua Mahkamah Konstitusi (MK).
Di samping itu, beliau punya modal suara akar rumput (grassroot), representasi santri dan NU.
Nah, track record Mahfud yang panjang itu diharapkan mampu menutupi kelemahan Jokowi soal pengelolaan isu-isu Umat dan kebangsaan. Namun ada persoalan dan kelemahan, karena Mahfud bukan dari Parpol, apakah Mahfud bisa diterima ditataran level elite partai koalisi pendukung Jokowi, akan-kah mendapat restu dari Megawati?
Lalu bagaimana dengan figur ulama kharismatik yakni Ma'ruf Amin? Beliau belakangan mulai diperhitungkan oleh poros koalisi gerbong Jokowi, representasi kelompok Umat Islam, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), selama ini terkesan tegas dan tidak memusuhi umat, mengayomi dan ulama cukup menyejukkan politik kebangsaan, sangat bijak, ulama yang di tengah.
Sosok figur Ma'ruf Amin dibutuhkan Jokowi dalam maintenance prolem ke-umatan. Kalau tidak terjadi split ticket voting maka grasroot NU dan PKB besar kemungkinan bulat memilih Ma'ruf Amin. Selain itu, kelebihan Ma'ruf Amin yaitu berbedanya ceruk basis segmen pemilihnya dengan Jokowi, sehingga mampu mendulang elektoral bagi Jokowi.
Sosok yang saling melengkapi dan mampu menambal sisi kelemahan Jokowi. Jokowi penting mengambil sosok ulama, santri dan tokoh umat, dalam rangka membendung/ netralisir menguatnya sintimen politik entitas agama dan etnis belakangan ini.
Sosok Moeldoko belakangan mulai diperhitungkan menjadi cawapres Jokowi. Moeldoko pernah menjadi panglima TNI, chemestry mungkin sudah terbaca oleh Jokowi sejak Moeldoko diangkat menjadi Kepala Staf Kepresidenan.
Figur yang tegas, loyal, efektif dan efisien, jejaringnya di dunia militer sangat dibutuhkan Jokowi, walaupun beliau sudah pensiun namun kekuatan infrastruktur dan suprastrukturnya di militer tentu masih ada. Terutama mengamankan dan menarik faksi/gerbong jenderal yang kontra/berseberangan terhadap Jokowi.
Muhammad Zainul Majdi (TGB) termasuk menarik dicermati, sosok figur yang terbilang sempurna, ulama sekaligus success strory Gubernur NTB dua periode. Selama ini beliau terafiliasi ke kelompok kanan, termasuk alumni 212 yang mendapat empati dari kelompok umat Islam.
Ceruk segmen TGB berbeda dengan Jokowi, ini jelas menguntungkan Jokowi, selain merepresentasikan suara Indonesia timur.
Selanjutnya membaca dan mengenal sosok Ma'ruf Amin, punya peluang besar sebagai cawapres Jokowi, walaupun Jokowi punya hak prerogatif. Ada yang sangat penting PDIP untuk dikalkulasi dan dihitung. Cawapres yang senior dari segi umur, yang karir kira- kira habis di tahun 2024, tidak curi start atau jangan sampai membahayakan PDIP.
Ma'ruf Amin lebih mudah mendapatkan restu dari parpol koalisi pendukung utama dalam hal ini Megawati dan PDIP, restu Megawati determinan menentukan siapa cawapres Jokowi.
Seandainya Jokowi memainkan strategi politik bumi hangus, maka ada potensi Jokowi mengandeng Mahfud MD dan Ma'ruf Amin, tidak satu pun mengambil cawapres dari tokoh parpol/ketua umum.
Tingkat penerimaan (akseptabel) parpol koalisi lebih bagus, sebab tidak satu pun kader atau ketua umum parpol menjadi cawapres Jokowi, sehingga adil bagi semua parpol pengusung. Jokowi tidak perlu perang urat saraf dengan ketua umum parpol pengusung yang terkesan memaksakan kadernya menjadi cawapres pendamping Jokowi.
Ada beberapa kriteria menjadi penting juga dipertimbangkan parpol dalam memilih cawapres. Pertama, dari sisi kualifikasi akseptabilitas, penerimaan dan kesukaan publik, seberapa besar restu dari elite dan penerimaan parpol koalisi terhadap figur cawapres tersebut. Sejauhmana beliau diterima tataran masyarakat, elite politik, opinion leader dan massa grasroot.
Kedua, modal racikan elektoral menjadi penting sebagai cawapres dalam pertarungan kontestasi elektoral pilpres. Baik popularitas, akseptabilitas dan elektabilitas mesti satu tarikan nafas alias sejalan dan tak boleh senjang.
Ketiga, soal chemestry (nuansa kebatinan) capres dan cawapres menjadi pertimbangan juga. Kalau nanti wapres terkesan lebih menonjol dari presiden, terkesan wapres cita rasa "the real president", dalam pemerintahan tak boleh ada matahari kembar.
Keempat, terkait restu ketua umum Parpol pengusung utama Jokowi. Bagi Jokowi elektabilitas itu sangat penting, dan Jokowi tidak lagi bicara setelah 2024. Sementara, logika PDIP berbeda, bicara setelah 2024.
Karena itu, PDIP menilai tidak mau kalau bukan kader mereka untuk keberlanjutan partai. Kalau panggung cawapres ini diambil elite partai yang bukan kader PDIP, maka figur wapres tersebut bisa terang lampunya di tahun 2024, jelas itu membahayakan masa depan dan kemajuan PDIP, karena wapres sudah curi start.
Kelima, kombinasi ideal yaitu nasionalis religius, cawapres Jokowi tidak perlu dipaksakan ahli di bidang ekonomi, hukum dan politik. Nanti sudah cukup diperkuat menteri Koordinator (Menko).
Namun yang terpenting cawapres harus berbeda ceruk segmen pemilih dengan capres, ngak boleh sama. Oleh karena itu, segmen Jokowi nasionalis dan cawapresnya mesti dari segmen ceruk religius (ulama ataubsantri).
Poros Ketiga
Sebetulnya Gerindra tidak begitu sulit mengusung Prabowo menjadi capres, tinggal mencari dan menyakinkan satu partai koalisi lagi untuk memenuhi ambang batas aturan presidential threshold (PT) sebesar 20-25 persen dalam UU Pemilu.
Berbeda dengan dengan poros ketiga yang sedang coba digadang-gadang dibangun oleh partai demokrat, minimal harus mampu menarik dua parpol koalisi lagi agar bisa memenuhi syarat administratif sebagai prasyarat mengusung capres dan cawapres.
Partai demokrat terus berupaya melakukan konsolidasi, silaturahim dan penjajakan awal ke beberapa parpol koalisi lainnya. Dengan mencoba menawarkan tiga opsi. Opsi pertama bergabung ke koalisi Jokowi. Opsi kedua, bergabung ke poros Prabowo. Opsi ketiga, membentuk poros ketiga/alternatif dengan parpol koalisi lainnya.
Demokrat akan menangkap bola pantulan koalisi yang belum memutuskan bergabung ke koalisi Jokowi dan Prabowo.
Dalam upaya membentuk poros ketiga, SBY sudah memberi sinyal bahwa AHY sebagai kader potensial dari Demokrat bukan lah harga mati sebagai cawapres di koalisi poros ketiga. Demokrat harus mampu mengakomodir PAN dan PKB.
Kita mahfum mengapa PKB, PKS, PAN, Golkar dan Demokrat begitu ngotot mengusung kadernya sebagai capres maupun cawapres? Wajar karena logika partai dalam upaya menyelamatkan elektabilitas partai. Memang sangat berbeda dengan PPP, Hanura dan Nasdem, menyerahkan leher partai ke pak Jokowi untuk memilih cawapresnya, tidak harus dari kader ketua umum partai tersebut.
Pemilu legislatif dan pilpres serentak, dalam terminologi ilmu politik dikenal efek ekor jas (cotail effect) salah satu cara mendongkrak elektabilitas partai adalah dengan mengusung figur dari kader partai tersebut.
Golkar punya potensial banting stir dari koalisi Jokowi. Karena sebagian suara grasroot dan elite masih gigih memperjuangkan ketua umum Golkar, Airlangga Hartato sebagai cawapres.
Jokowi adalah kader PDIP, maka yang langsung merasakan limpahan elektoral dari figur Jokowi sebagai capres adalah PDIP, dan hampir tak punya efek dongkrak terhadap elektabilitas partai Golkar.
Oleh karena itu, poros ketiga masih punya harapan terbentuk apabila nanti PKB, PAN, Demokrat tidak bergabung ke kutub Jokowi maupun Prabowo. Kalau soliditas dikutub Jokowi dan Prabowo tak terjaga. Maka ada potensi bola muntah membentuk poros ketiga.
Zona Waiting Game
Kita tidak kaget membaca fenomena paket capres dan cawapres sengaja dibuat menggantung, baik dari poros koalisi Jokowi maupun Prabowo belum ada yang berani mengumumkan paket capres dan cawapresnya.
Bermain di zona injure time atau last minute, apakah ini bagian dari taktik politik? Waiting game ini sedang dimainkan masing-masing poros parpol koalisi. Mereka tentu ngak mau layu sebelum berkembang.
Wajar kemudian political game theory dijalankan, politik saling kunci mengunci parpol kaolisi, sehingga tidak ada ruang komunikasi dan lobi tingkat tinggi elite sentral partai. Ketika paket capres dan cawapres sudah diumumkan ke publik menjelang H-1 penutupan pendaftaran capres cawapres, maka otomaticly mau tidak mau, suka tidak suka parpol yang tergabung dalam koalisi mesti menerima paket capres dan cawapres tersebut.
Kalau kita telaah dan pelajari lebih dalam, pola emberio terbentuknya koalisi biasanya ada dua role model, pertama membentuk koalisi dulu lalu kemudian mencari sosok figur capres dan cawapresnya.
Pola kedua adalah, mencari figur dan sosok baru kemudian merangkul parpol koalisi untuk bergabung membangun poros. Dalam pengalaman peta politik koalisi selama ini, mencari figur dulu, baru membentuk poros koalisi.
Sekali lagi, ibarat main sepak bola piala dunia, timing sangat menentukan, bermain di-injure time/last minute dengan menunggu bola umpan lambung dimenit menit terakhir bisa mengubah peta konstelasi politik, begitu juga dalam pilpres. Kita tunggu kejutan tersebut!
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sepertinya Bu Mega Lebih Sreg Jika Jokowi Gaet Pak Kiai
Redaktur : Tim Redaksi