JAKARTA - Beasiswa pendidikan bagi mahasiswa berprestasi (Bidik Misi) ditetapkan untuk mahasiswa dari keluarga miskin. Tapi dugaan pengucuran yang tidak tepat sasaran masih muncul. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bertekad menulusuri dugaan penyelewengan ini.
Dikabarkan, penyelewengan beasiswa ini muncul di salah satu provinsi di pulau Sumatera. Mahasiswa penerima bidik misi di daerah itu dikabarkan adalah anak dari dosen-dosen kampus penerima kuota bidik misi. Praktek ini muncul diduga karena kuota atau pagu penerima bidik misi di kampus tersebut tidak terserap. Dari pada harus dikembalikan lagi ke kas negara, kuota bidik misi yang tidak terserap itu dikucurkan tidak sesuai aturan.
"Siapa tahu memang dosen itu miskin, sehingga anaknya didaftarkan program ini," tutur Mendikbud Mohammad Nuh. Tapi, menteri asal Surabaya itu mengatakan akan menulusir kebenaran dugaan pengucuran bidik misi yang tidak tepat sasaran tadi. Kemendikbud merespon baik jika masyarakat ikut mengontrol pengucuran bidik misi.
Inspektur Jendral (Irjen) Kemendikbud Haryono Umar juga mengatakan siap menindaklanjuti jika ada laporan bidik misi dikucurkan tetapi tidak tepat sasaran. Dia berharap, jika memang sudah diputuskan diterima oleh mahasiswa yang tidak miskin, keputusan itu harus dianulir.
Wamendikbud Bidang Pendidikan Musliar Kasim menjelaskan, bagiamanapun kondisinya, jatah bidik misi harus disalurkan kepada mahasiswa dari keluarga yang benar-benar tidak mampu. Jika akhirnya tidak dipenuhi, kampus seharusnya tidak meminta jatah bidik misi dalam jumlah besar.
Pria yang juga mantan rektor Universtias Andalas (Unand), Padang itu menuturkan, jika penerima bidik misi lebih kecil dari kuota yang tersedia, kampus wajib mencari calon mahasiswa yang miskin tapi berprestasi. "Harus berusaha sekuat tenaga. Masak mencari peminat kuliah dari keluarga miskin sulit," katanya. Dari pengalamannya memimpin Unand, kuota bidik misi selalu habis disalurkan ke mahasiswa yang memang berhak menerimanya.
Menurut Musliar, pihak kampus tidak boleh hanya berpangku tangan menunggu calon mahasiswa dari keluarga miskin mendaftar ikut program bidik misi. Sebaliknya, kampus juga harus turun langsung ke kantong-kantong penduduk miskin di sekitar domisili mereka.
Musliar menuturkan, seharusnya potensi terjadinya kesalahan dalam penyaluran bidik misi bisa ditutup dengan proses verifikasi yang ketat. Musliar menjelaskan, mahasiswa tidak begitu saja bisa ditetapkan menerima bidik misi. Tapi harus melewati proses verifikasi yang ketat. Inti dari verifikasi ini, adalah memastikan mahasiswa calon penerima bidik misi benar-benar dari keluarga miskin.
Proses verifikasi ini menurut Musliar tidak hanya bisa dilakukan di balik meja saja. Yaitu dengan memeriksa berkas-berkas mahasiswa pelamar bidik misi. Tetapi, jajaran kampus juga harus turun langsung melihat kondisi mahasiswa itu. "Misalnya kondisi tempat tinggal, pendapatan orang tua, dan semacamnya," ucap dia.
Bidik misi sendiri merupakan program yang diunggulkan Kemendikbud. Sejak dijalankan pada 2010 lalu, saat ini tercatat ada sekitar 50 ribu mahasiswa penerima bidik misi. Tahun ini, kuota bidik misi ditetapkan sebanyak 30 ribu yang mendaftar di PTN di bawah naungan Kemendikbud.
Dalam prakteknya, mahasiswa program bidik misi menerima bantuan biaya hidup sekurang-kurangnya Rp 600 ribu per bulan selama empat tahun. Nominal pasti dari bantuan biaya hidup ini merujuk pada indeks harga kemahalan di daerah PTN tempat dia belajar.
Selain itu, mahasiswa bidik misi juga memperoleh bantuan biaya pendidikan sebesar Rp 2,4 juta per semester selama empat tahun. Bantuan ini langsung ditransfer ke kampus masing-masing.
Kemendikbud mengklaim program Bidik Misi ini sukses karena 20 persen penerimanya ber-IPK 3,51 " 3,99. Sebaliknya hanya ada sekitar empat persen penerima bidik misi yang ber-IPK kurang dari 2.00. (wan)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pendaftaran SNMPTN Dibuka Malam Ini
Redaktur : Tim Redaksi