jpnn.com, JAKARTA - Terapi oksigen hiperbarik yang biasa digunakan untuk mengobati infeksi kronis, diabetes, luka bakar serta penyakit lainnya dinilai bisa membantu proses penyembuhan bagi pasien positif Covid-19.
Alasannya, aliran oksigen murni ke jaringan tubuh akan mampu mendukung pemulihan jaringan yang rusak.
“Dalam pengembangan fungsi lainnya, terapi ini mampu membantu penyembuhan pasien Covid,” ujar Dr. dr Mendy Habitie Oley SpBP-RE (k), dalam webinar kesehatan, Selasa (23/2).
Dijelaskan Mendy, terapi oksigen hiperbarik merupakan salah satu metode pengobatan melalui proses oksigen murni di dalam ruangan khusus bertekanan udara tinggi.
BACA JUGA: Lihat Insan Pers Disuntik Vaksin Covid-19, Pak Jokowi Ucap Hamdalah
Terapi ini sebelumnya dipakai untuk menangani gejala seperti decompression sickness, infeksi kronis, diabetes, luka bakar, penyakit pendengaran, migraine, neuro, kanker dan lainnya.
"Prinsipnya membantu kinerja organ tubuh guna memperbaiki jaringan yang rusak dengan meningkatkan kapasitas aliran oksigen murni ke jaringan tubuh," kata dokter yang bertugas di Siloam Hospitals Manado itu.
BACA JUGA: Inilah Orang Malaysia Pertama yang Dapat Vaksin COVID-19
Namun, ada yang perlu diperhatikan sebelum menjalani terapi ini. Khususnya pada pasien yang fobia ruangan tertutup, penderita asma, demam dan paru-paru kronis.
“Juga mereka yang menderita kelainan sel darah merah, gangguan pada tuba eustachius, serta pneumothorax yang belum terobati,” tuturnya.
Dokter spesialis penyakit dalam Christian Kawengian menambahkan, penularan Covid-19 terutama melalui droplet respirasi maka gejalanya bisa dibedakan menjadi OTG (tanpa gejala), ringan yakni tanpa bukti pneumonia, sedang yaitu tidak adanya pneumonia berat.
Kemudian berat yaitu pneumonia berat yang menyertainya, serta Kritis yaitu kondisi ARDS, Sepsis, Syok Sepsis dan lainnya.
"Berdasarkan itu, terapi oksigen hiperbarik menjadi salah satu cara atau bagian farmakologis, yaitu pemberian instalasi oksigen dengan konsentrasi 100 persen pada tekanan lebih dari 1 atmosfer absolut (1.5 - 3.0 ATA)," terangnya.
Christian menyatakan, hasil study case series yang dilakukan menunjukkan terapi oksigen pada pasien terpapar Covid-19 mengalami peningkatan oksigenasi jaringan, bersifat anti inlamasi, kemudian modulasi "stem cell", efek anti platelet atu anti trombotik dan penurunan jumlah virus akibat ROS.
"Selama terapi tersebut yang dipantau adalah EKG, Okumetriz, temperatur, tekanan darah, POZ, tekanan Cuff ETT dan tentunya AED dan paddle atau efek terbakar," tuturnya.
Sedangkan efek samping yang harus diperhatikan yaitu pulmonar (iritasi takeobronkial), kemudian neurologis yaitu gangguan visual, telinga berdenging, pusing, disorientasi, kejang, hingga menjaga agar pasien tidak mengalami penurunan kesadaran.
Kedua dokter spesialis tersebut juga memberikan rekomendasi pelaksanaan terapi ini.
Antara lain, terapi oksigen hiperbarik bisa diberikan dengan pemberian jeda respirasi udara normal. Kemudian adanya penurunan durasi terapi kurang dari dua jam setiap kalinya, serta pemberian tekanan di bawah ambang batas toksisitas neural.
“ Terapi ini merupakan modalitas terapi yang bisa berpotensi untuk dimanfaatkan dalam penanganan Covid-19 dan long Covid,” pungkasnya. (esy/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad