Fasilitas medis untuk penderita kanker masih terbatas di Indonesia. Padahal, jumlah penderitanya cukup banyak. Pinta Manullang-Panggabean dengan Yayasan Anyo Indonesia memberikan fasilitas rumah singgah untuk anak-anak penderita kanker dari daerah yang berobat di Jakarta.
M. HILMI SETIAWAN, Jakarta
=========================
MARKAS Yayasan Anyo Indonesia (YAI) atau yang lebih dikenal dengan sebutan Rumah Anyo terletak di Jalan Anggrek Nelli Murni A-110, Slipi, Jakarta Barat. Jika dibanding deretan rumah di sekitarnya, Rumah Anyo terlihat jangkung. Lantai satu rumah itu lebih tinggi sekitar 2 meter dari jalan raya.
Saat dikunjungi Kamis pekan lalu (16/5), Rumah Anyo tampak sepi. Hari itu tidak banyak "tamu" yang datang. Meski begitu, pengelola tetap menyiapkan aneka mainan layaknya di taman kanak-kanak di teras rumah. Misalnya, ayunan, papan luncur, dan bentuk-bentuk permainan lain yang tertata rapi.
Rumah Anyo didirikan Pinta Manullang-Panggabean bersama suaminya, Sabar Manullang. Rumah singgah dua lantai yang mulai beroperasi pada 27 Juni 2012 itu mempunyai luas sekitar 300 meter persegi. Dengan luas tersebut, bangunan itu mampu menampung 24 pasien beserta pendampingnya.
Pasien kanker yang menginap di Rumah Anyo umumnya berasal dari luar Jakarta. Antara lain, Makassar, Lampung, Banjarmasin, dan kota-kota lain. Tetapi, pada kasus tertentu, ada juga pasien dari kawasan pinggiran Jakarta yang "terpaksa" menginap di Rumah Anyo karena pertimbangan penghematan ongkos.
Rumah singgah itu menjadi alternatif bagi penderika kanker dari daerah karena lokasinya yang dekat dengan Rumah Sakit (RS) Dharmais serta RS Anak dan Bunda (RSAB) Harapan Kita. "Tinggal jalan kaki saja sudah sampai di dua rumah sakit tadi," ujar Pinta Manullang-Panggabean.
Perempuan kelahiran Jakarta 50 tahun silam itu menuturkan, Rumah Anyo sama sekali tidak menjalankan fungsi layanan medis kepada para tamu. Rumah itu hanya menampung sementara para penderita kanker, khususnya anak-anak, yang sedang menjalani terapi di Jakarta.
"Misi kami menampung para pasien kanker adalah ingin membantu meringankan beban keluarga pasien selama berobat di Jakarta," ujar dia.
Karena itu, dirinya tidak menarik ongkos menginap seperti di hotel atau penginapan lain yang harganya bisa ratusan ribu sampai jutaan rupiah semalam. Rumah Anyo hanya menarik "iuran kebersihan" Rp 5.000 (lima ribu rupiah) per hari. Uang itu memang hanya untuk ongkos menyapu lantai dan mengganti seprai.
"Kasihan keluarga pasien. Sudah capek fisik karena harus ke Jakarta membawa anak mereka yang sakit, juga capek psikis. Mereka masih harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk mengobati anaknya," paparnya.
Pinta sangat tahu kondisi keluarga yang sedang mendapat "cobaan" merawat pasien kanker. Sebab, anak pertama Pinta yang bernama Andrew Maruli David Manullang mengidap kanker darah atau leukemia. Andrew yang lahir di Jakarta pada 14 Juni 1989 itu akhirnya meninggal dengan wajah tersenyum pada 7 Desember 2008.
Semasa hidup, Andrew punya nama panggilan sayang, Anyo. Nah, nama itulah yang kemudian diabadikan Pinta untuk menamai rumah singgah bagi anak-anak penderita kanker tersebut. Setiap melihat bocah-bocah penderita kanker di Rumah Anyo, Pinta mengaku sering teringat Anyo.
"Tetapi, saya tidak boleh menunjukkan rasa sedih kepada mereka," jelas perempuan yang bekerja sebagai media representative Euromoney itu.
Pinta lantas menceritakan kisah Anyo sejak terserang leukemia hingga dijemput Sang Pencipta. Saat awal sakit, Anyo sama sekali tidak menunjukkan bahwa dirinya menderita kanker darah. Oleh beberapa dokter yang memeriksa, Anyo divonis sakit tifus. "Tapi, tidak sembuh-sembuh. Tubuh Anyo malah semakin kurus. Kami jadi bingung," ungkap Pinta.
Diliputi kecemasan yang luar biasa, Anyo akhirnya menjalani observasi total di salah satu rumah sakit swasta di kawasan Cinere, Kota Depok. Hasilnya cukup mengejutkan, leukositnya tinggi sekali hingga mencapai seratusan ribu keping. Dari kondisi tersebut, diagnosis Anyo terkena leukemia sangat kuat. Tanpa pikir panjang, Pinta lalu membawa Anyo ke RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.
Saat itu Anyo masih berusia 11 tahun dan duduk di kelas 6 SD. Dia dibawa ke RSCM pada Oktober 2000. Kebetulan, saat itu sedang ada kerja sama antara RSCM dan Academisch Medisch Centrum (ACM) Belanda, semacam RS pendidikan di Indonesia. Kerja sama itu terkait dengan penanganan penderita kanker.
Anyo menjadi bagian dari model kerja sama penanganan penderita kanker tersebut. Karena itu, November 2000, dia diterbangkan ke Belanda untuk menjalani perawatan di Negeri Kincir Angin tersebut. Pengobatan kanker di ACM rata-rata sejenis kemoterapi.
Total Anyo menjalani pengobatan di ACM sekitar 3,5 bulan. Setelah kondisinya membaik, dia diperbolehkan pulang ke tanah air. Dia lalu melanjutkan sekolah di bangku SMP.
Tapi, saat menyiapkan diri menghadapi ujian kelas 3 SMP, tiba-tiba kondisi kesehatan Anyo turun drastis. Dia lantas diterbangkan ke Belanda lagi untuk menjalani pengobatan. Tidak membutuhkan waktu lama, dia diperbolehkan pulang karena kesehatannya sudah pulih kembali.
Kondisi memburuk terjadi lagi ketika Anyo duduk di kelas 3 SMA dan menghadapi ujian akhir. Bahkan, kali ini agak parah. "Dugaan saya, pemicunya karena Anyo stres. Sebab, dua kali dia drop ketika akan menghadapi ujian," ujarnya. "Tapi, kata dokter bukan itu penyebabnya."
Saat kondisi Anyo turun drastis menjelang kuliah itu, tim dokter di Belanda menyarankan agar dia menjalani transplantasi stem cell (sel induk atau sel punca). Kala itu sel induk yang akan ditransplantasikan ke Anyo adalah milik Andri Manullang, anak kedua Pinta, yang masih 15 tahun.
"Si adik tidak keberatan. Dia ikhlas demi membantu kesembuhan kakaknya," kenang Pinta.
Operasi transplantasi dilakukan pada 9 Mei 2007 dan berlangsung lancar. Awalnya, transplantasi stem cell itu dinilai cukup berhasil. Kondisi Anyo terus membaik. Setiap tes kesehatan, komposisi sel darahnya normal. Anyo pun sempat mengenyam kuliah di Amsterdam, Belanda.
Tetapi, setahun kemudian, April 2008, kesehatan Anyo turun lagi. Kali ini dokter sudah kehabisan cara. Sebab, transplantasi sel induk setahun sebelumnya dianggap sebagai upaya akhir. Anyo pun disarankan untuk menjalani kemoterapi umum.
Saran itu dijalankan Pinta. Dia membawa Anyo untuk menjalani kemoterapi yang sedianya berlangsung enam kali. Tetapi, saat memasuki kemoterapi ketiga, kondisi Anyo benar-benar lemah. "Saya harus legawa. Menangis bombay percuma, malah membuat Anyo stres," katanya.
Melihat kondisi anaknya yang "tak berpengharapan lagi", Pinta sempat menawari Anyo untuk tetap dirawat di Belanda atau pulang ke Indonesia. Anyo pun seperti menyadari umurnya tidak lama lagi. Karena itu, dia memilih pulang ke tanah air. Benar saja, tidak lama kemudian, tepatnya 7 Desember 2008, pemuda cerdas itu akhirnya mengembuskan napas terakhir dengan damai.
Belajar dari kasus anaknya tersebut, Pinta dapat memetik nilai positif. Dia harus menghargai proses, sedangkan urusan hasil akhir bukan wewenang manusia.
"Saya sering berpesan kepada orang tua pasien agar kooperatif dengan dokter yang merawat anak kita," tegasnya.
Misalnya, ketika dokter bilang harus segera dibiopsi (pengangkatan sejumlah jaringan tubuh untuk cek laboratorium), orang tua harus menyetujui. Hal itu dilakukan supaya keganasan kanker tidak kian menjadi-jadi.
Melalui bendera Yayasan Anyo Indonesia (YAI), Pinta kerap berkelana ke berbagai kota untuk mengampanyekan bahaya kanker. Khususnya yang menjangkiti anak-anak. Dalam setiap aktivitasnya itu, dia membawa serta dokter dari Jakarta.
Sayangnya, jumlah dokter ahli yang berkompeten menangani pasien kanker anak-anak di Indonesia masih minim. Jumlahnya berkisar 70 orang. Itu pun terpusat di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya.
Meski begitu, dia bertekad untuk terus mengembangkan fungsi Rumah Anyo sebagai rumah sementara anak-anak penderita kanker. Dia yakin tarif Rp 5.000 per hari itu tidak memberatkan orang tua atau keluarga penderita kanker.
"Ini proyek kemanusiaan. Kasihan mereka sudah jauh-jauh ke Jakarta dan harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Mudah-mudahan Rumah Anyo dapat sedikit meringankan beban keluarga pasien," ujar Pinta sembari mengetuk hati para dermawan untuk bersedia mendonasikan sedikit rezekinya melalui YAI. (*/c5/ari)
M. HILMI SETIAWAN, Jakarta
=========================
MARKAS Yayasan Anyo Indonesia (YAI) atau yang lebih dikenal dengan sebutan Rumah Anyo terletak di Jalan Anggrek Nelli Murni A-110, Slipi, Jakarta Barat. Jika dibanding deretan rumah di sekitarnya, Rumah Anyo terlihat jangkung. Lantai satu rumah itu lebih tinggi sekitar 2 meter dari jalan raya.
Saat dikunjungi Kamis pekan lalu (16/5), Rumah Anyo tampak sepi. Hari itu tidak banyak "tamu" yang datang. Meski begitu, pengelola tetap menyiapkan aneka mainan layaknya di taman kanak-kanak di teras rumah. Misalnya, ayunan, papan luncur, dan bentuk-bentuk permainan lain yang tertata rapi.
Rumah Anyo didirikan Pinta Manullang-Panggabean bersama suaminya, Sabar Manullang. Rumah singgah dua lantai yang mulai beroperasi pada 27 Juni 2012 itu mempunyai luas sekitar 300 meter persegi. Dengan luas tersebut, bangunan itu mampu menampung 24 pasien beserta pendampingnya.
Pasien kanker yang menginap di Rumah Anyo umumnya berasal dari luar Jakarta. Antara lain, Makassar, Lampung, Banjarmasin, dan kota-kota lain. Tetapi, pada kasus tertentu, ada juga pasien dari kawasan pinggiran Jakarta yang "terpaksa" menginap di Rumah Anyo karena pertimbangan penghematan ongkos.
Rumah singgah itu menjadi alternatif bagi penderika kanker dari daerah karena lokasinya yang dekat dengan Rumah Sakit (RS) Dharmais serta RS Anak dan Bunda (RSAB) Harapan Kita. "Tinggal jalan kaki saja sudah sampai di dua rumah sakit tadi," ujar Pinta Manullang-Panggabean.
Perempuan kelahiran Jakarta 50 tahun silam itu menuturkan, Rumah Anyo sama sekali tidak menjalankan fungsi layanan medis kepada para tamu. Rumah itu hanya menampung sementara para penderita kanker, khususnya anak-anak, yang sedang menjalani terapi di Jakarta.
"Misi kami menampung para pasien kanker adalah ingin membantu meringankan beban keluarga pasien selama berobat di Jakarta," ujar dia.
Karena itu, dirinya tidak menarik ongkos menginap seperti di hotel atau penginapan lain yang harganya bisa ratusan ribu sampai jutaan rupiah semalam. Rumah Anyo hanya menarik "iuran kebersihan" Rp 5.000 (lima ribu rupiah) per hari. Uang itu memang hanya untuk ongkos menyapu lantai dan mengganti seprai.
"Kasihan keluarga pasien. Sudah capek fisik karena harus ke Jakarta membawa anak mereka yang sakit, juga capek psikis. Mereka masih harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk mengobati anaknya," paparnya.
Pinta sangat tahu kondisi keluarga yang sedang mendapat "cobaan" merawat pasien kanker. Sebab, anak pertama Pinta yang bernama Andrew Maruli David Manullang mengidap kanker darah atau leukemia. Andrew yang lahir di Jakarta pada 14 Juni 1989 itu akhirnya meninggal dengan wajah tersenyum pada 7 Desember 2008.
Semasa hidup, Andrew punya nama panggilan sayang, Anyo. Nah, nama itulah yang kemudian diabadikan Pinta untuk menamai rumah singgah bagi anak-anak penderita kanker tersebut. Setiap melihat bocah-bocah penderita kanker di Rumah Anyo, Pinta mengaku sering teringat Anyo.
"Tetapi, saya tidak boleh menunjukkan rasa sedih kepada mereka," jelas perempuan yang bekerja sebagai media representative Euromoney itu.
Pinta lantas menceritakan kisah Anyo sejak terserang leukemia hingga dijemput Sang Pencipta. Saat awal sakit, Anyo sama sekali tidak menunjukkan bahwa dirinya menderita kanker darah. Oleh beberapa dokter yang memeriksa, Anyo divonis sakit tifus. "Tapi, tidak sembuh-sembuh. Tubuh Anyo malah semakin kurus. Kami jadi bingung," ungkap Pinta.
Diliputi kecemasan yang luar biasa, Anyo akhirnya menjalani observasi total di salah satu rumah sakit swasta di kawasan Cinere, Kota Depok. Hasilnya cukup mengejutkan, leukositnya tinggi sekali hingga mencapai seratusan ribu keping. Dari kondisi tersebut, diagnosis Anyo terkena leukemia sangat kuat. Tanpa pikir panjang, Pinta lalu membawa Anyo ke RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.
Saat itu Anyo masih berusia 11 tahun dan duduk di kelas 6 SD. Dia dibawa ke RSCM pada Oktober 2000. Kebetulan, saat itu sedang ada kerja sama antara RSCM dan Academisch Medisch Centrum (ACM) Belanda, semacam RS pendidikan di Indonesia. Kerja sama itu terkait dengan penanganan penderita kanker.
Anyo menjadi bagian dari model kerja sama penanganan penderita kanker tersebut. Karena itu, November 2000, dia diterbangkan ke Belanda untuk menjalani perawatan di Negeri Kincir Angin tersebut. Pengobatan kanker di ACM rata-rata sejenis kemoterapi.
Total Anyo menjalani pengobatan di ACM sekitar 3,5 bulan. Setelah kondisinya membaik, dia diperbolehkan pulang ke tanah air. Dia lalu melanjutkan sekolah di bangku SMP.
Tapi, saat menyiapkan diri menghadapi ujian kelas 3 SMP, tiba-tiba kondisi kesehatan Anyo turun drastis. Dia lantas diterbangkan ke Belanda lagi untuk menjalani pengobatan. Tidak membutuhkan waktu lama, dia diperbolehkan pulang karena kesehatannya sudah pulih kembali.
Kondisi memburuk terjadi lagi ketika Anyo duduk di kelas 3 SMA dan menghadapi ujian akhir. Bahkan, kali ini agak parah. "Dugaan saya, pemicunya karena Anyo stres. Sebab, dua kali dia drop ketika akan menghadapi ujian," ujarnya. "Tapi, kata dokter bukan itu penyebabnya."
Saat kondisi Anyo turun drastis menjelang kuliah itu, tim dokter di Belanda menyarankan agar dia menjalani transplantasi stem cell (sel induk atau sel punca). Kala itu sel induk yang akan ditransplantasikan ke Anyo adalah milik Andri Manullang, anak kedua Pinta, yang masih 15 tahun.
"Si adik tidak keberatan. Dia ikhlas demi membantu kesembuhan kakaknya," kenang Pinta.
Operasi transplantasi dilakukan pada 9 Mei 2007 dan berlangsung lancar. Awalnya, transplantasi stem cell itu dinilai cukup berhasil. Kondisi Anyo terus membaik. Setiap tes kesehatan, komposisi sel darahnya normal. Anyo pun sempat mengenyam kuliah di Amsterdam, Belanda.
Tetapi, setahun kemudian, April 2008, kesehatan Anyo turun lagi. Kali ini dokter sudah kehabisan cara. Sebab, transplantasi sel induk setahun sebelumnya dianggap sebagai upaya akhir. Anyo pun disarankan untuk menjalani kemoterapi umum.
Saran itu dijalankan Pinta. Dia membawa Anyo untuk menjalani kemoterapi yang sedianya berlangsung enam kali. Tetapi, saat memasuki kemoterapi ketiga, kondisi Anyo benar-benar lemah. "Saya harus legawa. Menangis bombay percuma, malah membuat Anyo stres," katanya.
Melihat kondisi anaknya yang "tak berpengharapan lagi", Pinta sempat menawari Anyo untuk tetap dirawat di Belanda atau pulang ke Indonesia. Anyo pun seperti menyadari umurnya tidak lama lagi. Karena itu, dia memilih pulang ke tanah air. Benar saja, tidak lama kemudian, tepatnya 7 Desember 2008, pemuda cerdas itu akhirnya mengembuskan napas terakhir dengan damai.
Belajar dari kasus anaknya tersebut, Pinta dapat memetik nilai positif. Dia harus menghargai proses, sedangkan urusan hasil akhir bukan wewenang manusia.
"Saya sering berpesan kepada orang tua pasien agar kooperatif dengan dokter yang merawat anak kita," tegasnya.
Misalnya, ketika dokter bilang harus segera dibiopsi (pengangkatan sejumlah jaringan tubuh untuk cek laboratorium), orang tua harus menyetujui. Hal itu dilakukan supaya keganasan kanker tidak kian menjadi-jadi.
Melalui bendera Yayasan Anyo Indonesia (YAI), Pinta kerap berkelana ke berbagai kota untuk mengampanyekan bahaya kanker. Khususnya yang menjangkiti anak-anak. Dalam setiap aktivitasnya itu, dia membawa serta dokter dari Jakarta.
Sayangnya, jumlah dokter ahli yang berkompeten menangani pasien kanker anak-anak di Indonesia masih minim. Jumlahnya berkisar 70 orang. Itu pun terpusat di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya.
Meski begitu, dia bertekad untuk terus mengembangkan fungsi Rumah Anyo sebagai rumah sementara anak-anak penderita kanker. Dia yakin tarif Rp 5.000 per hari itu tidak memberatkan orang tua atau keluarga penderita kanker.
"Ini proyek kemanusiaan. Kasihan mereka sudah jauh-jauh ke Jakarta dan harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Mudah-mudahan Rumah Anyo dapat sedikit meringankan beban keluarga pasien," ujar Pinta sembari mengetuk hati para dermawan untuk bersedia mendonasikan sedikit rezekinya melalui YAI. (*/c5/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Lulus UN, meski Sempat Nunggak Uang Sekolah
Redaktur : Tim Redaksi