Eka Wulan tidak pernah menyangka bahwa kecelakaan ringan yang menimpanya pada 30 Oktober 2011 berbuah penyakit langka. Sejak itu, Eka sering mimisan secara ekstrem. Setiap mimisan, darah yang keluar bisa lebih dari 1 liter.
DINDA LISNA AMILIA, Surabaya
SELASA (11/12) siang lalu, seperti biasa, Binti Mahmudah menemani Eka Wulan yang masih tergolek lemah di ruang rawat inap THT-KL (telinga, hidung, tenggorok, kepala, leher) RSUD dr Soetomo Surabaya. Perempuan 46 tahun itu dengan telaten mendampingi dan merawat putrinya yang menderita penyakit langka pseudoaneurisma sinus sphenoid tersebut. Pseudoaneurisma sinus sphenoid adalah kelainan pembuluh darah di dalam pangkal hidung.
Lantaran kelainan itu, hampir setiap bulan Eka mimisan, setidaknya tiga kali. "Setiap mimisan, darah yang keluar bisa sekaleng cat ukuran sedang yang biasa untuk menimba air," jelas Binti kepada Jawa Pos.
Tentu saja mimisan yang tidak wajar itu membuat bingung keluarga Eka. Sebab, mereka khawatir gangguan itu berakibat fatal bila tidak segera diatasi.
"Untungnya, selama ini kalau kumat selalu ada orang di samping Eka. Kalau tidak ada yang menolong, darahnya pasti habis," imbuh warga Kelurahan Nimbaan, Kecamatan Panji, Kabupaten Situbondo, tersebut.
Selama ini, bila mimisan, biasanya gadis 21 tahun itu langsung dibawa ke IGD RSUD Abdurrahim Situbondo. Hal tersebut semata-mata dilakukan agar Eka segera mendapat pertolongan dengan tepat. Termasuk transfusi darah untuk mengganti darahnya yang hilang.
Eka sering mimisan sejak setahun lalu. Awalnya, pada 30 Oktober 2011, dia mengalami kecelakaan ringan saat mengendarai sepeda motor. Dia terjatuh begitu motornya ditabrak pengendara lain. Untung, kepalanya terlindungi helm yang digunakan.
"Jadi, cuma luka di pelipis, sekitar mata kiri. Dapat tiga jahitan dan berdarah sedikit di lutut," papar gadis kelahiran 28 Februari 1991 itu.
Setelah ditangani di salah satu rumah sakit, Eka diperbolehkan pulang dan beristirahat di rumah. Pada hari-hari selanjutnya Eka menjalani aktivitas seperti biasa. Namun, dua minggu pasca kecelakaan, tiba-tiba Eka mimisan. Dia menganggap itu mimisan biasa.
Namun, dugaannya salah. Darah ternyata terus keluar dengan deras dari hidungnya, bahkan sebagian mengental. Sang ibu, Binti Mahmudah, pun kaget dan bingung. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, keluarga lalu membawa Eka ke RSUD Abdurrahim.
Saat itu dokter IGD yang menangani mengatakan bahwa Eka hanya kecapekan. Karena itu, dia harus banyak istirahat agar tidak mimisan secara ekstrem. Eka pun menuruti perintah dokter.
Dalam beberapa hari kondisi Eka pulih. Dia bisa beraktivitas seperti sediakala. Tapi, dua minggu kemudian lagi-lagi mimisan Eka kumat. Darahnya mengucur deras dari hidung dengan jumlah yang tak kalah banyak.
"Kalau lagi kumat, jangankan bajunya, baju saya juga bersimbah darah. Kalau keluarnya di kasur, ya kasurnya jadi merah semua," cerita Binti.
Sejak itu, mimisan Eka sering kumat. Dalam seminggu, pernah sampai tiga kali dia mimisan. Kondisi tersebut membuat Eka menjadi langganan IGD RSUD Abdurrahim Situbondo. Tenaga medis yang menangani jadi hafal akan apa yang harus dilakukan bila Eka datang. Salah satunya adalah transfusi darah.
Eka sempat diduga bermasalah dengan pembuluh darahnya. Dokter yang menangani belum bisa mendiagnosis secara pasti penyakit Eka karena keterbatasan peralatan rumah sakit itu.
Yang dilakukan tim medis RSUD Abdurrahim ketika Eka masuk IGD lagi adalah memberikan dua botol infus dan mengganti darah yang keluar. Tak heran bila kemudian lengan dan tungkai Eka dipenuhi bekas suntikan infus.
Setelah berkali-kali mimisan secara ekstrem, pada Maret 2012 Eka dirujuk oleh pihak rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan di RSUD Syaiful Anwar Malang. Di sana Eka menjalani serangkaian pemeriksaan, mulai CT scan sampai MRI (magnetic resonance imaging).
Dari pemeriksaan itulah Eka diketahui menderita pseudoaneurisma sinus sphenoid atau kelainan pembuluh darah di dalam pangkal hidung. Namun, dokter di RSUD Syaiful Anwar tak mampu menangani. Eka disarankan untuk berobat ke RS Jakarta yang memiliki peralatan canggih.
Karena keterbatasan biaya, saran dokter itu tak dilakukan. Keluarga memilih membawa Eka ke RS Adi Husada di Surabaya. Dari RS itu, Eka dirujuk lagi ke RS Premier Surabaya untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Dokter yang memeriksa menyatakan bahwa kelainan yang dialami Eka bisa disembuhkan. Yakni, dengan pemasangan ring di pembuluh darah antara arteri karotis interna yang berbatasan dengan dinding sinus sphenoid. Hanya, harga ring itu tidak murah, sekitar Rp 100 juta.
"Kaki saya langsung lemas. Padahal, tabungan kami sudah hampir habis untuk biaya pengobatan Eka. Dalam perjalanan pulang ke Situbondo, saya menangis," kata Binti.
Beberapa hari setelah itu, Eka dan sang ibu pergi ke RSUD Abdurrahim, Situbondo. Mereka lalu disarankan untuk mengurus jamkesda (jaminan kesehatan daerah) agar Eka bisa mendapat tindakan operasi secara gratis.
Pengurusan jamkesda berjalan lancar. "Syukurlah, Pak Bupati memberi acc,"" tutur Binti.
Bahkan, sebelum berangkat ke RSUD dr Soetomo, Bupati Situbondo Dadang Wigiarto beserta istri mengunjungi Eka di rumah. Pada 4 Desember 2012, Eka diantar keluarga menuju rumah sakit terbesar di Indonesia Timur itu untuk menjalani pembedahan.
Dalam perjalanan menuju Surabaya, Eka sempat mimisan saat sampai di Probolinggo. Rombongan pun berhenti di salah satu RS untuk mendapat infus.
Sampai di Surabaya, Eka langsung masuk IRD RSUD dr Soetomo. Tiga hari kemudian, Jumat (7/12), dia menjalani operasi pemasangan ring di IDIK GBPT (Instalasi Diagnostik Intervensi Kardiovaskuler Gedung Pusat Terpadu).
"Operasi berlangsung pukul 10 sampai pukul 1 siang. Habis magrib sudah dipindah ke ruang rawat inap," papar Binti.
Keluarga Eka patut bersyukur. Selain operasi berlangsung lancar, mereka tidak mengeluarkan biaya pemasangan ring yang harganya selangit itu karena ter-cover jamkesda.
"Kami hanya mengganti beberapa biaya obatnya. Meski begitu, kami amat bersyukur karena penderitaan anak kami bisa hilang," tegas Binti.
Menurut dr Muhtarum Yusuf SpTHT-KL(K), kasus Eka tergolong penyakit sangat langka. Angka kejadiannya 1 kasus dibanding 100 kasus aneurisma bagian kepala leher. Jadi, di antara 100 kasus aneurisma atau kelainan pembuluh darah di area kepala leher, hanya 1 kasus pseudoaneurisma sinus sphenoid. "Sejak saya berdinas di RSUD dr Soetomo pada 1997, baru kali ini ketemu penyakit ini," papar lulusan FK Unair tersebut.
Dokter yang akrab disapa Yusuf itu menuturkan, penyakit tersebut merupakan kelainan pembuluh darah di pangkal hidung atau bagian sinus sphenoid. Lebih spesifik, lemahnya arteri karotis interna yang berbatasan dengan dinding sinus sphenoid.
Karena tekanan di dalamnya sangat kuat, pembuluh darah kian tipis, menggelembung, dan rapuh. Pada keadaan tertentu, pembuluh darah bisa pecah yang membuat darah mengucur deras lewat hidung. Umumnya, hampir semua kasus kelainan itu dipicu trauma (kecelakaan).
Spesialis radiologi dr Hartono Yudi Sarastika SpRad (K) yang juga menangani kasus Eka menambahkan, saking langkanya kelainan itu, tim RSUD dr Soetomo harus mendatangkan pakar radiologi intervensi dari Malaysia, Prof dr Subri Muda. Subri ikut dalam pembedahan Eka.
Menurut Hartono, kondisi Eka masih terus dipantau. Bila sebulan ke depan tidak mimisan dan HB-nya normal, dia diperbolehkan pulang. "Keluarga tak perlu khawatir karena semua di-cover jamkesda," tegasnya. (*/c11/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Rokhmin Dahuri, Bekas Menteri yang Pertama Dijerat KPK
Redaktur : Tim Redaksi