Terkendala Bahasa, Tim Rusia jadi Sasaran Ledekan

Jumat, 18 Mei 2012 – 07:07 WIB
Tim SAR Rusia di Gunung Salak. Foto : Kelik/Radar Bogor/JPNN

Kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet 100 membuat Gunung Salak semakin dikenal publik hingga ke mancanegara. Ya, pesawat canggih buatan Rusia itu "terkubur" di jurang Puncak Salak I yang memiliki ketinggian 2.211 meter.

Muhammad Ridwan

SEJAK Kamis (10/5), suasana di Puncak Gunung Salak I mendadak ramai. Gunung ini didatangi ratusan aparat dari Kopassus, TNI AD, TNI AL, Polri, Wanadri dan relawan serta para pencinta alam. Mereka datang bukan untuk berperang maupun berkemah. Para abdi negara itu mengemban misi kemanusiaan, yakni melakukan pencarian dan evakuasi korban pesawat Sukhoi Superjet 100 yang jatuh di jurang Gunung Salak I pada Rabu (9/5).
   
Memasuki hari keenam (15/5) evakuasi korban, suasana di Gunung Salak masih cukup ramai. Ratusan tenda tim SAR tampak mengelilingi lapangan berukuran 4 x 15 meter. Ada yang menggunakan tenda dome, ada juga yang hanya menggunakan daun-daun sebagai tempat berteduh dan nginap saat malam.

Kendati demikian, kondisi ini jauh lebih baik ketimbang pada hari pertama pencarian korban. Saat itu, para tim relawan tidur tanpa tenda dan sebagiannya lagi bergelantungan di pepohonan.
   
Beberapa warga Cimelati, Sukabumi juga tampak hilir mudik di lokasi itu. Ada yang menjajakan dagangan, ada juga yang menjadi relawan pengangkut logistik tim SAR. Di tempat ini, dagangan seperti  roti dan rokok dijual dengan harga supermahal. Sebungkus roti dijual dengan harga Rp3.000. Meski terbilang mahal, dagangan warga laris tak tersisa.
   
Sore itu, Selasa (15/5), tim SAR baru saja pulang dari lokasi pesawat jatuh untuk mengevakuasi mayat di dasar jurang. Mereka diarahkan ke Pos PMI yang tak jauh dari makam  Raden KH Syekh Mohomammad Hasan
   
Pukul 18:00, hari mulai gelap. Satu per satu aparat masuk ke dalam tenda. Sebagiannya lagi masih sibuk mengobrol di lapangan. Alunan musik dari beberapa tenda juga terdengar. Sementara tim dari Wanadri sibuk memantau tenda-tenda yang belum mendapatkan logistik.
    
Dua jam kemudian, hawa dingin Puncak Salak I mulai menyerang hingga ke tulang sum-sum. Malam semakin larut, dingin pun semakin terasa. Tak sedikit anggota tim SAR dan relawan yang terlihat menggigil sambil menekuk lutut. Wartawan Radar Bogor yang ikut bermalam juga merasakan hal serupa.

"Saya sudah lima hari di sini. Kemarin malam (Senin malam) jauh lebih dingin karena hujan, sehingga sulit tidur,‚Äù  ujar Irawan, anggota tim SAR dari Kopassus kepada Radar Bogor (JPNN Group).
   
Meski dibalut lelah dan dingin, tentara asal Bone, Sulawesi Selatan itu tetap terlihat ceria. Sesekali pria yang masih bujang itu bercanda dan tertawa lepas. "Foto pramugarinya cantik banget, statusnya belum kawin lagi," candanya saat menceritakan penemuan mayat di dasar jurang.
   
Lelaki yang diberi tugas khusus untuk mengawal tim dari Rusia itu mengaku sudah rindu untuk berkomunikasi dengan sang ibu. Tapi demi tugas yang dia emban, kerinduan itu harus dia abaikan. "Ibu saya pasti khawatir nih, soalnya sudah lima hari tak kasih kabar," imbuhnya.
     
Lain lagi dengan Andi. Pria yang juga dari Sulawesi Selatan itu terlihat lebih serius. Andi dan Irawan satu angkatan karena sama-sama diterima pada periode yang sama, hanya keduanya ditugaskan di lokasi berbeda. Andi di Bogor, sedangkan Irawan di Banten. "Sejak berpisah tujuh bulan lalu, kami baru ketemu lagi di sini (Puncak Salak I)," ujar Andi.
   
Selama lima hari di Puncak Salak I, Andi dan Irawan mengaku tidak pernah mendengar suara-suara aneh seperti suara tangisan minta tolong sebagaimana diperbincangkan masyarakat Bogor dan Sukabumi. "Ah tidak ada itu. Saya tidak pernah dengar. Itu hanya cerita masyarakat," imbuhnya.
   
Pengakuan serupa dilontarkan Koordinator Wanadri untuk Posko Cimelati, Asep Rachmat. "Itu bohong. Tidak ada suara-suara seperti itu. Yang bilang ada suara tangisan dan minta tolong suru ketemu saya,"  kata Asep kepada Radar Bogor.
   
Kehadiran Wanadri di Puncak Salak I cukup membantu. Selain ikut melakukan pencarian korban, Wanadri juga memantau  tenda-tenda di Puncak Salak I yang tidak memiliki logistik. "Kalau ada yang kekurangan, kita usahakan bantu,"  imbuhnya.

Selain di Cimelati, Wanadri juga memiliki anggota yang bertugas di Cipelang, Pasirpogor. "Kita ada 20-an. Di Puncak Salak I sendiri ada sekitar enam anggota yang selalu siaga,"  imbuhnya.
   
Sementara itu, kehadiran tim Rusia yang mendirikan empat tenda di sudut Puncak Salak I menjadi hiburan tersendiri bagi tim SAR. Ya, mereka sering menjadi sasaran ledekan karena tak mengerti bahasa Indonesia dan jarang berbaur dengan tim SAR maupun relawan.

Kemarin pagi (17/5), bule tersebut keluar dari dalam tenda untuk jogging di lapangan. Setelah itu, mereka kembali ke tenda untuk sarapan sambil berdiri tanpa mengenakan baju.

"Liat tuh si Rusia, berdiri minum sambil pegang susu kayak bencong,"  kata seorang anggota tim SAR yang kemudian disambut tawa oleh para temannya.  "Ah.. makanan si Rusia sudah kadaluarsa," cetus anggota lainnya.
   
Kendala bahasa menjadi salah satu faktor seringnya tim Rusia menjadi bahan tertawaan. Setiap saat, mereka berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Rusia, sedangkan tim SAR menggunakan bahasa Indonesia, sehingga sama-sama tidak saling mengerti bahasa masing-masing. 

"Kita hanya pakai bahasa isyarat karena mereka juga tidak lancar bahasa Inggris," tutur Irawan, anggota Tim SAR yang ditugaskan untuk mengawal tim Rusia.
   
Kemarin, tim Rusia ikut membantu evakuasi jenazah korban Sukhoi. Namun, mereka ditempatkan di titik paling atas, tepatnya di pinggir Lapangan. Pada Selasa (15/5), mereka sempat turun ke lokasi penemuan mayat, tetapi tak ikut melakukan evakuasi, melainkan hanya memotret puing-puing pesawat. (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Keluh Kesah Tim Evakuasi Sukhoi yang Bekerja Sama dengan Tim SAR Rusia


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler