jpnn.com, JAKARTA - Riset Net Zero Waste Management Consortium mengungkap sampah sejumlah merek minuman ternama masih menumpuk. Padahal, mereka getol mengiklankan diri sebagai perusahaan ramah lingkungan.
Pada 22 November 2023, riset menyebut sampah plastik brand tersebut ditemukan dalam volume besar di bak/tong sampah, Tempat Pembuangan Sementara (TPS).
BACA JUGA: Marcell Darwin Perdana Pakai Baju Hasil Daur Ulang Sampah Botol Plastik, Begini Katanya
Kemudian, truk sampah, Tempat Pembuangan Akhir (TPA), badan-badan air, tanah kosong, tepi jalan, pesisir, laut, dan banyak lagi.
"Sampah kemasan produk konsumen ukuran kecil memang selalu jadi masalah terbesar di setiap TPA di enam kota besar tersebut," kata Ahmad Syafrudin, Lead Researcher Net Zero dalam keterangannya, Senin (12/2).
BACA JUGA: Kampanye Kurangi Sampah Plastik, Foopak Bio Natura & JumpStart Berkolaborasi
Menurut Ahmad, meski secara tonase terlihat kalah dari sampah organik rumah tangga, faktanya sampah anorganik seperti kemasan plastik produk konsumen jauh lebih makan tempat.
"Volumenya selalu besar, mau itu gerobak pemulung, TPS, truk sampah, TPA, pinggir sungai dan sebagainya," ungkap Ahmad.
BACA JUGA: Sampah Gelas Air Mineral Ancam Laut Indonesia, Peneliti Beber Fakta Ini
Ahmad mengatakan, temuan riset ini mengindikasikan program pengurangan sampah oleh perusahaan-perusahaan pemilik brand belum efektif.
Pada kategori sampah kemasan botol plastik, riset menyebut tiga brand minuman berkarbonisasi mendominasi pembuangan akhir sampah di Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar, Samarinda dan Bali.
Disebutkan dalam laporan riset, dari tiga brand itu total 1.930.495 buah sampah plastik yang berhasil diidentifikasi di enam kota.
Bila ditotal, total sampah trio brand minuman bersoda mengalahkan total sampah botol dia brand minuman mineral.
Sampah botol produk minuman, seluruhnya menggunakan kemasan plastik Polietilena Terefatalat, sebenarnya bernilai ekonomis sehingga tak seharusnya tercecer di pembuangan sampah atau lingkungan terbuka.
Masalahnya, kata Ahmad, bank sampah, yang digadang-gadang menjadi tulang punggung dalam skema Circular Economy (CE) pengelolaan sampah, belum berjalan efektif di semua kota.
Ahmad juga menengarai ketidakjelasan implementasi ERP dan CR menjadikan kalangan produsen leluasa mencitrakan dirinya sebagai korporasi yang ramah lingkungan, meski faktanya jauh dari itu.
"Pemerintah perlu meningkatkan panduan dan bimbingan teknis pelaksanaan EPR dan CE agar program ini lebih efektif," tuturnya. (jlo/jpnn)
Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh