jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah berencana menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial alias BPJS Kesehatan 100 persen.
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Perpres 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
BACA JUGA: Iuran BPJS Kesehatan Naik, Fadli Zon: Kebijakan Publik Yang Buruk
Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Saleh Partaonan Daulay mengatakan pemerintah sebenarnya sudah lama ingin menaikkan iuran BPJS Kesehatan ini.
“Kurang lebih tiga setengah tahun lalu mereka sudah bolak balik datang ke DPR mengusulkan itu,” kata Saleh dalam diskusi “Bagaimana Solusi Perpres BPJS?” di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (12/11).
BACA JUGA: Tunggakan Rp 400 Miliar, BPJS Kesehatan Dipanggil DPRD Riau
Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu menambahkan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) bahkan sudah diminta melakukan perhitungan aktualisnya untuk mengetahui besaran ideal kenaikan iuran tersebut.
Dia mengaku tidak tahu kenapa pemerintah tidak menaikkan saat itu. Saleh menduga, pemerintah menunggu situasi politik stabil.
BACA JUGA: Menko Muhadjir Pastikan Peserta BPJS Kesehatan Dapat Pelayanan Terbaik
Sebab, kalau dinaikkan menjelang pemilu maka jumlah penolakan pasti akan lebih besar.
“Setelah pemilu saja penolakannya besar,” ujar Saleh.
Akhirnya, setelah pemilu pemerintah menaikkan iuran 100 persen. Perinciannya, iuran kelas III dari Rp 25.500 menjadi Rp 42 ribu.
Kelas II dari Rp 42 ribu menjadi Rp 110 ribu. Kelas I menjadi Rp 160 ribu. “Ini besar sekali,” tegasnya.
DPR meminta pemerintah mengatasi kenaikan yang dialami peserta mandiri, yang terdiri dari peserta bukan penerima upah atau PBPU dan bukan pekerja (BP) yang berjumlah sekitar 19,8 juta jiwa.
Ada tiga opsi yang bisa ditempuh. Pertama, PBPU dan BP ini dimasukkan ke dalam kelompok penerima bantuan iuran (PBI) yang iurannya dibayarkan dari APBN dan APBD.
Saat ini jumlah PBI 96,8 juta. Masih ada slot tambahan. Menurut dia, idealnya dengan jumlah penduduk 270 juta, maka PBI-nya 40 persen dari garis bawah miskin.
“Kalau 40 persen kan diperkirakan 107 juta orang. Nah, sekarang kan baru 96,8 juta sehingga masih ada slot di situ,” katanya.
Saleh menjelaskan alasan mendorong supaya masuk ke peserta PBI karena mereka yang masuk dalam katagori PBPU dan BP ini merupakan kelompok tidak mampu.
“Sementara yang PBI itu bukan hanya miskin namun orang tidak mampu. Potensi miskin sudah masuk kelompok itu,” jelasnya.
Kedua, Saleh meminta pemerintah memberikan subsidi PBPU dan BP. Dia mencontohkan dalam Perpres 75/2019 mereka harus membayar Rp 42 ribu.
“Mereka tetap bayar Rp 25.500 tetapi disubsidi pemerintah kekurangannya supaya bisa mencapai Rp 42.000. Jadi (subsidinya) sekitar Rp 16.500,” jelasnya.
Menurut Saleh, berdasar perhitungan kasarnya pemerintah membutuhkan Rp 3,9 triliun untuk menutupi biaya subsidi tersebut.
“Inilah pilihan kedua supaya berkeadilan,” tegas politikus dari daerah pemilihan (dapil) Sumatera Utara (Sumut) II itu.
Ketiga, Saleh meminta pemerintah mencari anggaran untuk menutupi kekurangan dan defisit yang dialami BPJS Kesehatan. “Daripada menaikkan iuran untuk mereka (PBPU dan BP) ya pemerintah kami dorong untuk mencari anggaran,” katanya.
Menurut dia, tiga opsi ini mungkin masih bisa dilakukan pemerintah. Hanya saja, Saleh membaca pernyataan pemerintah atau kementerian keuangan yang menyatakan akan tetap menaikkan iuran BPJS Kesehatan.
“Memang iuran BPJS itu kewenangan untuk menaikkan dan menurunkan atau menentukan besarannya itu adalah di tangan pemerintah,” pungkasnya. (boy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Boy