jpnn.com, JAKARTA - Pengamat intelijen dan pertahanan Andi Widjajanto menyatakan, Indonesia harus melihat aksi teroris sebagai kejahatan tindak pidana serius dan luar biasa. Menurutnya, harus ada kewenangan khusus bagi aparat untuk menghadapi teroris.
"Perkembangan organisasi sel teroris tidak normal. Ini sudah kejahatan khusus, kejahatan luar biasa. Kalau ada kejahatan khusus dan luar biasa, butuh kewenangan khusus dan kewenangan tambah," kata Andi dalam diskusi bertema Ketahanan Nasional dan Ancaman Terorisme di DPP Partai Nasdem, Jakarta Pusat, Selasa (15/6) malam.
BACA JUGA: Gerindra: Jangan Sampai Negara jadi Bulan-bulanan Teroris
Mantan sekretaris kabinet itu menambahkan, salah satu poin penting dalam revisi Undang-undang Antiterorisme memang menambah kewenangan aparat. Namun, hal yang perlu diperhatikan adalah menghindari penyelewengan oleh aparat lantaran kewenangannya yang bertambah.
"Bagaimana kebijakan tersebut membuat anteng 250 juta penduduk, tetapi melibas lima ribu orang teroris," kata dia.
BACA JUGA: Awas, Sopir Avanza Pengangkut Teroris Masih Berkeliaran
Menurutnya, peristiwa rentetan bom bunuh diri yang melibatkan satu keluarga menempatkan Indonesia pada situasi khusus. Dalam peristiwa itu, kata Andi, teroris tidak mempertimbangkan hak asasi manusia (HAM) ataupun hukum perang yang melarang pelibatan anak-anak ataupun perempuan.
"Sekarang, Indonesia dalam kondisi ada kejadian khusus yang tidak peduli dengan HAM. Yang perlu dilakukan adalah memberikan kepercayaan untuk memberikan kewenangan khusus kepada aparat," ucap Andi.
BACA JUGA: Turun dari Mobil, Terduga Teroris Langsung Sabetkan Samurai
Menurutnya, Revisi UU Terorisme pada dasarnya memberikan seluruh kewenangan tambahan. Salah satu kewenangan khusus dalam pemberantasan terorisme adalah dalam hal deteksi dini dan pelibatan TNI.
Khusus TNI bisa dilibatkan dengan dua cara. Yakni TNI mengatasi ancaman terorisme dengan operasi militer selain perang yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004, serta membantu polisi mencegah tindak pidana terorisme.
Terkait pelibatan TNI atasi ancaman terorisme, sebenarnya pernah diterapkan Indonesia saat menghadapi situasi genting. Sedikitnya ada tiga kasus yang pernah ditangani TNI dalam menjalankan operasi selain perang, yakni pembebasan sandera di Somalia, reporter MetroTV Mutia Hafid di Irak, serta korban penyanderaan kelompok Abu Sayyaf di Filipona.
"Selama itu, pelibatan TNI dalam operasi selain perang tidak pernah menimbulkan masalah, apalagi menyasar kepada rakyat yang baik-baik saja," kata Andi.
Sedangkan Direktur Imparsial Al Araf mengatakan, tindakan terorisme berawal dari ujaran kebencian yang dapat membuat seseorang memiliki sikap intoleransi. Makin tinggi tingkat intoleransi seseorang, katanya, maka akan menimbulkan sikap radikal yang berujung pada tindakan aksi terorisme.
"Terorisme merupakan hasil akhir dari radikalisme. Bermula dari hate speech yang menguat, kemudian muncul intoleransi. Selanjutnya akan menuju ke radikalisme dan berujung ke terorisme," kata Al Araf.
Adapun Ketua DPP Partai Nasdem Bidang Pertahanan dan Keamanan Mayjen (Purn) Supiadin Aries Saputra menegaskan, saat ini kondisi politik Indonesia sudah superliberal. Kebebasan warga negara seolah tanpa batas sehingga memicu ujaran kebencian.
"Politik bukan keseragaman, tetapi keadilan. Indonesia sudah superliberal, bebas berpendapat. Padahal kebebasan itu juga dibatasi kebebasan orang lain," kata anggota Komisi I DPR itu.(tan/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Terduga Teroris Serang Mapolda Riau, Begini Kronologisnya
Redaktur : Tim Redaksi