jpnn.com, SURABAYA - Setahun lebih, Mayjen TNI Arif Rahman menjabat Pangdam V/Brawijaya. Sejumlah hal sudah dilakukan. Namun, yang paling terasa adalah sinergi dengan Polri dan TNI dari matra lain makin solid. Jika ada gesekan di bawah, penanganan berlangsung cepat. Dia juga dikenal sebagai sosok yang dekat dengan banyak kalangan.
Sulit menyangka jika sebenarnya Arif tak pernah punya niat karir di bidang militer. "Cita-cita saya malah menjadi atlet dan mendapat pekerjaan," katanya, lantas tertawa. Abad Supardi, sang ayah, hanya seorang guru. Begitu juga sang ibu, Entin Surtini. Keduanya juga tak pernah mendorong Arif untuk menjadi anggota TNI. Dia hanya diminta belajar dan belajar.
Arif di masa kecil sangat gemar olahraga. Apa pun dijalani. Sewaktu SD, dia ikut klub sepak bola bersama rekan sepermainannya di kampung. Kebiasaan olahraga itu terus terbawa hingga di SMA. ''Hanya bedanya, di SMA saya lebih gemar voli,'' katanya.
Kegemarannya pada voli tumbuh lantaran kakaknya menjadi atlet di Bandung. Setiap hari dia mengantar sang kakak untuk berlatih. Awalnya, bapak dua anak itu hanya melihat atlet berlatih di arena tersebut. ''Saya mulai tertarik dengan voli,'' ucapnya.
Keterampilan voli itu diasahnya sewaktu SMA. Tinggi badan yang hanya 174 sentimeter membuat dia berada di posisi pengumpan Awalnya, Arif menyangka tugas pengumpan lebih ringan. ''Ternyata, latihannya lebih berat,'' kata suami Mia Kusmiati itu.
Meski begitu, ada sisi positif yang dia dapat. Fisik Arif terlatih. Tak jarang, dia bersama rekan-rekannya ikut kompetisi voli yang mengatasnamakan sekolah. Mereka daftar patungan tanpa sepengetahuan sekolah. Pulang bawa piala. ''Sekolah sering kaget dengan prestasi yang kami bawa,'' kenang dia.
Lelaki yang pernah menjabat gubernur Akademi Militer itu semakin terobsesi menjadi atlet. Sang kakak yang lebih dahulu berkecimpung di olahraga voli kala itu bisa mendapat pekerjaan dengan mudah. ''Saya pikir, kalau aktif di olahraga, bakal mudah cari kerja,'' ujarnya.
Hanya itu obsesi Arif semasa SMA. Dia ingin belajar dengan tekun dan mudah mencari pekerjaan. Maklum, orang tua hanya seorang guru. Cita-citanya menjadi guru atau bekerja di tempat yang enak. ''Intinya mudah mendapat pekerjaan,'' cerita Arif.
Di tahun terakhir, sekolahnya kedatangan alumni yang belajar di Akademi Angkatan Udara. Mereka menyosialisasikan program pendidikan taruna. Yudi, rekan Arif yang tertarik dengan program itu, mengajak Arif untuk mendaftar.
Mereka lalu menyiapkan persyaratan yang diminta. Mulai membuat surat pernyataan, memohon izin dari orang tua, hingga beragam persiapan lainnya. Arif sekadar mengikuti Yudi. Dia tetap terobsesi menjadi atlet dan segera bekerja. Meski begitu, tahapan untuk mendaftar tetap dilalui. Termasuk tes pertama juga dijalani.
Arif masih ingat saat dirinya bersama Yudi melihat hasil pengumuman tes pertama. Nomor tesnya terpampang di papan pengumuman. Sementara itu, nomor Yudi tidak ada. ''Saya lulus,'' pikirnya. Yudi yang memiliki inisiatif justru tidak lolos pada seleksi tersebut. ''Sekarang malah dia yang jadi guru alias dosen,'' imbuhnya.
Proses penerimaan terus berlanjut. Kala itu, Arif belum paham tentang militer. Karena itu, jurusan yang dia pilih adalah Angkatan Udara. ''Saya mengikuti jejak kakak alumni di SMA,'' ucap dia. Setelah melalui beberapa kali tes psikologi, Arif ditempatkan di Angkatan Darat.
Penggemblengan dimulai di Magelang. Kala itu, orang tua Arif hanya bisa mendoakan. Arif pun pasrah. ''Apabila diterima, ya lanjut. Apabila sebaliknya, tidak masalah,'' ucapnya.
Proses penggemblengan terus berlanjut. Dia resmi diterima di Akademi Militer 1985. Tiga tahun kemudian, Arif resmi bertugas. Karir mulai berjalan. Berbagai posisi dan tugas sudah dia jalani. Dia bersyukur, hampir semua tugas mampu dilaksanakan dengan baik. (thoriq/c6/ano)
BACA JUGA: Masih Ada Bom, Kapolda, Pangdam dan Gubernur Dievakuasi
Redaktur : Tim Redaksi