TGB di Ambang Dilema Antara Poltikus dan Ulama

Selasa, 24 Juli 2018 – 15:00 WIB
Fadlin Guru Don. Foto: Dokpri for JPNN.com

jpnn.com - Oleh: Fadlin Guru Don
Akademisi Universitas Mercu Buana dan Direktur Strategi dan Analisis Data Lembaga Analisis Politik Indonesia

Nama K.H. Muhammad Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB), akhir-akhir ini sedang naik daun lantaran pernyataan vulgarnya memberikan dukungan kepada Presiden Joko Widodo untuk memimpin Indonesia sampai dua periode.

BACA JUGA: Pentolan Golkar Sebut Duet Jokowi - JK Masih Bisa Terjadi

Sikap TGB yang mengguncang jagat raya itu, bak artis dangdut Ayu Ting-Ting yang tiba-tiba dadakan terkenal oleh tembang lagu hitznya “Alamat Palsu” atau semacam Siti Badriah yang sudah lama tenggelam di dunia entertainment, namun kembali tenar dengan lagu “Aku Lagi Syantik" yang baru-baru ini sangat meghebohkan dunia maya.

Di tengah namanya pernah masuk dalam daftar Capres-Cawapres, sepertinya selama ini Tuan Guru Bajang kehilangan panggung untuk promosi diri, walaupun ia intens promosi lewat media sosial. Rasanya belum sempurna jika Media Mainstream tidak menyorotinya.

BACA JUGA: Pilpres 2019: Kalangan Santri Jabar Siap Menangkan Jokowi

Sebelum pernyataannya yang penuh kontroversial itu, hampir semua televisi nyaris tidak pernah meliput TGB, walaupun sebelumnya ia pernah ditayang karena prestasinya memimpin NTB.

Entah dia sengaja dibuat tenggelam oleh lawannya ataukah memang TGB adalah sosok hiburan saja? Tetapi, faktanya setelah ia memberikan pernyataan sikap untuk mendukung Jokowi, namanya melambung tinggi. Hampir semua stasiun televisi mengundang secara spesial Tuan Guru Bajang untuk memberikan keterangan terkait pernyataannya itu.

BACA JUGA: TGB Mundur dari Demokrat, Golkar Tebar Jaring

Berkat ucapan yang fenomenal itu, TGB harus mendapat beragam komentar dan tanggapan hingga dalam bentuk hinaan dan cacian. Berbanding terbalik dengan persespsi awal publik yang menganggap dia adalah tokoh yang berpendidikan dan seorang ulama Hafidz Quran, sehingga dia dikatakan sebagai figur yang sangat ideal untuk memimpin Indonesia.

Sebagai pemain baru dikancah nasional yang berasal dari luar Pulau Jawa, TGB cukup dibilang hebat. Popularitasnya meningkat pesat seperti disulap, hingga menembus ke seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Lalu apalagi yang bisa dilakukan oleh seorang TGB, tentu rakyat Indonesia sedang menunggu kejutan-kejutan lain yang bisa diperbuatnya.

Dilema antara Politikus dan Ulama

Posisi Tuan Guru Bajang antara seorang Politikus dan Ulama hampir sulit dibedakan. Di satu sisi dia adalah Gubernur dan kader Partai Demokrat, di sisi lain dia adalah seorang Da’i dan Hafidz Qur'an. Komposisi dirinya sangat komplit dan komprehensif, sehingga ia bisa dinyatakan sebagai seorang pemimpin yang memenuhi syarat ideal. Namun sayangnya persepsi itu luntur gegara sebaris kalimatnya yang mendukung Joko Widodo.

TGB terlihat seperti seseorang yang sedang dilema, ia sangat kebingungan untuk memisahkan dua eksistensi yang ada didalam dirinya, yakni untuk memilih menjadi politisi atau tetap bertahan pada posisinya sebagi Ulama.

Jika diinterpretasi, penulis menilai bahwa keputusan TGB dalam mendukung Jokowi adalah keputusan seorang politiskus, bukan keputusan seorang ulama, Kerena jika TGB berkapasitas sebagai ulama maka ia tidak akan mengingkari kemesraannya dengan para ulama lain dan umat Islam.

Hak politik seseorang tidak bisa dibatasi oleh siapapun, termasuk hak TGB untuk mendukung Jokowi.

Menurut penulis, pernyataan TGB menjadi polemik sebenarnya bukan karena dia mendukung Jokowi atau mendukung siapa, tetapi persoalan utamanya adalah identitasnya sebagai seorang ulama yang terlihat inkonsisten, karena selama ini ia telah membangun kekuatan bersama barisan umat. Bisa dibilang TGB telah menggali lubangnya sendiri.

Makna ideal politik akan terkikis, jika politik dipahami hanya sekadar urusan merebut dan mempertahankan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Oleh karena itu, sekalipun TGB adalah seorang politikus paling tidak dia harus sadar bahwa di sisi lain dia adalah tuan guru, teladan bagi semua orang.

Di tengah kondisi ulama sedang berada pada sejumlah perbedaan seperti saat ini, seyogyanya TGB tidak boleh bersikap seperti politikus murni yang kadang-kadang lompat sana lompat sini. TGB harus bisa berpolitik dengan cara yang berbeda dengan yang bukan Ulama, karena ucapan dan sikapnya adalah ilmu bagi orang lain. Sehingga politik tidak selalu identik dengan asal bisa berkuasa. Sebab politik merupakan usaha untuk mengelola dan menata sistem untuk mewujudkan kepentingan atau cita-cita bersama dari suatu bangsa.

Pernyataan TGB walaupun dianggap biasa, tetapi mampu menggugah selera publik. Sikap TGB tidak sekadar melahirkan perdebatan para tokoh-tokoh politik di negara ini, juga telah berhasil mengundang para ulama untuk angkat bicara. Seperti dilansir oleh sebuah media, misalnya sindiran yang datang dari barisan oposisi, yang pernah diuacapkan oleh kader partai Gerindra Fadli Zon bahwa, “kadar keimanan TGB dapat ditakar”. Juga pandangan yang berasal dari juru bicara PA 212 Habib Novel yang mengatakan dukungan TGB karena tersandera kasus KPK.

Ungkapan ini sekaligus pertanda bahwa TGB sudah tidak terlihat sebagai sosok yang independen, tetapi justru terlihat seperti tokoh yang mengincar kekuasaan dan berusaha barada pada titik aman dan melindungi diri. TGB layaknya seseorang yang sudah punya pacar tetapi tiba-tiba jatuh cinta lagi. Nah kondisi inilah yang membuat ia dilematis antara tetap bertahan dengan ulama atau bersama dengan Jokowi.

Indonesia ibarat kapal besar yang memiliki muatan yang tidak hanya emas dan minyak bumi, tetapi segala kebutuhan makhluk di muka bumi ini ada di dalamnya. Sudah pasti menjadi incaran bagi sejumlah elite untuk menahkodainya.

Hakikat politik yang berkiblat pada kepentingan rakyat atau berorientasi menjawab kepentingan dan kebaikan bersama (bonum commune), selalu menjadi tema utama orasi elite politik. Namun dalam praksis hidup politik, seringkali disalahgunakan sehingga tujuan politik menjadi tidak jelas.

Hal ini bisa dilihat dari perdebatan Kubu koalisi pendukung pemerintah dan koalisi oposisi, seperti halnya dengan skuad pandawa dan kurawa yang saling memerangi satu sama lain untuk merebut tahta Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga kalimat kecil TGB pun terus digoreng hingga persoalan yang urgen di negara ini terlupakan.

Akibatnya politik tidak lagi dirancang untuk melahirkan kebaikan bersama, tetapi menjadi batu loncatan untuk mencapai kepentingan pribadi atau kelompok. Pada titik inilah, makna politik menjadi distorsi. Meningkatnya intensitas korupsi sejumlah elite politik dan absennya mereka berada di tengah rakyat pada musim reses, menunjukkan politik mudah dibelokkan untuk memenuhi naluri pragmatisme elit sekaligus menelantarkan kepentingan rakyat.

Aristoteles yang dianggap sebagai orang pertama yang memperkenalkan kata politik menjelaskan bahwa hakikat kehidupan sosial adalah politik. Aristoteles memandang politik sebagai kecenderungan alami dan tidak dapat dihindari manusia. Sama halnya dengan anggapan bagi sebagian orang bahwa sikap TGB adalah biasa dan bagi sekelompok lainya menganggap TGB telah mengkhianati umat.

Asumsi-asumsi ini menjadi firal dan menjadi instrumen kampanye bagi kedua kubu pro dan kontra pemerintah. Misalkan, kubu pemerintah merasa dukungan TGB adalah kado terindah, tetapi bagi oposisi menganggap sebagai sebuah ancaman yang dapat menggeser fanatisme publik terhadap misi 2019 ganti Presiden. Ada semacam disorientasi nilai dari maksud dan tujuan politik yang tekesan sebagai ladang perebutan kekuasaan.

Beberapa waktu yang lalu TGB memang selalu bersama dengan gerbong PA 212. Bahkan ia sering berduet ceramah bersama dengan dengan Aa Gym, Ustaz Abdul Somad, Ustaz Arifin Ilham dan sejumlah ulama hebat lainya. Sehingga ia pun direkomendasikan sebagai salah satu calon presiden oleh Persatuan Alumni 212.

Rekomendasi ini punya dasar yang jelas, tentu karna dia dianggap sebagai seorang ulama sekaligus seoarang pemimpin yang telah berhasil. Ini bukti bahwa TGB memang ada pada lingkaran oposisi, bukan berada pada posisi pendukung pemerintah.

Mengapa TGB Membelot?

Tidak sedikit yang berdalih bahwa keputusannya itu berdasarkan pada hasil Istikharah dan pertimbangan yang matang. Biasanya pendapat yang seperti ini lahir dari pendukung pemerintah. Tetapi tidak sedikit juga yang mengatakan bahwa TGB bersikap oportunistik dalam mengincar posisi Cawapres Jokowi. Bahkan banyak yang berasumsi bahwa TGB sedang melindungi diri dari penyelidikan KPK Divestasi Saham Newmont yang menjepitnya saat ini. Bukan tidak mungkin karna berada pada naungan penguasa akan aman.

Penulis tidak ingin masuk pada persoalan yang melibatkan pada kepentingan politik dari kedua kubu itu, tetapi penulis lebih tertarik pada sikap TGB tidak mencerminkan ulama yang yang konsisten.

Ulama adalah orang yang paling takut kepada Allah, karena ia dianugerahi ilmu, mengetahui rahasia alam, hukum-hukum Allah, paham hak dan batil, bisa membedakan kebaikan dan keburukan, dan lain sebagainya. Di sisi lain ulama adalah pewaris para nabi, maka sejatinya apapun yang dilakukannya harus berkiblat pada sunah-sunah nabi.

Jika TGB memiliki prinsip berpegang teguh pada kejujuran dan kebenaran agama Allah, maka segala tindakan dan perilakunya tidak akan membuat orang lain semakin kabur.

Ia tidak akan memposisikan dirinya sebagai orang yang ambigu, hanya memahami politik hanya sekadar mendapatkan tempat, tetapi politik harus menjadi lahan dakwah untuk membumikan ayat-ayat Allah.

Kesimpulan penulis dia bukanlah ulama yang diharapkan umat. Dalilnya jelas karna ia tidak terlihat berkomitmen pada kepentingan kebenaran melaingkan karena libido kekuasaan.(***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Partai Demokrat tak Terpengaruh Mundurnya TGB


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler