jpnn.com - Saat perang saudara terjadi di Amerika pada awal abad ke-19, tiga orang pemburu hadiah sayembara berusaha membunuh bandit Meksiko, Tuco Ramirez, yang menjadi penjahat ‘’wanted’’ yang diburu dengan hadiah besar bagi yang bisa menangkapnya.
Akan tetapi, Ramirez bukan penjahat kaleng-kaleng.
BACA JUGA: Anies Baswedan Disebut Korban Framing Politik Identitas
Dia sangat tangguh dan jago memainkan senjata.
Ramirez pun berhasil membunuh dua orang yang memburunya.
BACA JUGA: Mahfud MD kepada Pj Kepala Daerah: Waspadai Politik Identitas di Pemilu 2024
Dia juga melukai seorang lagi yang juga ikut memburunya.
Pada ujung perburuan‘’orang baik’’ akhirnya menang dan mendapatkan hadiah.
BACA JUGA: Surya Paloh Sebut PDIP Bisa Mencalonkan Siapa pun Tanpa NasDem
Para penggemar film pasti ingat film lama ‘’The Good, The Bad, and The Ugly’’ yang dibintangi oleh Clint Eastwood pada 1966.
Clint Eastwood adalah ‘’The Good’’, orang baik yang memakai keterampilan senjatanya untuk membela kebenaran.
Sementara Tuco Ramirez adalah ‘’The Ugly’’, penjahat yang mengacau dan meresahkan dan menjadi buron karena kejahatannya.
Ada juga tokoh ‘’The Bad’’ yang menggambarkan seorang tentara yang sekaligus menjadi pembunuh bayaran yang sedang memburu seseorang yang melarikan uang dalam jumlah besar.
Tokoh-tokoh dengan berbagai karakter yang bertentagan itu saling bersaing dan kemudian saling membunuh, tetapi pada akhirnya ‘’sang lakon yang menang’’, The Good menjadi pahlawan.
Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh mengutip kisah film itu ketika memberikan pidato pengukuhan doktor honoris causa yang diterimanya dari Universitas Brawijaya, Malang Senin (25/7).
Paloh mengatakan bahwa dua pemilihan presiden Indonesia telah melahirkan polarisasi yang merupakan dampak dari politik identitas. Kendati demikian, politik identitas tak selalu negatif.
Paloh lalu mengutip film Clint Eastwood yang juga dijadikan perumpamaan oleh Yudi Latif yang memberi ciri tiga bentuk politik identitas, yaitu good, bad, dan ugly. Politik identitas disebut baik ketika ia menjadi ciri bagi sebuah partai atau kelompok politik.
Setiap kelompok memang akan melahirkan identitasnya masing-masing.
Setiap kelompok bahkan harus melahirkan identitasnya.
Kelompok politik yang baik adalah kelompok yang mampu membangun identitas diri yang kemudian menjadi pembeda antara ia dengan kelompok yang lain.
Namun, identitas itu tidak membuatnya merasa eksklusif atau tidak mau mengenal yang lain.
Sebaliknya, mereka tetap mampu bersikap inklusif, bersedia berinteraksi, dan siap mengenal hal yang berbeda dengan kelompoknya.
Kelompok tersebut menyadari bahwa manusia adalah agen multi-identitas.
Ada identitas suku, organisasi, agama, politik, hingga identitas kebangsaan yang dimiliki oleh masyarakat.
Kata Paloh, politik identitas yang tidak baik atau bad adalah mereka yang bersikap eksklusif dan tidak mau mengenal yang lain.
Mereka membatasi diri dalam berteman atau bekerja sama.
Mereka tidak mengganggu namun cara pandang dan berpikirnya menjadi sempit.
Melihat sesuatu selalu dari sudut pandangnya, kurang empati.
Politik identitas yang buruk atau ugly adalah sesuatu yang dapat merusak.
Praktik politik semacam ini tidak hanya picik, tetapi juga membodohi masyarakat yang dapat membuat perpecahan masyarakat. I
a berdiri di atas kesadaran bahwa identitasnyalah yang paling unggul dan kelompoknyalah yang paling benar.
Maka, identitas lain tidak hanya harus menjadi nomor dua akan tetapi juga harus dikalahkan atau ditiadakan jika perlu.
Pandangan Paloh ini menjadi air yang menyegarkan lanskap politik Indonesia yang beberapa waktu belakangan ini kering dan gersang karena polarisasi akibat politik identitas.
Politik identitas bukan hanya menjadi isu panas di Indonesia.
Di banyak negara hal itu menjadi wacana perdebatan yang tak pernah berhenti.
Di Indonesia muncul istilah ‘’ayat dan mayat’’ yang sudah menjadi leksikon baru politik Indonesia.
Di Amerika pun ada istilah RINO, atau Republican In Name Only, Republikan sekadar nama saja, yang menjadi jargon baru perang politik identitas.
Kalangan Republikan garis keras meyebut mereka yang moderat sebagai Republikan lembek yang sudah luntur ideologinya.
Republikan garis lembek ini diledek sebagai Republikan abal-abal dan hanya menumpang nama saja.
Sementara Republikan garis keras menyebut dirinya sebagai penjaga ideologi yang sesungguhnya.
Mereka ini adalah kalangan white supremacist yang percaya terhadap supremasi kulit putih dan sangat setia kepada Donald Trump.
Narasi ayat dan mayat kali pertama muncul dalam pilkada DKI 2016 ketika petahana Ahok-Djarot kalah di putara final melawan Anies-Sandi.
Narasi itu muncul untuk menggambarkan politik identitas atau politik aliran yang dianggap mengeksploitasi isu agama untuk memenangkan kontestasi politik.
Hal itu menimbulkan polarisasi atau keterpecahan di kalangan pemilih yang efeknya masih terus terasa dan meluas ke level nasional.
Fenomena ayat dan mayat terjadi setelah munculnya kasus Ahok pada 2016 yang dituduh melecehkan agama Islam dengan mengutip Surat Al-Maidah 51.
Pernyataan Ahok itu kemudian menjadi viral setelah diunggah oleh seorang netizen ke media sosial.
Gelombang protes meluas sampai memunculkan Aksi Belas Islam yang dikenal sebagai 212.
Gelombang protes semakin meluas dan Ahok kemudian ditahan dan diadili dan divonis bersalah.
Ahok masih bisa masuk ke putaran kedua dengan mengalahkan pasangan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)-Silviana Murni di putaran pertama.
Pada putaran final Ahok kalah telak dari Anies-Sandi.
Pendukung Ahok menganggap kekalahan ini karena eksploitasi politik aliran yang memainkan isu agama.
Pada putaran pertama pemilih Islam militan yang ketika itu dimotori oleh FPI (Front Pembela Islam) masih terpecah suaranya antara AHY dan Anies.
Pada putara kedua pemilih Islam militan menjatuhkan pilihannya kepada Anies.
Pertarungan elektoral yang sangat keras meninggalkan bekas luka yang sangat dalam.
Kedua kubu tidak bisa direkonsiliasikan dan terpecah menjadi cebong dan kampret yang terus melekat sampai sekarang.
Anies dituding sebagai biang politik aliran dan secara sarkastis dijuluki sebagai ‘’Bapak Politik Aliran’’.
Sampai sekarang oleh pada pengritiknya Anies tetap diberi labelling politik aliran itu, meskipun dalam menjalankan pemerintahannya di DKI Anies berusaha menerapkan kebijakan yang inklusif.
Labelling itu melekat dan kelihatannya akan tetap menjadi bahan rundungan terhadap Anies jika maju ke kontestasi pilpres 2024.
Identitas agama dan politik selalu menjadi isu yang panas di setiap kontestasi politik.
Politik identitas dianggap sebagai bahaya bagi demokrasi dan banyak yang menganggapnya bisa membunuh demokrasi.
Pandangan ini muncul dari perspektif liberal dan sekular yang memisahkan agama dari negara.
Akan tetapi, di sisi lain para pendukung unifikasi agama dan negara menganggap bahwa agama tidak bisa dipisahkan dari politik karena agama dianggap sebagai sumberi etika dan akhlak sekaligus sumber legitimasi yang transenden.
Indonesia bukan negara agama tetapi juga bukan negara sekular.
Para pendiri bangsa sudah sepakat bahwa Pancasila menjadi kalimatun sawa’ atau common denominator yang menjadi platform berbangsa dan bernegara.
Sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjadi spirit bagi keempat sila lainnya.
Keempat sila, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan mengandung nilai-nilai humanisme yang sekular karena berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan kehidupan manusia supaya menjadi makmur dan sejahtera.
Makmur artinya terpenuhi kebutuhan fisik dan ekonominya, sejahtera berarti terjamin kebutuhan jiwa dan spritualnya.
Keempat sila itu harus diberi spirit agama yang Berketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam hal inilah agama tidak dipisahkan dari negara.
Semua kebijakan negara yang ditujukan untuk memakmurkan dan menyejahterakan warga negara harus dijiwai oleh spirit Ketuhanan Yang Maha Esa.
Bentuk negara Pancasila sudah menjadi komitmen nasional yang dipegang bersama, karena itu negara Pancasila adalah bentuk negara yang sudah final, yang oleh Yudi Latif disebut sebagai ‘’Negara Paripurna’’.
Surya Paloh dan Partai Nasdem sudah memilih Anies Baswedan sebagai satu di antara tiga calon presiden yang bakal diusung pada Pilpres 2024.
Munculnya nama Anies menimbulkan kekhawatiran akan mencuatnya kembali politik aliran pada 2024 sebagaimana yang terjadi pada Pilgub DKI 2016.
Akan tetapi, pandangan Paloh terhadap politik aliran ini akan membawa perubahan signifikan dalam lanskap politik nasional.
Surya Paloh akan muncul sebagai promotor dan sekaligus ‘’the king maker’’ yang akan mengubah wajah politik aliran dari ‘’the ugly and the bad’’ menjadi ‘’the good’’. (*)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror