jpnn.com - Tahun depan saja. Kalau Anda mau ke sini. Ketika lingkungan sekitarnya sudah lebih rapi.
Sekarang pun memang sudah bisa dinikmati. Namun belum sepenuhnya nyaman.
BACA JUGA: Wayan Ezra
Itulah The Vessel.
Karya seni arsitektur terbaru di New York. Saya terpaksa dua kali ke situ. Yang pertama sudah terlalu sore. Rabu lalu. Tiket sudah habis.
BACA JUGA: Darah Penghabisan
Kamis pagi saya ke sana lagi. Sambil jalan kaki cepat selama 30 menit. Olahraga. Dari hotel saya di dekat Times Square. Sengaja sambil agak muter.
Rabu sore itu sebenarnya saya sudah bisa mendekat ke The Vessel, tetapi tidak bisa masuk. Saya perlu melihatnya dari dalam. Sekalian melihat bedanya: kalau kena sinar pagi bagaimana nuansanya.
BACA JUGA: Libra Bitcoin
Tidak terlihat banyak anak kecil diajak ke sini. The Vessel memang bukan hiburan. Dia sebuah karya seni.
Pun yang mau membuat klasifikasi bingung. Patungkah ini? Gedungkah ini?
Bukan dua-duanya.
Jam 8 pagi saya sudah di situ lagi. Belum ada orang. Yang ada tukang. Memperbaiki sentuhan akhir plazanya. Suara gergaji batu sering membuat hati ngilu.
Saya duduk di tamannya: melihat The Vessel dari luar. Sambil merenung: mengapa karya ini indah?
Bentuknya sih biasa. Imajinasi saya terbelah: mirip sarang tawon? Atau mirip nanas?
Yang terakhir itu karena saya terpengaruh menara kembar di Kuala Lumpur: yang banyak dibilang mirip jagung yang sudah dikupas kulitnya.
Saya pikir lagi: yang membuat The Vessel istimewa mungkin pilihan materialnya itu.
Seandainya dibuat dari beton rasanya hanya akan mirip gedung parkir bertingkat. Kalau dibuat dari baja hanya akan seperti bangunan yang belum jadi. Kalau dibuat dari kaca hanya akan mirip tenaga surya. Kalau dibuat dari steinless steel justru akan terasa 'kejam'.
Namun lapisan The Vessel ini terbuat dari tembaga mengilat. Hampir mendekati mengkilatnya kaca. Pantulan yang dihasilkannya pun bisa punya nuansa yang berbeda. Apalagi banyak sudut yang terbentuk. Oleh tuntutan desainnya.
Bangunan sekitarnya pun terefleksi di pantulan tembaga berkilap itu. Demikian juga pantulan pepohonan. Atau pantulan manusia yang berlalu-lalang.
The Vessel ini tingginya 70 meter. Setara dengan gedung 17 tingkat. Biaya pembuatannya —duilah— mencapai lebih Rp 2 triliun. Begitu mudah mencari uang sebegitu di Amerika.
Gratis!
Pengunjung tidak perlu membayar. Pun untuk masuk ke dalamnya. Juga untuk naik sampai puncaknya. Namun harus berkarcis. Yang bisa diantre di counter di pinggir plazanya.
Begitu masuk The Vessel saya lihat banyak orang bergerombol di tengah lobi. Sambil meletakkan HP di lantai. Di titik tengah.
Oh... mereka ingin memotret ujung atas The Vessel. Pakai kamera selfie yang diberi timer.
Saya pun ikut saja. Bahkan wajah saya satu-satunya ini saya tongolkan. Agar muncul di lensa. Yang ternyata lebih hitam dari aslinya. Kamera itu melawan cahaya langit.
Naik ke puncak karya seni ini bisa lewat tangga mana saja. Ke arah mana saja. Bisa dengan cara memutari bangunan.
Bisa juga zig-zag. Tinggal mencari arah tangga yang naik. Jangan kesasar ke tangga yang turun.
Tiap trapnya berisi 13 sampai 18 anak tangga. Saya hitung detailnya: trap-trap bawah berisi 13 anak tangga.
Kian naik anak tangganya kian banyak: menjadi 14. Menjadi 16. Saat mendekati puncak menjadi 18.
Perbedaan anak tangga itu rupanya untuk menjaga skala penglihatan dari bawah. Agar tidak terasa kian sesak. Atau ada kepentingan lain?
Saya berhenti di tiap trap. Untuk menarik napas baru. Untuk memperhatikan pemandangan sekitar. Untuk mengambil foto.
Tangganya cukup landai. Tidak seterjal tangga darurat gedung mencakar langit.
Saya jadi ingat saat olahraga naik tangga darurat dulu. Di seluruh gedung tinggi milik BUMN di Jakarta. Tanpa berhenti. Tanpa tarik nafas baru. Tidak ada pemandangan di situ. Tidak juga ada yang menarik untuk difoto.
Akhirnya saya sampai ke puncak The Vessel. Saya pilih posisi yang menghadap ke dekat muara Sungai Hudson. Yang memisahkan Manhattan dengan New Jersey.
Sebenarnya ada pemandangan jelek di pinggir air itu. Yakni parkiran kereta api atau subway. Saya lihat ada 29 rangkaian gerbong diparkir di situ. Tapi tidak terlihat menonjol. Kalah dengan indahnya sungai yang sangat lebar itu.
Kawasan The Vessel ini dulunya daerah industri. Banyak bangunan pabrik lama. Sebagian dirobohkan. Dibangun gedung-gedung pencakar langit yang baru.
Sebagian lagi sengaja dipertahankan kekunoannya. Hahya direnovasi. Untuk restoran dan cafe.
Begitu banyak gedung baru dibangun. Bisa jadi bagian ujung Manhattan ini akan jadi seperti Singapura. Penuh gedung tinggi berkaca. Yang sayangnya desainnya tidak ada yang secantik di Singapura.
Saya pun membuka Google. Mencari tahu siapa perancang The Vessel. Mengapa ditaruh di situ. Di depan mal The Shops. Yang toiletnya mendadak penuh.
Mayoritas yang turun dari puncak The Vessel perlu fasilitas itu. Sampai ada penguman: untuk menghindari antre panjang pakailah toilet di lantai atasnya. Dan atasnya.
Namun kedai kopi di dekat toilet itu juga menjadi penuh: The Blue Bottle. Yang secangkir harganya Rp 100 ribu.
Saya pun mencobanya. Pilih yang oatmeal coffee. Diberi es.
Saya bisa merasakan mahalnya. Meski tidak bisa merasakan nikmatnya.(***)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kakak Ibu
Redaktur : Tim Redaksi